Breaking News

REFLEKSI Beriman Secara Rasional 14 May 2020 14:28

Article image
Beriman Secara Rasional Beriman secara rasional itu antara lain bermakna Anda tidak bisa hanya berdoa lalu segalanya datang sendiri. (Foto: Christian Meditation)
Beriman secara rasional itu misalnya Anda tahu api itu bisa membakar Anda, jadi jangan melintasi kobaran api meski Anda mengaku sangat kuat beriman.

Oleh Valens Daki-Soo

 

USAI misa penahbisan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat pada 19 Maret 2020, Uskup Agung Ende, Uskup Maumere, Uskup Manado (dan mungkin saja uskup lainnya yang tidak terpantau) mengeluarkan surat edaran yang merespons wabah Virus Corona yang kian eskalatif.
Isi surat edaran, antara lain, meniadakan misa dan segala bentuk ibadah yang dihadiri umat hingga waktu yang ditentukan.

Ini bagus. Inilah yang saya maksudkan dengan "beriman secara rasional", meskipun iman dan rasio (akal sehat) masih menjadi tema yang hangat diperdebatkan di antara para filsuf dan teolog berabad-abad sejak Aristoteles dan Plato.

Secara tradisional, iman dan akal masing-masing dianggap sebagai sumber pembenaran untuk kepercayaan agama. Ada pemikir yang berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara iman dan akal. Yang lain berpendapat bahwa iman dan akal dapat (atau bahkan harus) selalu berada dalam pertentangan.

Ada yang berpendapat bahwa iman harus menang ketika keduanya berada dalam konflik. Kierkegaard, tulis James Swindal dari Duquesne University, AS (Faith and Reason), misalnya, memprioritaskan iman bahkan sampai menjadi irasional secara positif. Sementara Locke menekankan kewajaran iman sedemikian rupa sehingga irasionalitas doktrin agama — konflik dengan dirinya sendiri atau dengan fakta yang diketahui — adalah tanda bahwa itu tidak sehat.

Pemikir lain berteori bahwa iman dan akal mengatur wilayah mereka sendiri, sehingga kasus-kasus konflik nyata diselesaikan di sisi iman ketika klaim yang dimaksud adalah, katakanlah, klaim agama atau teologis, tetapi diselesaikan di sisi alasan ketika klaim yang disengketakan adalah, misalnya, empiris atau hal logis. Ibn Sina, pemikir besar Islam yang di Eropa dikenal dengan nama Avicenna berpendapat bahwa selama agama ditafsirkan dengan benar, ia terdiri atas bidang kebenaran yang tidak berbeda dengan bidang filsafat.

Orang-orang pada umumnya menempatkan iman sebagai sesuatu yang lebih kuat dari pada keyakinan atau akal, sebagai sesuatu yang dipertahankan meskipun bukti sebaliknya. Tapi ahli dalam teori keputusan dan filsuf agama dari Berkeley Lara Buchak menarik kesimpulan yang mengejutkan: iman kadang-kadang bisa rasional.

Agar iman menjadi rasional, argumentasi Buchak, prasyarat dasar pertama-tama harus dipenuhi: haruslah orang menganggap suatu klaim cukup mungkin, dan tindakan yang didukungnya cukup menguntungkan. Bahwa "utilitas yang diharapkan" dari bertindak atas klaim tersebut melebihi "utilitas yang diharapkan" tidak melakukannya. Buchak memberi contoh,  jika seseorang memberikan utilitas yang lebih tinggi untuk perkawinan di mana kedua pasangan akan setia daripada pasangan yang berselingkuh, dan orang memiliki alasan yang baik untuk percaya bahwa pasangannya sebenarnya setia, maka "utilitas yang diharapkan" dari kesetiaan bisa melebihi kecurangan.

Tuhan sudah beri kita akal budi untuk berpikir dengan jernih dan menimbang dengan bijak.

Beriman secara rasional itu misalnya Anda tahu api itu bisa membakar Anda, jadi jangan melintasi kobaran api meski Anda mengaku sangat kuat beriman. Anda tak perlu menerjang banjir bandang meski iman Anda sekokoh batu karang. Lain halnya kalau memang Anda ingin mati dengan sadar.

Beriman secara rasional itu artinya Anda mendayagunakan segala potensi dan kemampuan yang Anda miliki dalam keyakinan kepada Tuhan dengan kesadaran Anda tetaplah manusia, bukan malaikat, belum jadi "roh murni" alias sudah melampaui ruang dan waktu.

Beriman secara rasional itu maksudnya Anda sungguh mencintai Tuhan, menghormati dan memuliakan-Nya, namun kalau sedang demam tinggi karena sakit malaria Anda tidak perlu paksa diri ke gereja atau masjid. Langkah terbaik adalah secepatnya ke Puskesmas atau rumah sakit. Tentu saja, Anda tetap yakin Tuhan sang "Tabib Mahaajaib" menyembuhkan Anda lewat tangan para dokter dan perawat.

Beriman secara rasional itu antara lain bermakna Anda tidak bisa hanya berdoa lalu segalanya datang sendiri. Anda tetap perlu bekerja supaya bisa menafkahi diri dan keluarga, Anda perlu baca buku dan belajar dengan cara apa saja supaya bisa berilmu pengetahuan, Anda butuh kursus dan praktikkan bahasa Inggris agar mahir berbahasa tersebut.

Beriman secara rasional itu berarti mengerti dan meyakini bahwa Tuhan bekerja dengan segala cara "dalam kerja sama" dengan Anda untuk mewujudkan impian Anda. Misalnya saya yakin Tuhan menopang saya dengan kekuatan-Nya sehingga saya mampu berbisnis dengan sukses.

Beriman secara rasional itu berarti percaya kuat-kuasa Tuhan melampaui segala kemungkinan, melampaui rasionalitas itu sendiri, melampaui semesta ini. Oleh karenanya mukjizat bisa saja terjadi pada Anda kapan dan di mana saja, dengan cara apa saja. Namun itu tidak berarti Anda mencobai Tuhan: "Tuhan, di depan saya ini ada jurang sedalam tiga kilometer. Kalau Engkau Tuhan Mahakuasa, dan saya mengimani Engkau sungguh-sungguh, maka saya terjun sekarang dan saya pasti hanya melayang-layang, dan tidak tewas di dasar jurang."

Beriman secara rasional dalam konteks sekarang ini -- dunia diterjang wabah Corona yang pandemik -- artinya percaya bahwa Tuhan membantu pemulihan situasi buruk ini melalui tangan para dokter, perawat dan paramedis serta banyak tangan orang baik seperti donatur, relawan sosial dan sebagainya. Kita sendiri tetap perlu menjaga diri dan mengikuti arahan pemerintah atau pihak yang berotoritas.

Ya. Macam itulah contoh atau gambaran beriman secara rasional.

 

Penulis adalah peminat filsafat-teologi, CEO VDS Group, Pendiri/Pemimpin Umum IndonesiaSatu.co

Komentar