Breaking News

SOSOK IN MEMORIAM: Albertus L.D. Botha 14 Jan 2021 03:39

Article image
Alm. Berto Botha, mantan Ketua Paguyuban Ngada diaspora Jabodetabek.
Albertus LD Berto adalah seorang tokoh masyarakat Ngada diaspora. Dia adalah pendiri sekaligus ketua PKBNJ (Paguyuban Keluarga Besar Ngada Jakarta).

Oleh: Sipri Bate Soro (SBS)*

-------------

SANG MOSALAKI NGADA DIASPORA YANG PENUH SENYUM DAN KARISMATIS ITU SUDAH BERPULANG

Kehadirannya Sungguh Membuat Perbedaan

Hari-hari ini kami warga komunitas Ngada diaspora se-Jabodetabek sedang gundah gulana dan merasakan kesedihan yang mendalam karena baru saja kehilangan seorang tokoh besar pada 7 hari yang lalu. Seorang sosok pribadi yang sangat karismatis namun rendah hati. Sosok itu adalah Abang Berto Botha.

Abang Berto adalah seorang tokoh masyarakat Ngada diaspora. Dia adalah pendiri sekaligus ketua PKBNJ (Paguyuban Keluarga Besar Ngada Jakarta). Suatu ketika, berkumpul tokoh-tokoh orang Ngada diaspora yang merasa terpanggil untuk membentuk sebuah organisasi yang mengayomi komunitas diaspora yang berjumlah ribuan orang dan tersebar di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Organisasi ini hadir di blantika kehidupan metropolitan warga Ngada diaspora sejak akhir tahun 2013, namun baru disahkan pada 9 Agustus 2014 di Kantor Penghubung Provinsi NTT, Jakarta.

Dan sejak hadirnya organisasi ini dengan segala kiprahnya, seluruh warga Ngada diaspora di Jabodetabek bak menemukan sebuah oase untuk pulang. Homecoming– yaitu pulang kampung ke sebuah komunitas yang merayakan jatidiri dan kebudayaannya sebagai orang Ngada di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan Jakarta Raya.

Berkat tangan dingin dari Abang Berto di PKBNJ, komunitas Ngada diaspora bersama-sama telah mengukir pencapaian fenomenal. Berikut adalah beberapa pencapaian monumental yang akan terus tercatat dalam memori masyarakat Ngada diaspora Jabodetabek.

FESTIVAL REBA NGADA JAKARTA

Road to UNESCO

Di bawah kepemimpinan Abang Berto, organisasi PKBNJ membangun kerjasama apik dengan Kantor Badan Penghubung Pemerintah Provinsi NTT di Jakarta, saat itu di bawah kepemimpinan Abang Berto Lalo, kemudian memulai sebuah prakarsa yang sangat cerdas yaitu menyelenggarakan sebuah Festival Adat Reba Ngada di Jakarta pada awal tahun 2014.

Dikatakan cerdas karena PKBNJ memilih platform sosial budaya – dan bukan ekonomi atau politik – sebagai basis eksistensinya. Pesta Adat Reba dipilih karena Rèba dirayakan oleh hampir sebagian besar orang Ngada di berbagai kampung. Kecerdasan lain ditunjukkan oleh keterbukaan untuk mengundang keseluruhan komunitas Ngada dengan sub-kultur selain Reba untuk hadir dan menampilkan kekhasan identitas kulturalnya dalam Festival Adat Reba Ngada Jakarta.

Maka terjadilah bahwa sama saudara Ngada dari sub-kultur Riung di wilayah Utara (Riung, Riung Barat, Wolomeze) dan juga dari sub-kultur Nage di wilayah Golewa dan Golewa Selatan yang berbatasan dengan Nagekeo dengan kekhasan Reba Sudu, juga tampil dalam Festival Reba Ngada Jakarta.

