Breaking News

OPINI Agenda 2030 SDGs di Tengah Arus Fundamentalisme Pasar 28 Jun 2017 16:50

Article image
Kemiskinan, salah satu pokok utama yang dibahas Agenda 2030 SDGs. (Foto: Nationmultimedia.com)
Komunitas manusia yang ingin dikonstruksi oleh program ini adalah komunitas di mana kemiskinan dan kelaparan dihapus, keadilan dan kedamaian terwujud, hak asasi manusia (HAM) setiap orang dijamin.

Oleh Flory Djhaut

 

AGENDA 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah proyek global untuk mewujudkan kemakmuran bersama, perdamaian, dan penghargaan pada kebebasan. Proyek ini ditandatangi oleh 193 kepala negara dan pemerintahan, termasuk Indonesia dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di New York, 25 September 2015.

Proyek Global PBB ini sebetulnya merupakan lanjutan dari Milenium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015. Cikal bakal lahirnya proyek ini adalah masih kokohnya realitas kemiskinan dalam segala bentuk dan dimensinya.

Proyek global ini memegang satu prinsip fundamen ini: No One Leave Behind. Agenda 2030 SDGs mengimpikan sebuah metanarasi tentang pembangunan yang adil dan merata, tidak eksploitatif, dan nondiskriminatif. Semua lapisan masyarakat tidak boleh ada yang ditinggalkan dalam proses pembangunan yang inklusif dan partisipatif. Semua lapisan masyarakat dari berbagai realitas primordial harus sama-sama menikmati kue pembangunan. Kue pembangunan bukan hanya dinikmati segelintir orang melainkan juga dinikmati oleh semua orang.

Proyek ini dikristalisasi ke  dalam 234 Indikator, 169 Sasaran, dan 17 Tujuan. Tujuan-tujuan utama dari program global ini adalah menghapus kemiskinan, mengakhiri kelaparan, menjamin kesehatan yang baik dan kesejahteraan, meningkatkan pendidikan yang bermutu, mewujudkan kesetaraan gender, mendapatkan akses air bersih dan sanitasi, memperoleh energiyang bersih dan terjangkau, menciptakan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, membangun infrastruktur dan inovasi, mengurangi ketimpangan, membangun kota dan komunitas yang berkelanjutan, mengatur pola produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, menangani perubahan iklim, menjaga ekosistem laut, menjaga ekosistem darat, menciptakan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat, serta bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan SDGs ini.

Tujuan program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Komunitas manusia yang ingin dikonstruksi oleh program ini adalah komunitas di mana kemiskinan dan kelaparan dihapus, keadilan dan kedamaian terwujud, hak asasi manusia (HAM) setiap orang dijamin, tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, dan tidak ada lagi esksplotasi terhadap lingkungan.

Membangun dan menata komunitas yang demikian di tengah menguatnya arus fundamentalisme pasar bukanlah sebuah perkara yang mudah. Tantangan paling berat dalam mewujudkan agenda 2030 SDGs adalah bagaimana membendung arus fundamentalisme pasar.

Corak fundamentalisme  pasar

Pemenang Nobel perdamaian, Johan Galtung pernah berbicara tentang tiga corak fundamentalisme yang menjadikan penduduk bumi sebagai tawanannya. Ketiga corak fundamentalisme itu menurut dia adalah faksi Wahabi Osama bin Laden, faksi Puritan Protestan asal Inggris yang kemudian menemukan lahan subur di Amerika Serikat, dan Fundamentalisme Pasar. Meskipun berasal dari kultur yang berbeda, tiga corak fundamentalisme tersebut memiliki filosofi yang serupa (Selasar.com). Dalam tulisan ini, saya lebih fokus dengan corak  fundamentalisme pasar.

Neoliberalisme kebablasan  memahami  manusia hanya kepada persoalan ekonomi semata. Neoliberalisme mereduksi pemahaman tentang manusia sebagai makhluk ekonomi dalam segala aspek kehidupan, misalnya aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan,dan kesehatan.

Selain itu, neoliberalisme memahami ekonomi hanya sebatas  kegiatan mencari untung.Upaya pencapaian keuntungan tanpa batas sebagai credo tunggal neoliberalisme kerapkali bertentagan dengan norma-norma moral, budaya, dan hukum positif. Dalam konteks inilah neoliberalisme disebut juga sebagai fundamentalisme pasar.

Pemenang Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz pernah menyebut fundamentalisme pasar sebagai basis teori –Thatcherisme, Reaganomics, dan Konsensus Washington–untuk mempercepat privatisasi, liberalisasi, dan menjadikan Bank Sentral sebagai lembaga independen dengan satu tugas, yaitu memerang inflasi. Fundamentalisme pasar juga menurut dia memiliki hubungan yang erat dengan neoliberalisme, sebuah aliran dominan yang menjadi basis berbagai kebijakan negara G8, IMF, dan Bank Dunia (selasar.com).

Apa yang dikatakan Stiglitz memang benar adanya. Kita paling kurang mengenal tiga prinsip dasar fundamentalisme pasar, yakni privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Ketiga prinsip dasar ini justru menjadi agenda arus utama neoliberalisme.Pada akhirnya kita mungkin mengatakan bahwa fundamentalisme pasar itu neoliberalisme dan sebaliknya neoliberalisme itu fundamentalisme pasar; dua entitas yang sulit dibedakan dan dipisahkan.

