Breaking News

BUDAYA "Sewu Api": Antara Ritus, Keyakinan dan Tradisi 05 Jan 2021 01:24

Article image
Salah satu unsur penting dalam ritua "sewu api" yakni menari tandak (gawi), simbol persatuan dan persekutuan. (Foto: Che)
"Adat dan budaya adalah jati diri, keyakinan dan nilai hidup turun-temurun. Kita harus bangga dengan warisan leluhur," tegas Lius.

ENDE, IndonesiaSatu.co-- Dalam tradisi tata berladang Suku Lio, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sangat sering dilakukan acara adat tahunan (nggua).

Hakikatnya, acara adat diselenggarakan dalam hubungan dengan tradisi budaya dan keyakinan masyarakat adat (fai walu ana kalo) dan para pemangku adat (mosalaki) akan restu dan bantuan leluhur (embu mamo) terhadap segala aktivitas tata berladang, cuaca alam serta hasil pertanian.

Salah satu tradisi budaya penting dalam sistem tata berladang Suku Lio, khususnya Lio bagian Utara Kabupaten Ende, yang hingga kini masih diwarisi, yakni tradisi "nggua sewu api" (upacara memadam api).

Adapun tradisi "sewu api" merupakan salah satu ritual adat penting yang digelar pada tanggal 30 Desember setiap tahun.

Tradisi "sewu api" dimaknai sebagai salah satu acara adat yang bertujuan untuk memberikan kesejukan (keta ngga) terhadap setiap ladang garapan 'fai walu ana kalo', setelah sebelumnya menjalankan ritual adat "ka mbera" saat membuka lahan garapan baru (gaga poka).

Selain bertujuan memberikan kesegaran atas ladang garapan, acara "sewu api" juga dimaknai sebagai perjamuan persekutuan antara para 'mosalaki' dalam suatu wilayah persekutuan adat (ulayat) dengan 'fai walu ana kalo' yang berada di bawah kewenangan pemangku adat (mosalaki).

Secara struktural dan fungsional, para pemangku adat (mosalaki) memiliki kewenangan dan fungsi masing-masih di tanah persekutuan adat seturut hak waris adat, di antaranya: Mosalaki Pu'u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Rumbi Kumba, Mosalaki Lengi Ae, Mosalaki Dai Mau Engananga, serta atalaki (orang yang di luar hak waris adat namun diangkat untuk urusan adat karena memiliki kemampuan tertentu).

Mengenal Tradisi "Sewu Api"

Acara adat "sewu api" yang diselenggarakan di salah satu tanah ulayat (ulu-eko), tepatnya di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, sejatinya melibatkan Tiga Badan Mosalaki, yakni Mosalaki Pu'u (Antonius Liu), Mosalaki Rumbi Kumba, (Markus Langga) dan Mosalaki Lengi Ae (Leonardus Dala).

"Tradisi ini adalah warisan para leluhur (embu welu mamo moi) yang hingga kini masih diyakini sebagai tradisi yang sakral. Ini selalu menjadi ritual tahunan dari tiga badan Mosalaki yang menjadi penanggung jawab dan penyelenggara. Tiga badan Mosalaki ini ibarat Tiga Batu Tungku (sa Lika) yang selalu bersatu dan bersama-sama," ungkap Mosalaki Pu'u, Antonius Liu saat diwawancarai media ini, Rabu (30/12/2020).

Lius menerangkan bahwa Ritus adat "sewu api" tersebut dilaksanakan setiap tanggal 30 Desember, khusus untuk wilayah tanah hak ulayat "ulu mbojo joru"; dengan batasan eko yakni Ngalu Tangi, Soba Nggebhe, Tanah Kelitembu, Se Ngaki dan Sigaria.

Sesuai warisan leluhur, Lius mengatakan bahwa Ritus adat tersebut sudah menjadi keyakinan bagi segenap penggarap (fai walu ana kalo) akan bantuan dan restu leluhur terhadap usaha dan hasil ladang/kebun mereka.