Festival Adat Reba yang pertama di 2014 membawa kesuksesan yang luar biasa. Reba Ngada Jakarta 2014 menampilkan Misa Inkulturasi Reba dengan Tarian Ja’i yang sangat memukau. Misa dipimpin oleh Bapak Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsensius Potokota, Pr, dilanjutkan dengan Lakon Reba mengikuti langgam Reba Nage (Jerebu'u) dengan mentornya adalah Abang Carel Da'e dan Abang Eman Sebo. Selain itu, wakil pemerintah yg hadir adalah Staf Ahli Kemenparekraf, Frans Teguh dan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.

Dalam kesempatan itu, Abang Berto selaku ketua PKBNJ, dan Abang Berto Lalo sebagai Kepala Badan Penghubung Provinsi NTT di Jakarta, mengumumkan dua komitmen untuk: Pertama – Menjadikan Festival Adat Reba Ngada sebagai agenda budaya tahunan tetap di Taman Mini Indonesia Indah (TMII); dan Kedua – Membangun Sebuah Replika Sa’o Ngada dalam kompleks Anjungan NTT, TMII. Pencanangan komitmen di depan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, itu sekaligus merupakan ujian berat bagi komunitas Ngada diaspora, khususnya Abang Berto Botha selaku ketua PKBNJ. Sungguh sebuah komitmen yang tidak ringan.

Kepemilikan dan inisiatif festival Reba dikembalikan ke Komunitas

Suksesnya Reba Ngada Jakarta 2014 secara luar biasa melahirkan satu pertanyaan: bagaimana kelanjutan kegiatan seperti ini ke tahun-tahun mendatang? Dalam diskusi dengan tokoh-tokoh PKBNJ disepakati bahwa kepemilikan atas Reba Ngada Jakarta harus dikembalikan kepada berbagai komunitas pendukungnya. Sebuah gagasan yang sangat didukung oleh Abang Berto yang kemudian melakukan komunikasi intensif dengan semua tokoh-tokoh komunitas.

Harus diakui bahwa sejak Festival Reba Ngada dilakukan pertama kali tahun 2014 dan disambut antusias oleh seluruh komunitas diaspora Ngada, maka berbagai komunitas pun siap sedia untuk mengambil tanggung jawab sebagai fasilitator secara bergiliran dengan dukungan PKBNJ. Berkat kepiawaian komunikasi yang dibangun oleh Abang Berto dengan berbagai tokoh komunitas, maka Festival Reba Ngada Jakarta berhasil dilaksanakan sebagai acara tahunan sejak 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020.

Reba Ngada Jakarta 2015 difasilitasi oleh komunitas Golewa Raya, menampilkan Misa Inkulturasi yang amat indah, dimana misa dipimpin oleh Bapak Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsensius Potokota, Pr. Lakon Reba mengikuti langgam Reba Wogo dan Reba Sadha (Golewa) dengan mentornya yaitu Bapak Anis Wawo, Bapak Marsel Selu, dan Bapak Lipus Ko'a. Reba kali ini dihadiri dua Gubernur, yaitu Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, dan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (AHOK), serta Walikota Jakarta Timur Bambang Musyawardhana.

Reba Ngada 2016 difasilitasi oleh komunitas JA’I (Jerebu’u, Aimere, Inerie) menampilkan Misa Inkulturasi yang begitu apik, dimana misa dipimpin oleh Bapak Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San, Pr. Lakon Reba mengikuti langgam Reba Bena dengan mentornya yaitu Abang Anis Titu dan (alm) Abang Niko Tangi. Wakil Pemerintah yang hadir adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat dan pejabat dari Kemenparekraf RI. Selain itu hadir pula utusan Badan PBB.

Reba Ngada 2017 dilakukan secara sederhana dan terbatas hanya internal komunitas Ngada diaspora karena sedang berkonsentrasi pada pembangunan replika Sa’o Ngada. Misa dipimpin Romo Ronny Neto Wuli, Pr, dilanjutkan dengan acara “Soka Uwi” dan “O Uwi” untuk kalangan terbatas.

