Breaking News

KEUANGAN BI 7-Day Reverse Repo Rate Bertahan di 5,75% 23 Oct 2018 21:13

Article image
Mirza Adityaswara, Deputy Gubernur Senior BI. (Foto: ist)
Keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Oktober 2018 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara di Jakarta, Selasa (23/10/2018) mengatakan, keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga dapat semakin memperkuat ketahanan eksternal Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.

Bank Indonesia juga terus menempuh strategi operasi moneter yang diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar Rupiah maupun pasar valas serta secara efektif memberlakukan transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) mulai 1 November 2018.

"Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal, termasuk untuk mendorong ekspor dan menurunkan impor sehingga defisit transaksi berjalan dapat menurun dengan prakiraan kisaran 2,5% PDB pada 2019," katanya.

Kedepan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan perekonomian seperti defisit transaksi berjalan, nilai tukar, stabilitas sistem keuangan, dan inflasi untuk menempuh langkah lanjutan guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Pertumbuhan Ekonomi

BI mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2018 tidak sekuat perkiraan terutama dipengaruhi penurunan ekspor neto. Konsumsi tetap baik didukung daya beli yang terjaga dan belanja terkait pemilu serta keyakinan konsumen yang tetap tinggi. Investasi masih tumbuh cukup tinggi ditopang baik investasi bangunan, terkait proyek infrastruktur dan properti, maupun investasi nonbangunan.

Namun, kenaikan pertumbuhan ekspor tidak sekuat proyeksi, di tengah impor yang tumbuh tinggi. Pertumbuhan ekspor lebih terbatas disebabkan kinerja ekspor komoditas andalan, seperti pertanian dan pertambangan, yang tidak sekuat prakiraan. Sementara itu, impor tumbuh tinggi sejalan dengan permintaan domestik, meskipun pertumbuhan impor bulanan telah menunjukkan perlambatan.

"Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2018 diprakirakan berada pada kisaran bawah 5,0-5,4%," ungkap Mirza.

Sementara, neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat surplus pada September 2018. Surplus neraca perdagangan tercatat 0,23 miliar dolar AS, membaik dibandingkan dengan kinerja neraca perdagangan bulan sebelumnya yang mencatat defisit 0,94 miliar dolar AS.

Perbaikan tersebut ditopang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang meningkat dan defisit neraca perdagangan migas yang menurun. Perbaikan neraca perdagangan nonmigas dipengaruhi oleh penurunan impor nonmigas, terutama karena turunnya impor barang modal dan bahan baku.

Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif Januari-September 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit 3,78 miliar dolar AS. Sementara itu, posisi cadangan devisa cukup tinggi sebesar 114,8 miliar dolar AS pada akhir September 2018, atau setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

"Ke depan, prospek neraca perdagangan dan transaksi berjalan diharapkan terus membaik sejalan dengan berbagai upaya Pemerintah bersama Bank Indonesia untuk menurunkan defisit transaksi berjalan," kata Mirza.

Rupiah

Selanjutnya, BI mencatat nilai tukar Rupiah masih mengalami depresiasi namun dengan volatilitas yang terjaga. Tekanan depresiasi Rupiah pada September 2018 dan kemudian berlanjut pada Oktober 2018 sejalan dengan pergerakan mata uang negara peers. Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 2,07% pada September 2018 dan sedikit melemah pada Oktober 2018.

Dengan perkembangan ini, maka secara year to date (ytd) sampai dengan 22 Oktober 2018, Rupiah terdepresiasi 10,65% atau masih lebih rendah dari pelemahan yang terjadi di Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki.

"Ke depan, Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar, didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan. Kebijakan tersebut diarahkan untuk menjaga volatilitas Rupiah serta kecukupan likuiditas di pasar sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Sementara Inflasi masih terkendali pada level yang rendah dan stabil. Indeks Harga Konsumen mengalami deflasi sebesar 0,18% (mtm) pada September 2018, lebih dalam dibandingkan dengan deflasi bulan lalu sebesar 0,05% (mtm). 

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga disertai intermediasi perbankan yang meningkat dan risiko kredit yang terkelola dengan baik. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan tetap tinggi mencapai 22,8% dan rasio likuiditas (AL/DPK) masih aman yaitu sebesar 18,3% pada Agustus 2018. Selain itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah yaitu sebesar 2,7% (gross) atau 1,3% (net).

Pertumbuhan kredit pada Agustus 2018 tercatat sebesar 12,1% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,3% (yoy). Adapun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Agustus 2018 sebesar 6,9% (yoy), stabil dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya 6,9% (yoy).

 

--- Sandy Javia

Komentar