Breaking News

HUKUM Hakim Vonis Bersalah Tapol Papua, Amnesty Internasional Indonesia: Negara Gagal Hormati HAM 20 Jun 2020 00:13

Article image
Tujuh Tahanan Politik Papua yang dikenai Pasal Makar. (Foto: papuabangkit.com)
Menurut Usman, negara harus menghentikan kriminalisasi terhadap orang Papua dengan penggunaan pasal makar.

JAYAPURA, IndonesiaSatu.co-- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan telah merampungkan sidang tujuh aktivis Papua, Rabu (17/6/20).

Para terpidana yakni Buchtar Tabuni, Stevanus Itlay, Alexander Gobay, Agus Kossay, Hengky Hilapok, Feri Kombo dan Irwanus Urobmabin.

Vonis mereka di bawah 1 tahun penjara dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Meski demikian, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid merespons putusan hakim tersebut.

"Kami sangat menyayangkan putusan pengadilan tersebut. Walau putusan jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, tetap saja seharusnya tujuh tahanan nurani itu dari awal tidak ditangkap, dipenjara dan dituntut secara hukum," ucap Usman dalam keterangan tertulis seperti dilansir tirto.id.

Menurut dia, ketujuh pria itu seharusnya dibebaskan dan seluruh tuduhannya dihapuskan. Situasi pandemi kini juga menjadikan tahanan menjadi salah satu tempat rawan penyebaran Covid-19. 

"Memenjarakan mereka tanpa adanya bukti kejahatan, bahkan hanya untuk satu malam, benar-benar bertentangan dengan Hak Asasi Manusia," sorot Usman.

Usman menilai, para aktivis Papua hanya mengikuti aksi protes damai terkait rasisme yang dialami saudara sebangsanya di Asrama Surabaya tahun lalu.

Dalam aksi protes, mereka menggunakan hak sebagai warga negara untuk berekspresi, berkumpul dan mengemukakan pendapatnya untuk memprotes tindakan rasisme.

"Iktikad baik otoritas di negara ini sangat dinantikan, dasar hukumnya jelas sudah ada. Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 telah mengatur tentang amnesti dan abolisi," kata Usman.

Menurutnya, di era Presiden BJ Habibie, tahanan politik atau tahanan nurani Timor-Timur dibebaskan.

Presiden Jokowi sendiri bahkan membebaskan lima tahanan nurani Papua di awal periode pertama kepemimpinannya.

Ia menegaskan bahwa putusan itu menunjukkan kegagalan negara untuk menghormati HAM, juga kegagalan pemerintah memenuhi janji melindungi kebebasan berekspresi.

"Bagaimana bisa mereka dijatuhi hukuman, sementara yang mereka lakukan dilindungi oleh hukum negara bahkan konstitusi?" tegas Usman.

Menurut dia, negara harus menghentikan kriminalisasi terhadap orang Papua dengan penggunaan pasal makar.

"Tidak seorang pun harus menderita perlakuan ini karena menghadiri demonstrasi secara damai," ucap dia. 

Berikut daftar putusan putusan hakim dan perbandingan dengan tuntutan:

1. Alexander Gobay divonis 10 bulan (tuntutan 10 tahun);

2. Hengky Hilapok 10 bulan (5 tahun);

3. Stefanus Itlay 11 bulan (15 tahun);

4. Ferry Kombo 10 bulan (5 tahun);

5. Agus Kossay 11 bulan (15 tahun);

6. Buchtar Tabuni 11 bulan (17 tahun);

7. Irwanus Uropmabin 10 bulan (5 tahun). 

Pada saat pembacaan vonis di PN Balikpapan, aksi solidaritas Ibu Kota Provinsi Papua digelar oleh mahasiswa Universitas Cenderawasih dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.

Mereka berencana untuk menggelar doa di Abepura, lokasi perkotaan di Jayapura, agar rekan-rekannya divonis bebas.

Aparat keamanan Indonesia menghadang massa, sehingga hanya bisa beraksi di kawasan Universitas Cenderawasih.

Mereka juga membacakan pernyataan sikap yang intinya meminta pemerintah membebaskan tanpa syarat tahanan politik korban rasisme di seluruh Indonesia.

"Pertama, kami harus melawan rasisme. Kedua, jika pasal makar dikenakan kepada pimpinan mahasiswa karena mengungkapkan pendapat di muka umum, berarti akan menjadi sejarah baru di Indonesia, dan kami akan sangat sakit," ujar Koordinator lapangan, Ones Sama.

--- Guche Montero

Komentar