Breaking News

KOLOM Belajar Dari Pilkada DKI: Hikmah Tentang NKRI 20 Apr 2017 10:16

Article image
Pancasila belum menjadi "habitus", gaya dan isi hidup kita sebagai bangsa. (Foto: wikimapia.org)
Tendensi politisasi agama dan deru kencang hempasan angin radikalisme jelang Pilkada mesti dilihat sebagai "peringatan serius" bagi kondisi kekinian maupun masa depan keindonesiaan kita.

Oleh Valens Daki-Soo

 

IZINKAN saya berbagi pikiran dan harapan ini yang lebih merupakan prinsip dan pandangan pribadi, bukan artikel ilmiah-populer yang mengandalkan referensi.

Bagi saya, bukan soal utama lagi Ahok-Djarot menang atau kalah. Itu sudah selesai. Sebagai (salah satu) pendukung kedua figur itu, saya mengakui kemenangan Anies-Sandi.

Yang paling penting, terutama dalam perspektif keindonesiaan dan pigura nilai-nilai kebangsaan, adalah kehendak dan tekad bersama kita untuk tetap menjaga keutuhan dan kebhinnekaan kita sebagai satu bangsa.

Fenomena menguatnya radikalisme (kanan) adalah ancaman nyata yang tidak hanya terjadi di negeri kita, tetapi berspektrum global. Tendensi politisasi agama dan deru kencang hempasan angin radikalisme jelang Pilkada mesti dilihat sebagai "peringatan serius" bagi kondisi kekinian maupun masa depan keindonesiaan kita.

Mungkin "kesalahan" atau "salah omong" Ahok tentang al-Maidah merupakan salah satu faktor, bahkan pemicu utama kekalahannya yang antara lain disebabkan oleh merebaknya politik partisan-sektarian-primordial dengan begitu cepat dan massif di DKI.

Namun, di sisi lain, ini semacam pembuka selubung (saya enggan menggunakan "blessing in disguise" karena ini bukan berkat) bahwa kita "ternyata belum selesai dalam urusan ideologi". Kita masih sangat rawan dan mudah terluka (vulnerable) secara ideologis.

Kerentanan (vulnerability), kesulitan diprediksi (unpredictability) dan ketidakpastian (uncertainty) rupanya akan mencoraki hidup kita sebagai bangsa ke depan, terutama dalam satu-dua tahun ini. Masukan dan analisis intelijen tentang adanya gerakan tersamar untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi boleh jadi, atau sangat mungkin, mendekati kebenaran dan hal itu bisa membenarkan apa yang saya katakan di atas.

Dari pengalaman dan situasi jelang Pilkada saya bisa sekejap menarik kesimpulan yang tentu perlu diuji lagi: kita masih belum menghampiri, bahkan masih amat jauh, dari apa yang diidamkan para "founding fathers" Bung Karno dan kawan-kawwan. Pancasila masih dalam impian. Kalaupun sudah mulai membumi, belum menjadi "habitus", gaya dan isi hidup kita sebagai bangsa.

Namun, saya yakin dan berharap bahwa "silent majority", kebanyakan umat Islam Indonesia yang bersikap terbuka, moderat dan inklusif tetap merupakan pilar kekuatan dan benteng keutuhan NKRI. Kelompok-kelompok kecil yang radikalis mungkin bisa bungkam jika "mayoritas diam" itu 'bicara'.

Bagi teman-teman muda yang 'kritis', NKRI bukanlah hanya sesuatu yang "taken for granted", bukan hasil fantasi atau ilusi, juga bukan istilah mainan apalagi olokan. Ini "negeri nyata" -- bukan sekadar dunia maya -- yang diperjuangkan dengan air mata, darah dan nyawa para leluhur agung kita.

Jika kita ingin Indonesia ini tetap ada dalam kerangka satu bangsa dan negara, sikap apatis terhadap keadaan perlu dibuang jauh. Bukankah kita ingin anak-cucu kelak juga "memiliki" Indonesia, dan bukan sekadar mengenangnya sebagai suatu "fosil sejarah".

Nah, soal keutuhan NKRI itulah alasan dan tujuan saya berpolitik. Inilah yang selalu saya katakan kepada teman-teman muda dan senior di partai maupun para relasi di TNI/Polri, bahwa obsesi saya ketika terjun ke kolam politik adalah ikut mengawal keutuhan bangsa.

Dalam politik, kekuasaan memang perlu diperjuangkan sebagai alat untuk mengupayakan kepentingan bersama (bonum commune). Secara teoritis memang begitu. Namun, dalam praksisnya kita tetap harus berpegang pada nilai-nilai luhur, dan bukan sekadar menjadi "pemain akrobat politik" yang berjumpalitan demi kantung pribadi, kepentingan kelompok dan partai sendiri.

Dengan nada bercanda sering saya omong kepada adik-adik muda, bahwa soal NKRI saya tidak hanya bisa menulis atau berorasi, tetapi juga siap "berkelahi".

Semoga DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur/Wakil Gubernur baru akan semakin maju. Lebih dari itu, Jakarta menjadi barometer upaya dan cara berpolitik yang berorientasi pada "Indonesia yang satu dan utuh-padu".

 

Penulis adalah pemerhati politik dan militer, Chairman PT Veritas Dharma Satya (VDS), Pendiri dan Pemimpin Redaksi IndonesiaSatu.co

 

Komentar