"Kami percaya bahwa acara adat 'sewu api' ini mengandung nilai budaya dan bantuan para leluhur (embu mamo) yang selalu memberi penghargaan tinggi atas bumi (tana watu). Kami meyakini bahwa leluhur sebagai wujud Tuhan yang berkuasa atas langit (Du'a Lulu Wula) dan wujud Tuhan yang berkuasa atas bumi (Ngga'e Wena Tana). Itulah tradisi dan keyakinan yang diwarisi secara turun-temurun hingga kini," kata Lius.

Tata Cara, Ritus Adat dan Makna

Pada hakikatnya, acara adat 'sewu api' mencakup beberapa ritual penting sebagai satu-kesatuan; yakni acara potong babi (wela wawi), menari tandak (gawi), pemberian makanan kepada leluhur (pati ka embu mamo-tana watu), perjamuan persekutuan (ka sama), dan acara memadam api (sewu api) yang disertai dengan peringatan dan larangan (sua) oleh Mosalaki Pu'u kepada segenap penggarap.

"Tahun 2020 ini merupakan momen istimewa karena acara adat "sewu api", untuk pertama kalinya bisa dilaksanakan di tempat berdirinya 'tubu musu' (batu prasasti). Ini momen bersejarah dan kami semua bangga dan terharu," kesan Lius.

Lius yang tampil berwibawa dengan atribut adat lengkap, mengaku semua yang terjadi berkat dukungan dan kerjasama semua pihak, terutama dukungan segenap badan Mosalaki dan para penggarap yang hadir sehingga momen adat "sewu api" sungguh dirasakan sebagai perayaan persekutuan dalam nuansa persaudaraan, kekeluargaan, persatuan, gotong-royong dan suasana kasih.

"Tahun ini sangat berbeda dari biasanya. Semoga suasana ini terus dijaga ke depan. Ini kekuatan bersama yang dirayakan dengan penuh sukacita dan atas restu para leluhur yang mewarisi tradisi ini," lanjutnya.

Momen Bersejarah

Kesan senada diutarakan Mosalaki 'Rumbi Kumba' dan Mosalaki 'Lengi Ae' yang berkomitmen akan terus berdiri dan berjalan bersama dengan Mosalaki Pu'u dalam setiap ritus adat.

"Kami percaya, apa yang diwariskan oleh para leluhur, akan terjadi juga atas restu leluhur. Kekuatan terbesar dalam merawat tradisi budaya adalah semangat persatuan, kerjasama dan gotong-royong. Kita akan selalu kuat ketika kita terus berjalan bersama; "tuke-wake, boka-mbana, kema sa ate, boka ngere ki, bere ngere ae (saling mengpang, jatuh-bangun, satu hati, senasib-sepenanggungan)," ungkap Markus Langga dan Ardus Dala.

Disaksikan media ini dan segenap penggarap, pada akhir rangkaian acara adat, Mosalaki Pu'u menggelar ritual "Sewu Api" ke atas bara api (nopo api) dengan air kelapa muda. 

Ritual tersebut sebagai tanda bahwa musim bakar lahan sudah usai. 

Selanjutnya, Mosalaki Pu'u memberi peringatan dan larangan (sua) kepada segenap penggarap agar tidak boleh memasang api di halaman rumah dan menjemur pucuk gebang ('toru api' dan 'wisa wari'), hingga ada penyampaian resmi dari Mosalaki.

"Ritual ini juga sebagai tanda kesejukan dan kesegaran bagi bumi dan segala jenis tanaman (pati keta ngga tana watu-mula lua) termasuk memohon curah hujan dan kesehatan bagi segenap penggarap," ujar Lius.

Sebagai penutup, Lius mengharapkan agar segenap Badan Mosalaki dan Penggarap tetap menjaga kerukunan dalam suatu wilayah persekutuan serta menghindari segala bentuk konflik yang berhubungan dengan hak ulayat.

"Pada prinsipnya, dalam suatu wilayah persekutuan, kerjasama dan saling menghargai adalah hal yang utama, seperti wejangan leluhur: 'boka ngere ki, bere ngere ae' (jatuh-bangun tetap bersatu padu seperti ilalang dan air). Adat dan budaya adalah jati diri, keyakinan dan nilai hidup turun-temurun. Kita harus bangga dengan warisan leluhur," pungkas Lius.

--- Guche Montero

Komentar