Reba Ngada Jakarta 2018 menampilkan Misa Inkulturasi yang amat meriah yang dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta yaitu Kardinal Ignasius Suharyo, Pr yang sekaligus memberikan berkat khusus untuk bangunan Sa’o Ngada di TMII. Sementara Wakil Pemerintah yang hadir adalah Staf Khusus Presiden, Bapak Gories Mere. Lakon Reba mengikuti langgap Bajawa (Nua Limazua) dengan mentornya yaitu Bapak Domi Nanga.

Reba Ngada Jakarta 2019 kembali dilakukan secara sederhana dan difasilitasi oleh PKBNJ. Kali ini kembali misa dipimpin oleh Romo Edu Dopo, SJ. Dirayakan secara sederhana untuk kalangan internal Ngada, karena pada saat yang bersamaan warga Ngada diaspora sedang memperbaiki atap Sa’o dengan menggantinya dengan alang-alang sintetis sehingga semakin menyerupai bangunan aslinya.

Demikian juga dalam Reba Ngada Jakarta 2020, dilakukan secara terbatas. Namun di luar kebiasaan, Abang Berto meminta agar tetap ada penari untuk Ja'i Misa Inkulturasi. Dengan demikian, walau terbatas namun lumayan meriah. Ternyata ini menjadi Reba terakhir yang diikuti Abang Berto bersama warga Ngada diaspora Jakarta.

Festival Reba Ngada Jakarta ternyata menjadi tali temali yang memperat kesatuan dan kerukunan warga Ngada diaspora. Melalui komunikasi yang baik yang digalakkan oleh Abang Berto dan tokoh-tokoh di PKBNJ, kegiatan Festival Reba Ngada Jakarta ini juga mengundang partisipasi dari komunitas diaspora Ngada di kota-kota lain dan juga melibatkan komunitas diaspora dari berbagai kabupaten NTT lainnya. Tidak dipungkiri bahwa lebih dari 5000-an warga diaspora selalu tumpah ruah di bilangan TMII, di Anjungan NTT, dalam setiap festival Reba. Dengan adanya Replika Sa’o Ngada dan festival Reba Ngada sebagai acara tahunan, maka even ini selalu dinanti-nanti oleh komunitas diaspora dari Ngada, Flores, maupun NTT.

Dan karena itu even ini sangat diapresiasi oleh berbagai kalangan NTT dan nasional sebagai pagelaran besar Budaya Ngada di kancah nasional. Tak mengerankan bahwa festival ini sudah menghadirkan berbagai tokoh Gereja Katolik dari Uskup hingga Kardinal, tokoh-tokoh nasional mulai dari Gubernur DKI seperti Ahok dan juga pejabat senior kementerian, juga berbagai komunitas diplomatik dari negara sahabat. Even festival Reba Ngada Jakarta menjadi sangat bergengsi dan menjadi langganan liputan media cetak dan elektronik seperti Kompas, ANTARA, HIDUP, The Jakarta Post, Metro TV, TVONE, dan lain-lain. Hal ini kian menguatkan pemikiran dan komitmen komunitas Ngada diaspora di Jabodetabek untuk terus menguatkan advokasi menuju pengakuan UNESCO akan budaya Reba Ngada sebagai warisan budaya takbendawi (UNESCO Non-material Cultural Heritage).

Dampak internalnya adalah kebanggaan luar biasa akan budaya Ngada yang lahir di kalangan masyarakat diaspora yang tak segan memesan langsung busana adat Ngada untuk dikenakan dalam even Festival Reba Ngada Jakarta. Anak-anak saya yang lahir dan besar di Jakarta pun menjadi sangat berminat dan bangga mengenakan Sapu-Lu’e dan Lawo.

