Breaking News

KOLOM Imamat Saya Bukan Kursi Panas (Refleksi 24 Tahun Imamat) 03 Sep 2021 11:25

Article image
Saya masih terus berjuang merawat imamatku di negeri Alpen Swiss. (Foto: ist)
Terima kasih atas anugerah imamatMu di "Langa, Alpen Kecil Wolobobo-Inerie" 24 tahun lalu.

Oleh Stefanus Wolo Itu

 

SAYA ingat hari tahbisan imamatku 24 tahun silam. Hari itu Rabu tanggal 3 September 1997. Saya bersama 8 teman lainnya menerima urapan suci di pelataran gereja paroki Langa-Bajawa, Keuskupan Agung Ende. Paroki Langa adalah sebuah kawasan indah. Kawasan "negeri di atas awan" yang terbentang antara Wolobobo dan Inerie.

Saya memuji tanah tempat saya "tiarap tanda kerapuhan" yang diiringi lagu litani orang kudus itu. Langa itu salah satu lembah "Alpen Kecil" di bumi Flores. Alamnya indah dan subur. Orang-orangnya ramah dan ulet. Mereka maju dalam ekonomi dan pendidikan. Banyak orang berkualitas dalam pelbagai matra kehidupan lahir dari sana.

Mereka juga kaya tradisi budaya. Mereka merawat tradisi itu dan setia melestarikannya. Mereka merayakan pesta budaya Reba secara teratur. Saat ini Langa menjadi episentrum produksi pakaian adat Bajawa.

Beberapa waktu lalu saya membaca buku Prof. Dr. Susanne Schröter. Dia Profesor dari Institut Antropologi Sosial di Universitas Goethe Frankfurt am Main Jerman. Susanne menulis buku tentang budaya Langa. Judulnya keren: Die Austreibung des Bösen: Ein Beitrag zur Religion und Sozialstruktur der Sara Langa in Ostindonesien. Artinya "Pengusiran Kejahatan: Sebuah Bantuan Untuk Agama Dan Struktur Sosial Menurut Orang Langa Di Indonesia Timur". Apresiasi saya untuk masyarakat adat Langa. Ini contoh menarik bagaimana orang Langa merawat kekayaan budayanya. Dan warisan budaya itu menjadi materi kajian akademis orang Eropa.

Di Langa inilah, Mgr. Abdon Longinus Da Cunha, Uskup Agung Ende saat itu mentahbiskan kami. Beliau memimpin upacara tahbisan dengan hikmat. Suaranya syahdu dan berwibawa. Longinus juga seorang orator mimbar sabda yang istimewa. Refleksi biblisnya selalu menyapa. Alur pesan kegembalaannya mengalir tanpa teks. Pilihan katanya menyentuh hati.

Ibu Ince Dopo memimpin koor tahbisan yang membahana. Anak-anak SMA membawakan tarian liturgi dalam kemasan budaya Ngada, Nagekeo dan Riung. Perpaduan koor dan tarian yang mempesona. Tiga ratusan imam hadir dan menumpangkan tangan di atas kepala kami. Ribuan umat paroki Langa dan paroki-paroki asal para imam baru menyaksikan peristiwa imam itu.

Bapak Johanes Josef Due almarhum dan bapak Albertus Nong Botha menahkodai panitia tahbisan akbar itu. Bupati Ngada saat itu Drs. Johanes Samping Aoh dan seluruh jajaran pemerintah daerah memberikan dukungan penuh. Umat paroki Langa bersama gembalanya P. Tadeus Piech SVD, Misionaris asal Polandia memberikan pengorbanan ekstra.

Sungguh sebuah perayaan akbar. Sembilan pemuda ditahbiskan menjadi imam. Ada empat imam projo keuskupan Agung Ende: Rm. Rofinus Neto Wuli, Rm. Dominikus Wawo, Rm. Richardus Muga Buku (saat ini di keuskupan Maumere) dan saya Rm. Stefanus Wolo Itu. Ada tiga orang imam Ordo Pasionis yaitu almarhum Rm. Stefanus Lengi CP, Rm. Polce Menge, CP dan Rm. Marius Lami, CP. Dan dua dari ordo Karmel yaitu Rm. Paskalis Mame O.Carm dan Rm. Lorens Wedo O. Carm (sudah mantan).

Hal yang juga mengesankan bahwa tiga dari sembilan imam baru itu berasal dari ikatan tali pusat yang sama. Rm. Polce Menge, Rm. Richardus Muga Buku dan saya sendiri sesungguhnya "Trio Putera Sarasedu". Itulah kisah kasih 24 tahun lalu. Hari yang penuh sukacita. Kami semua "bergaja gora dan berganirai". Kami bersukaria dan bersorak sorai tanpa masker. Kami berangkulan tanpa ketakutan akan virus Corona.

Hari ini saya merayakan ulang tahun tahbisan ke 24. Selama 24 tahun saya merayakan ulang tahun tahbisan di enam tempat berbeda. Ulang tahun 1-2 di paroki Jopu Ende. Ulang tahun ke 3 - 8 di paroki Ratesuba Ende. Ulang tahun ke 9 - 15 di paroki Wolotopo Ende. Ulang tahun ke 16 di Werang Manggarai Barat. Ulang tahun ke 17 di Sankt Augustin Jerman. Ulang tahun ke 18-24 di negeri Alpen Swiss.

 

Memaknai HUT tahbisan

Saya punya dua kebiasaan untuk memaknai ulang tahun tahbisan imamat. Pertama, doa dan ekaristi. Saya bersyukur pada Tuhan atas bimbingannya selama tahun-tahun sebelumnya. Saya juga mohon berkat dan perlindungan untuk ziarah imamat selanjutnya.

