Breaking News

KOLOM Agama: Akar Kejahatan? 19 Jun 2017 10:44

Article image
Setiap kehendak baik manusia perlu diterangi oleh akal budi manusia. (Foto: Youtube.com)
Kejahatan adalah akibat dari pilihan bebas manusia dan pilihan itu lahir dari suatu pribadi yang rapuh (fragile).

Oleh Felix Baghi

 

REALITAS tentang lingkaran kejahatan dan akar dari konflik dalam kehidupan manusia sering menyudutkan agama sebagai biang keladi.  Dan Injil hari ini berbicara tentang lingkaran kejahatan yang berbasis pada prinsip "gigi ganti gigi, dan mata ganti mata."  Prinsip ini sejatinya perlu ditafsir secara baik agar agama tidak dimengerti secara salah sebagai sumber kejahatan.

Tentang hal ini, saya kembali teringat kursus filsafat  tentang "Religion Within the Boundaries of Mere Reason" dari perspektif Immanuel Kant. Tentu Kant tidak berbicara tentang Allah sebagai objek studinya, bukan tentang teologi, tetapi tentang "agama" dari postulat akal budi praktis. 

Menurutnya, moralitas  membutuhkan agama namun hanya dari perspektif akal budi praktis, yaitu bahwa setiap kehendak baik manusia (The Good Will) perlu dibangun di atas dasar akal budi praktis. 

Karena intensi dari setiap akal budi praktis adalah "kebaikan", dan kebaikan adalah sintese antara kebajikan (virtue) dan kebahagiaan (happiness), maka disposisi kodrati manusia (anlage) sebenarnya adalah "kebaikan". Manusia, menurut kehendaknya,  pada dasarnya adalah baik. Kant menyebutnya "original disposition (anlage) to good in human nature."  

Namun, seperti bejana tanah liat, disposisi ini bersifat rapuh, dan karena itu, manusia juga sering bertendensi pada kejahatan. Kant bilang "the propensity (hang) to evil in human nature."  

Jadi, sebenarnya di dalam diri manusia, ada semacam sirkulasi tendensi yang silih berganti antara kebaikan dan kejahatan, namun pada prinsipnya selalu ada kehendak yang baik di dalam diri manusia.  

Untuk mengerti semua tindakan orang beragama, khususnya kejahatan, kekerasan dan intoleransi, kita perlu kebijksanaan menafsir teks-teks Kitab Suci secara baik dan benar.  Ini tentu berhubungan bukan saja dengan otoritas penafsiran atau kebebasan dalam menafsir. Yang perlu diperhatikan adalah kesanggupan menerjemahkan teks-teks suci ke dalam konteks  historis sesuai dengan tuntutan situasi yang ada. 

Kejahatan adalah akibat dari pilihan bebas manusia dan pilihan itu lahir dari suatu pribadi yang rapuh (fragile). Pribadi yang rapuh selalu memiliki intensi kepada hal-hal yang buruk. Propensity to Evil. 

Agama sebagai institusi, representasi keyakinan manusia bukankah sumber segala kejahatan. Namun, sebaliknya agama bisa menjadi amat membahayakan dan dapat menjadi sumber malapetaka  bagi dunia kalau manusia yang rapuh, yang selalu bertendesi terhadap  kejahatan, menganut agama tertentu dan mengklaim agamanya sebagai yang paling benar. Manusia seperti ini akan hidup dan menjalankan prinsip "gigi ganti gigi dan mata ganti mata" sebagai doktrin utama. 

Isis adalah salah satu fenomen yang menarik.

Penulis adalah dosen STFK Ledalero, sedang merampungkan studi doktoral di Universitas St Thomas, Manila

Komentar