SEMINAR & LOKAKARYA REBA

Menggali inspirasi nilai-nilai Reba Ngada dalam menjawab tantangan kehidupan kontemporer di kalangan komunitas diaspora

Sudah menjadi sebuah pakem atau modus operandi atau SOP yang tetap bahwa sebuah festival tanpa memahami makna hanyalah sebuah aksi tanpa nilai, atau festival yang hampa arti. Bermula dari sebuah pertanyaan reflektif dari Abang Berto dan para tokoh penggagas Reba di awal 2014. “Apa sesungguhnya makna Reba Ngada itu? Dan apa relevansinya dengan kehidupan komunitas Ngada diaspora?”.

Itulah yang melatari bahwa setiap festival Reba Ngada Jakarta pasti didahului dengan sebuah seminar & lokakarya tentang Reba Ngada dari berbagai sudut pandang.

Seminar Reba Ngada 2014 mengangkat tema nilai-nilai dasar budaya Ngada dengan narasumber utama yaitu Pater Dr. Hubert Muda, SVD. Sejak saat itu “Dekalog Budaya Ngada” dan “5 M dalam Budaya Ngada” menjadi sangat popular.

Seminar Reba Ngada 2015 mengangkat tema tentang inspirasi Reba dalam musik dengan narasumber utama Bung Martin Runi (penggagas Misa Inkulturasi Pancawindu), Bapak Anis Wawo (penggiat musik daerah), dan Bung Ivan Nestorman (tokoh dan pegiat musik nasional lintas budaya).

Seminar Reba Ngada 2016 mengangkat tema tentang inspirasi Reba dalam tata busana Ngada, dengan narasumber utama Romo Nobert Labu, Pr, (penulis buku tentang kostum adat Ngada) dan Mama Mia Mole (pengrajin tenunan daerah dari kampung Bena – Ngada, dengan pewarna alami). Selain itu, juga ada kemasan festival budaya untuk anak-anak Ngada diaspora generasi kedua yaitu Festival Punu Nange.

Seminar Reba Ngada 2018 mengangkat tema tentang “Sa’o Ngada” – makna rumah adat dalam budaya Ngada, dengan narasumber utama yaitu Dr. Yohanes Vianey Watu dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, NTT. Kali ini menghadirkan pula seorang pejabat senior UNESCO untuk Indonesia, Ms. Moe Chiba, sebagai pembicara.

Seminar Reba Ngada 2019 mengangkat tema khusus untuk kaum milenial berupa lomba cerdas-cermat dan lomba memakai busana adat untuk laki-laki (Sapu, Lu’e, Ke’ru, Boku, Mare Ngia, Lega Jara, dan Sau) serta busana untuk perempuan (Lawo, Pe’ti Kodo, Kasa Sese, Ke’ru, Mare Ngia, Kebi Tuki, dan Tuba). Sebagai pelengkap juga diadakan perlombaan menabuh Gong Gendang (Titi Go Laba). Ternyata sambutan kaum milenial sangat luar biasa!

Adanya berbagai seminar dan festival ini memberikan edukasi dan informasi kepada segenap khalayak khususnya komunitas Ngada diaspora akan kekayaan budaya Ngada yang sangat luas dan memberikan inspirasi sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan di diaspora.

REPLIKA SA’O NGADA DI TMII

Menghadirkan simbol budaya Ngada dalam lingkaran pergaulan pluralitas budaya Nusantara

Buah dari kebangkitan budaya Ngada di Jabodetabek ini semakin terkonsolidasi dengan didirikannya sebuah replika Sa'o Ngada di Anjungan NTT, TMII.

Hebatnya lagi bahwa pendirian replika Sa'o Ngada ini sebagian besar dilakukan secara mandiri oleh komunitas Ngada diaspora. Artinya ini adalah sebuah proyek sosial budaya yang didanai secara mandiri oleh berbagai komunitas Ngada diaspora di Jabodetabek.

Memang ada 10 komunitas Ngada diaspora di Jabodetabek yang menjadi sokoguru PKBNJ dan selama ini terbina dalam komunikasi intensif dalam semangat kekeluargaan oleh PKBNJ. Mereka adalah: (01) Komunitas Bajawa, (02) Komunitas So'A, (03) Komunitas Langa, (04) Komunitas Riung, (05) Komunitas Golewa, (06) Komunitas Golewa Barat, (07) Komunitas Golewa Selatan, (08) Komunitas Boba, (09) Komunitas Jerebu'u, dan (10) Komunitas Aimere-Inerie.

