Breaking News

REGIONAL Diduga Bermasalah, Pembangunan di Desa Kobaleba Malah Tak Tersentuh Hukum 09 Jan 2021 09:59

Article image
Salah satu pembangunan rabat jalan Desa Kobaleba yang ditangani CV. Karya Jaya masih mandek hingga sekarang sejak dikerjakan tahun 2017. (Foto: Che)
Selain pembangunan rabat jalan yang diduga bermasalah, item pembangunan lain yang juga diduga bermasalah namun tidak terungkap dan tidak tersentuh hukum, yakni proyek air minum Desa, yang juga menelan anggaran biaya ratusan juta rupiah tanpa realisasi fi

ENDE, IndonesiaSatu.co-- Pembangunan infrastruktur Desa, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), tidak jarang meninggalkan masalah.

Dugaan masalah dapat disebabkan oleh berakhirnya tenggat waktu pengerjaan dan mandeknya realisasi fisik (pekerjaan).

Hasil penelusuran media ini beberapa waktu lalu, persoalan dimaksud di antaranya ditemukan di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Salah satu item pembangunan yakni rabat jalan tani yang menelan anggaran ratusan juta rupiah.

Bahkan, sejak dikerjakan pada Tahun Anggaran 2017 silam oleh CV. Karya Jaya dengan Pengelola Mikael Karo, pada masa kepemimpinan periode pertama Kepala Desa Agustinus Remi, hingga kini masih meninggalkan kondisi pekerjaan yang memprihatinkan.

Meski meninggalkan persoalan terkait kondisi pekerjaan, namun pekerjaan tersebut justru 'lolos' dari hasil audit pihak Inspektorat maupun Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kabupaten Ende, terhitung sejak tahun pengerjaan hingga sekarang.

Menurut informasi yang dihimpun media ini dari Tim Pengelola Kegiatan Desa Kobaleba, volume pekerjaan tersebut yakni 900 meter. Namun hingga kini sekitar 200-an meter belum direalisasi meski total anggaran pengerjaan sudah dialokasikan 100%.

Selain pembangunan rabat jalan yang diduga bermasalah, item pembangunan lain yang juga diduga bermasalah namun tidak terungkap dan tidak tersentuh hukum, yakni proyek air minum Desa, yang juga menelan anggaran biaya ratusan juta rupiah tanpa realisasi fisik hingga sekarang.

"Kami (masyarakat, red) tidak tahu lagi harus omong apa. Banyak anggaran di Desa yang tidak sesuai dengan kondisi pembangunan yang ada. Namun anehnya, hal itu dianggap biasa saja dan hampir tidak pernah berurusan dengan hukum. Pembangunan di Desa ini seperti jalan di tempat," keluh seorang warga yang tidak ingin namanya dicatut.

Selain pengelolaan anggaran yang dinilai tidak transparan, regulasi dan mekanisme pengerjaan juga masih mengandalkan jasa pihak ketiga (kontraktor dan supplyer) yang faktanya tidak menunjukkan hasil signifikan.

Bahkan, diduga pihak ketiga juga berasal dari oknum polisi yang menawarkan jasa supplyer di beberapa Desa di wilayah kecamatan Maukaro, termasuk Desa Kobaleba.

Alhasil, kualitas beberapa pekerjaan dengan nilai anggaran puluhan bahkan ratusan juta rupiah bahkan ada yang sudah rusak, padahal usianya belum setahun. 

Sementara melalui berbagai media, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri PDTT), Abdul Halim Iskandar menegaskan bahwa penggunaan Dana Desa harus dilakukan secara swakelola dan jangan lagi melibatkan kontraktor.

Menteri Abdul mengingatkan, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan prioritas penggunaan dana desa.

Pertama, prioritas ditetapkan sesuai dengan kewenangan desa.

Kedua, dikerjakan secara swakelola.

Ketiga, prioritas penggunaan dana desa juga harus memperhatikan program padat karya.

Abdul menekankan kepada para kepala desa, badan permusyawatayan desa (BPD), dan pendamping desa, bahwa penggunaan dana desa tidak boleh melibatkan pihak ketiga.

"Kalau toh ternyata digunakan untuk membangun yang sifatnya sangat kompleks, dikonsultasikan dengan pemerintah kabupaten/kota, di sana ada dinas pekerjaan umum, itu akan lebih memiliki kewenangan dan keahlian yang representatif," kata Abdul.