Kedua, membaca dan merenungkan kembali motto tahbisan dan hidup imamat saya. Saya melihat kembali ziarah imamat saya. Apakah saya masih seorang figur imam yg mulia dan berharga di mata Tuhan dan umat? Apakah saya juga melayani umat sebagai mahluk mulia dan berharga?

Saya memilih motto imamat: AKU MENGASIHI ENGKAU KARENA ENGKAU MULIA DAN BERHARGA DI MATAKU (Yesaja 43,4a). Saya memilih motto ini saat refleksi akhir menjelang tahbisan diakon di Seminari Tinggi Ritapiret. Saya ingat saat itu saya sempat ragu. Bahkan saya takut untuk maju. Saya sempat berpikir untuk berhenti dan memilih jalan hidup lain. Toh jalan hidup lain juga luhur, mulia dan berharga. Saya merasa tidak layak untuk tugas imamat itu.

Saya membaca kitab Yesaya 43, 1-7. Setelah membaca kitab Yesaya ini hati, pikiran dan perasaan saya tertegun. Rasanya saya sedang membaca surat cinta Tuhan. Tuhan sedang mengungkapkan isi hati kepada kekasihnya Israel. Tuhan juga sedang mengungkapkan isi hatinya pada saya. Teks ini menguatkan saya. Allah melindungi mereka yang percaya kepadaNya. Perlindungan Allah itu pasti. Janji Allah itu bukan basa basi. Karena itu Allah berfirman: Jangan takut!

Seruan jangan takut menjadi penegasan kehadiran Allah. Jangan takut, Aku ada. Tuhan yang meneguhkan dan memberi harapan. Mengapa demikian? Ya, saya milik kepunyaan Tuhan. Saya juga berharga bagi Tuhan. Saya berharga bukan karena diri saya. Tapi karena Allah yang menganggap saya berharga. Sayapun berharga di mata Tuhan. Saya adalah kepunyaan Tuhan. Hidup saya adalah anugerah Tuhan yang berharga. Karena itu saya berkomitmen untuk maju ke altar tahbisan diakon di Ritapiret dan imamat di Langa. Saya berjanji untuk mengisi hidup imamat yang berharga dan mulia ini.

Pada hari ulang tahun imamat ke 24 ini, saya doa dan rayakan ekaristi sendirian di tengah litani ketakutan.

 

Bukan kursi panas

Takut kehilangan harta benda? Saya tidak punya harta benda. Semua itu milik orang yang dititipkan pada saya. Apakah saya takut kehilangan pekerjaan? Saya kira imam tidak pernah kurang kerjaan. Apakah saya takut kehilangan jabatan? Imamat saya melekat sampai kekal. Imamat saya bukan kursi panas. Dia tak kan bisa direbut. Kecuali saya melepaskannya.Takut kehilangan nama besar? Eh, nama saya tetap tertulis: Stefanus Wolo Itu. Saya cuma takut kalau saya tak bisa menyebut lagi nama rekan kerja dan umat. Itu artinya saya tidak menghargai mereka dan tidak menghormati martabat mulia mereka.

Secara manusiawi saya takut sakit corona dan mati sendirian. Saya takut kehilangan orang-orang yang dikasihi. Saya takut kesulitan hidup sama saudara sebagai konsekuensi dari situasi pandemi yang berkepanjangan. Ya, saya takut karena berhadapan dengan ketidakpastian. Saya berada dalam ketidakberdayaan dan merasa tak mempunyai kekuatan.

Tema bulan kitab suci nasional tahun ini istimewa. "Tenanglah! Aku ini, jangan takut! (Mateus 14,27). Corona telah menciptakan chaos dan rasa takut yang hebat.

Dalam situasi ini Yesus meneguhkan saya. Yesus adalah sahabat saya ketika saya berputus asa, kehilangan, menderita dan bertobat. Dia mengasihi saya, karena saya mulia dan berharga di mata Tuhan.

Saya berharga dan mulia karena Tuhan. Dia telah mengasihi saya dengan kasih yang kekal. Penghargaan dan kemuliaan tidak bersumber pada casing saya. Artinya tidak bersumber pada tubuh dan penampilan saya. Tidak bersumber pada pendidikan dan status saya. Tidak bersumber pada nama besar leluhur, keluarga dan harta kekayaan saya.

Saya sadar kerapuhan saya. Tampilan saya tidak ideal, makin tua dan semakin tak sempurna. Saya tidak punya keunggulan fisik, materi, status sosial dan prestasi. Tapi semuanya itu tidak mengurangi nilai dan kemuliaan saya sebagai imam. Kekurangan, kegagalan, ketidaksempurnaan selama 24 tahun imamat hanya menunjukan bahwa saya sangat membutuhkan kasih karunia Tuhan. Karunia untuk hidup sebagai imam yang berharga. Karunia untuk tetap memandang sesamaku sebagai mahluk mulia. Dunia kita sedang berada dalam krisis penghargaan!

Hari ini saya membaca dan merenungkan lagi motto imamatku. AKU MENGASIHI ENGKAU KARENA ENGKAU MULIA DAN BERHARGA DI MATAKU. Terima kasih atas anugerah imamatMu di "Langa, Alpen Kecil Wolobobo-Inerie" 24 tahun lalu. Terima kasih untuk semua keluarga, penjasa, umat, rekan imam dan bapa Uskup sejak hari tahbisan.

Saya masih seperti yang dulu. Saya masih terus berjuang merawat imamatku di negeri Alpen Swiss. Perjuangan mengikuti irama empat musim Eropa: panas, dingin, gugur dan semi. Saya tetap yakin, Tuhan selalu hadir dalam musim-musim itu.

 

Penulis adalah imam projo Keuskupan Agung Ende,  Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss.

Komentar