Bukanlah sebuah proyek yang didanai APBD baik kabupaten maupun provinsi. Malahan setelah proyek ini selesai, kemudian PKBNJ sebagai perwakilan komunitas Ngada diaspora, menyerahkan secara resmi ke Pemprov NTT melalui Kantor Badan Penghubung Pemerintah Provinsi NTT di Jakarta, untuk didaftarkan sebagai aset resmi Pemprov yang berkedudukan di Anjungan NTT, TMII. Dengan demikian, Pemprov bertanggung jawab untuk pemeliharaan terhadap aset tersebut. Monumen kontribusi komunitas itu terpatri rapi di fondamen Replika Sa’o Ngada di TMII.

Adapun di masing-masing komunitas di atas terdapat berbagai kelompok arisan yang bertemu tiap bulan sambil kumpul uang, makan-makan, silahturahmi saling menguatkan. Sebagai contoh, di kalangan komunitas Golewa sendiri yang saya ketahui, terdapat kelompok arisan Were-We, ada kelompok Woe Are, ada kelompok arisan Toda Belu, ada kelompok arisan Mataloko, ada kelompok arisan Doliwaja (Doka Linapau Waso Jadho), ada kelompok arisan Gajagora, dan ada kelompok arisan Were We. Melalui perwakilan atau tokoh-tokohnnya, berbagai kelompol arisan ini dilibatkan dalam perhelatan kegiatan sosial budaya untuk seluruh komunitas Ngada diaspora yg digalang oleh PKBNJ.

Dengan demikian, PKBNJ kemudian lahir dan berakar pada aneka komunitas dan kemudian memayungi semua komunitas Ngada diaspora di Jakarta. Hal ini merupakan salah satu prinsip utama yang diyakini oleh Abang Berto ketika kami melakukan diskusi internal dalam PKBNJ. Beliau menegaskan bahwa PKBNJ tidak boleh elitis dan berorientasi ke atas, tetapi harus dikembalikan kepada komunitas pemangkunya. Maka jadilah bahwa setiap perhelatan apa pun baik besar maupun kecil yang dilakukan oleh PKBNJ, selalu melibatkan penuh ke-sepuluh komunitas di atas.

NGADA INE SINA CHOIR

Ekspresi Identitas Budaya Ngada Melalui Nyanyian dan Musik

Pada tahun 2018, sejumlah anggota koor yang sudah berlatih bersama secara aktif sejak perhelatan Reba pertama kemudian membentuk sebuah kelompok koor baru dengan citarasa Ngada yg sangat kental yaitu Ngada Ine Sina Choir (NISC). Kekhasan komunitas koor ini juga ditunjang dengan iringan musik dalam langgam “Musi Hui” yang sangat melegenda. Koor lintas komunitas ini sangat mewarnai berbagai acara sosial budaya dan religius yang diselenggarakan oleh PKBNJ. Di akhir 2020, NISC mengeluarkan sebuah lagu rohani khas Flores "Alleluya" berlanggam "dolo-dolo" (Flores Timur) dan "Kobe Kena" (atau Silent Night), sebuah lagu Natal dalam bahasa Ngada. Spirit kebersamaan inilah yang merupakan buah dari gagasan besar yang turut dibidani oleh Abang Berto agar komunitas Ngada diaspora semakin akrab, rukun dan bersatu padu.