"Tetapi kalau di luar, di bawah itu, yang tidak terlalu kompleks harus swakelola lagi, tidak boleh melibatkan atau dipihakketigakan," tegasnya.

Administrasi Desa dan Sistem Birokrasi Buruk

Sebagian masyarakat Desa Kobaleba menilai sistem birokrasi di Desa buruk dan tidak transparan sehingga banyak kebijakan diambil secara sepihak tanpa musyawarah dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga mitra pemerintah desa dan keterwakilan aspirasi masyarakat.

Selain itu, tugas, fungsi dan peran TPK Desa terjebak dalam kebijakan Desa yang mengabaikan regulasi sebagaimana seharusnya sesuai payung UU Nomot 16 Tahun 2014 Tentang Desa.

"Kami sendiri yang menyaksikan proyek rabat jalan yang masih mentok di tengah jalan. Juga proyek air minum yang tidak ada realisasi sampai sekarang. Hanya gulungan pipa yang ada di halaman rumah Ketua TPK. Itupun sudah hampir setahun tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Padahal, anggaran proyek ratusan juta. Ini sangat disayangkan, sementara kebutuhan masyarakat yang sangat krusial justru diabaikan. Kami sama sekali tidak merasakan dampak pembangunan di Desa Kobaleba," komentar seorang tokoh muda, Bento Naga.

Selain pengelolaan anggaran desa yang belum menyentuh akar persoalan masyarakat, kinerja aparat desa dinilai tidak kredibel dan tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi).

Bahkan, absennya aktivitas aparat di kantor Desa sudah menjadi kebiasaan lama.

"Sejauh yang kami amati, setiap hari aktivitas di kantor desa hanya Sekretaris Desa (Sekdes). Sementara, perangkat desa yang lain, termasuk Lembaga Desa (BPD) tidak pernah masuk kantor, kecuali ada agenda rapat atau pertemuan di kantor Desa. Kinerja aparat desa tidak bedanya dengan masyarakat biasa," nilai Bento.

Tidak Transparan

Tingkat transparansi pengelolaan Anggaran Desa di Desa Kobaleba dinilai sangat rendah. Beberapa tokoh masyarakat mengakui, pengelolaan Dana Desa lebih banyak diatur sendiri oleh Kepala Desa dan staf, tanpa sosialisasi atau melibatkan masyarakat. Bahkan, Bendahara Desa tidak cukup berperan dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan dana desa.

Karena itu, apa yang dikerjakan Kepala Desa bersama staf dan rekanan (pihak ketiga) tidak diketahui masyarakat termasuk mata angggaran dan jenis pekerjaan. Masyarakat hanya tahu setelah pengerjaan dimulai.

Beberapa tokoh masyarakat dan tokoh muda di desa menyayangkan besarnya dana desa belum berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat.

Selain pemanfaatan Dana Desa yang belum tepat sasaran, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Pengurus, hingga kini belum terbentuk sama sekali, sejak bernaung dengan BUMDes Desa induk Nabe sebelum pemekaran wilayah Desa.

Selain tidak transparan dan kredibelnya pengelolaan Anggaran Desa, bukti tidak transparannya sistem birokrasi Desa yakni pergantian perangkat Desa dan Pengurus TPK yang diduga menyalahi regulasi.

Salah satu keluhan itu diutarakan salah seorang perangkat Desa, Bernadeta Gete, yang diberhentikan secara sepihak tanpa melalui mekanisme Surat Keputusan Pemberhentian.

Atas aduan tersebut, pihak Ombudsman NTT melalui surat resmi per 27 November dan 11 Desember 2020, telah melayangkan surat permintaan klarifikasi yang tujukan kepada Kepala Desa Kobaleba.

"Kami meminta agar tidak ada pejabat hingga di tingkat Desa yang kebal hukum. Jika ada persoalan yang harus diselesaikan secara hukum, selesaikan secara hukum. Jika terus dibiarkan, maka berapapun anggaran yang mengalir ke Desa, sama sekali tidak membawa dampak bagi masyarakat. Tolong perjuangkan suara dan keluhan kami masyarakat kecil," harap seorang warga yang mengaku kesal dengan kondisi di Desa.

--- Guche Montero

Komentar