Tantangan bagi agenda 2030 SDGs

Gelombang besar neoliberalisme yang menghantam banyak negara di dunia secara global memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pelebaran jurang antara yang kaya dan yang miskin, krisis ekologi, pelanggaran HAM, human trafficking, pelecehan terhadap martabat kaum perempuan, eksploitasi tenaga kerja  anak, dan berbagai persoalan lainnya. Dalil ekonomi neoliberal yang mengatakan bahwa neoliberalisme sebagai aliran ekonomi yang menjamin kesejahteraan dan kebutuhan manusia merupakan sebuah kebohongan publik. Hal itu tidak lebih daripada perisai yang digunakan untuk melindungi ekses-ekses negatif dari penerapan ekonomi ini di berbagai belahan dunia.

Agenda-agenda neoliberalisme yang berbasis fundamentalisme pasar ini justru menjadi biang keladi persoalan-persoalan yang menghantam dunia secara global, seperti kemiskinan, kelaparan, peperangan, terorisme, human trafficking, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan pelecehan terhadap martabat kaum perempuan, serta eksploitasi tenaga kerja anak-anak.

Arus besar fundamentalisme pasar yang juga menjadi basis keyakinan neoliberalisme merupakan tantangan berat dalam merealisasikan Agenda 2030 SDGs. Pertama, privatisasi. Privatisasi mendorong pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan aset-aset publik ke tangan swasta, dalam hal ini adalah korporasi-korporasi raksasa. Banyak aset publik di negara-negara berkembang sudah dibeli oleh swasta dengan harga yang sangat murah. Bahkan layanan kebutuhan paling dasar dari manusia, yakni air, yang seharusnya menjadi tanggung jawab konstitusional negara sudah di serahkan ke tangan ribaan korporasi.

Pengelolaan aset-aset publik oleh korporasi selalu menciptakan biaya ekonomi tinggi bagi masyarakat. Masyarakat yang berdampak secara sangat serius adalah orang-orang miskin, terutama di negara-negara berkembang. Di wilayah Jakarta, misalnya, pengelolaan air oleh dua perusahaan asing, yakni PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames Pam Jaya (TPJ), kini PT AETRA Air jakarta tidak pernah didesain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Di tengah kinerja pelayanan air yang buruk, tarif air justru mengalami kenaikan. Lagi-lagi yang menjadi beban adalah masyarakat miskin.

Kedua, liberalisasi. Liberalisasi ekonomi pada galibnya menolak intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian nasional karena intervensi pemerintah akan mengakibatkan kelesuan ekonomi. Intervensi pemerintah akan menghambat persaingan bebas. Politik ekonomi neoliberalisme sebetulnya memperjuangkan perdagangan bebas. Mereka menginginkan setiap negara membuka diri bagi lalu lintas perdagangan global tanpa camput tangan kepentingan politik domestik (T. M. Soejanto & Alexander Seran: 2016).

Neoliberalisme menurut Andrew Heywood, berusaha untuk ‘menggulung kembali’ kekuasaan negara  dan menyerakan kekuasaan penuh , atau paling tidak lebih banyak, pada kekuatan-kekuatan pasar sebagai solusi paling bijak di tengah arus “stagflasi” (Andrew Heywood: 2014). Membiarkan pasar mengatur mekanismenya sendiri dan kompetisi bebas selalu menimbulkan persoalan ketidakseimbangan ekonomi antara yang memilik kapital dengan mereka yang tidak memiliki modal.

Selain itu, perdagangan bebas antar negara menjadi celah bagi lahirnya tindakan pidana perdagangan orang. Yang paling rentan menjadi korban tentu masyarakat-masyarakat miskin di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ketiga, deregulasi. Fundamentalisme pasar mendorong negara untuk membangun jalan tol bagi lalu lintas perdagangan bebas. Karena itu, semua regulasi yang menghambat arus perdagangan bebas harus dibongkar dan ditata ulang agar mampu memberi akses bagi perdagangan bebas.

Deregulasi di atas tidak lebih dari pada sebuah upaya harmonisasi regulasi dengan kepentingan-kepentingan bisnis korporasi. Infiltrasi para pelaku bisnis ke dalam lingkaran kekuasaan menjadi akses bagi percepatan proses deregulasi tersebut. Yang meraup keuntungan dari deregulasi bukanlah masyarakat kebanyakan melainkan segelintir orang kaya dan korporasi-korporasi.

Membangun komitmen bersama

Realisasi Agenda 2030 SDGs merupakan tanggung jawab global lembaga internasional PBB, pemerintah, masyarakat sipil, dan para pelaku bisnis, serta semua orang yang berkehendak baik. Oleh karena itu, komitmen untuk membendung gelombang fundamentalisme pasar  yang menjadi salah satu pengalang perealisasian Agenda 2030 SDGs menjadi tanggung jawab bersama. Tanpa ada komitmen demikian, Agenda 2030 SDGs akan mengalami nasib serupa dengan program MGDs di mana pemerintah gagal mencapai empat target utama dalam pembangunan.

Penulis bekerja di VIVAT Internasional-Indonesia Jakarta, alumnus STFK Ledalero Maumere, Flores

Komentar