INTERNATIONAL GAMELAN FESTIVAL (IGF) 2018 – SOLO:

Gelar budaya Ngada dalam panggung nasional dan global

Salah satu persembahan monumental oleh komunitas Ngada diaspora adalah penampilan dalam International Gamelan Festival (IGF) di Solo tahun 2018. Pada kesempatan ini Team Budaya Ngada diaspora menampilkan kolabirasi Go Laba dan Gamelan yang diselingi dengan "Seu Azi" dan "Gerak Tari Tandak SOKA dan TÈ'KE. IGF adalah sebuah even budaya yang diasuh oleh koreografer musik dan film yg sangat terkenal yaitu Garin Nugroho. Acara internasional itu berlangsung sukses, meriah namun hikmat, dan membangkitkan kekaguman akan budaya Ngada luar biasa dari sidang peminat dan pelaku Musik Gamelan se-Nusantara dan manca-negara.

Peran Abang Berto sangat sentral selaku Team Leader yang memastikan seluruh kesiapan logistik untuk seluruh peserta berjalan baik. Padahal dana yg diberikan oleh penyelenggara festival tidak seberapa. Namun Abang Berto berkomunikasi baik dengan semua anggota Team Tari Ngada Diaspora dan berbagi honor secara transparan, biar kecil tapi dirasakan bersama. Sebenarnya kami semua sudah sangat bangga bisa tampil. Namun, kami semua sebagai anggota penari merasa sangat respek dengan keterbukaan Abang Berto.

PPMNJ (Perhimpunan Pemuda dan Mahasiswa Ngada Jakarta)

Media kaderisasi generasi muda

Jauh sebelum lahirnya PKBNJ, Abang Berto rupanya menyimpan keprihatin yang mendalam dan peduli dengan giat kaderisasi kaum muda Ngada diaspora. Lahirnya PPMNJ di awal dekade 2000-an tidak terlepas dari peran beliau yang mendukung secara moril maupun materil. Beliau memandang perlu adanya sebuah organisasi pemuda & mahasiswa Ngada di Jakarta sebagai wadah untuk menyatukan anak muda sambil mengekspresikan bakat dan kemampuan mere di luar kampus dan dunia kerja. Hal itu dibuktikan dengan seringnya para insiator awal PPMNJ berdiskusi dengan beliau di rumah kediamannya yang lama di daerah Ciplag- Kalimalang, Jakarta Timur. Tidak sekadar berbicara, beliau berperan aktif mengikuti beberapa kegiatan pelatihan organisasi yang diselenggarakan oleh PPMNJ, salah satunya adalah memberikan fasilitas sebuah Aula RW sebagai tempat anak-anak muda PPMNJ untuk berdiskusi dan merencanakan program kegiatan PPMNJ di masa-masa awal itu.

Kegiatan yang sangat populer oleh organisasi anak muda ini adalah sepakbola antar kecamatan se-kabupaten Ngada (masih meliputi wilayah Nagekeo). Berawal dari Turnamen Ngada Cup 1, kegiatan sepakbola yang dimotori anak-anak mud aini berhasil menyatukan semua orang Ngada diaspora dari semua lapisa, diikuti oleha serial Ngada Cup 2 sampai 9, dimana beliaau selalu mendukung penuh baik secara moril maupun materil. Kelak serial Ngada Cup tumbuh menjadi turnamen berbasis komunitas kecamatan yang melibatkan tidak saja Ngada dan Nagekeo, tetapi juga wilayah-wilayah se-NTT, membuatnya menjadi ajang perjumpaan antara komunitas Flobamora.

SEMANGAT FILANTROPI DAN SOLIDARITAS SOSIAL

Gereja Boba, Peduli Gurusina, dan Gereja Mataloko

Buah-buah lain yang juga sangat monumental dari komunitas Ngada diaspora adalah bangkitnya jiwa filantropis dan solidaritas sosial. Saya mencatat ada tiga momen yang sangat berharga.

Pertama adalah penggalangan dana untuk Gereja Boba. Pada tahun 2014 Gereja Boba dibangun baru untuk menjawab kebutuhan umat yg kian bertambah jumlahnya. Kegiatan pembangunan tersebut memerlukan biaya besar dan karenanya perlu ada kerjasama antara masyarakat di sana dengan komunitas Boba diaspora di berbagai tempat. Peran Abang Berto amat vital bersama komunitas Boba diaspora Jakarta dalam upaya penggalangan dana ke berbagai pihak baik Pemerintah, dunia usaha, maupun kalangan gereja di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sejak tahun 2013. Berkat kepiawaian komunikasi dari Abang Berto, bersama Panitia Pembangunan Gereja, beliau menghimpun kelompok koor dan mendapatkan akses dari KAJ untuk memberikan pelayanan koor penggalangan dana ke beberapa gereja di KAJ. Semua upaya ini menghasilkan sumbangan dana sebesar lebih dari 1.2 M, yang kemudian disumbangkan bagi pembangunan Gereja Boba. Sebagai putra asli Boba dari darah ibunya, Abang Berto pun dengan bangga dan penuh syukur hadir dalam peresmian gereja baru di Boba pada tanggal 6 Oktober 2017 di kampung asal ibunya di Boba, Golewa Selatan, Ngada - Pulau Flores.

Kedua adalah solidaritas bencana kebakaran Kampung Gurusina, di Kecamatan Jerebu'u. "A Night for Gurusina" yaitu Malam Dana untuk Gurusina yang digagas oleh kaum muda Ngada diaspora menghasilkan sumbangan dana sebesar lebih dari seratus juta rupiah. Dana ini kemudian diserahkan langsung kepada masyarakat Gurusina di tahun 2018.

Ketiga adalah penggalangan dana pembangunan Gereja Mataloko.

Acara yang dihelat di awal tahun 2019 tersebut diselenggarakan oleh Panitia Pembangunan Gereja Mataloko di Jakarta bekerjasama dengan para tokoh-tokoh kawakan dari PKBNJ. Abang Berto turun tangan langsung dan didukung penuh oleh jaringan PKBNJ beserta berbagai komunitas Ngada diaspora di Jabodetabek. Acara yang dikemas secara sederhana tapi meriah tersebut menghasilkan komitmen dana ratusan juta yg digunakan untuk membiayai pengadaan bangku untuk Gereja Mataloko.

KEHADIRAN YANG MEMBUAT PERBEDAAN:

Ramah, Rendah Hati, dan Egaliter

Keramahan dan kerendahan hati yang mempersatukan. Berbagai hal-hal besar yang saya sampaikan di atas tentu bukanlah digagas oleh Abang Berto seorang. Tetapi oleh sebuah team dalam PKBNJ yang amat solid dan progresif dan didukung oleh tokoh-tokoh dari berbagai komunitas diaspora. Namun kehadiran Abang Berto sungguh menjadi perekat yang mempersatukan.

Abang Berto adalah putra mendiang Bapak Jan Jos Botha, mantan bupati Ngada yang sangat legendaris. Namun beliau mempunya pribadi yang sangat bersahaja. Dengan karismanya dan cara berkomunikasinya yang egaliter tanpa membeda-bedakan, apalagi berbagai candaannya, Abang Berto menciptakan suasana hangat dan betah bagi siapa saja. Dengan demikian, banyak gagasan bernas yang didiskusikan secara bebas dan mengalir. Lebih dari itu, Abang Berto mempunyai kecakapan manajerial yang sangat mumpuni sehingga semua gagasan yang besar tadi bisa mempunyai struktur yg baik dan langkah-langkah tindak lanjut yang jelas.

Kegiatan besar di Jakarta memerlukan dukungan logistik dan pembiayaan yang tak main-main. Abang Berto dengan para senior di PKBNJ memang amat piawai dalam menggalang dana. Jaringan komunikasinya mampu menjangkau segala kalangan baik di kalangan komunitas NTT diaspora, kementerian, pemerintah daerah dan sektor swasta. Lebih dari itu beliau mempunyai rekam jejak yang sangat bersih dan transparan dengan reputasi yang teruji. Itulah yang menjelaskan bagaimana serangkaian kegiatan besar yg digagas PKBNJ dalam satu windu kehadirannya di blantika kehidupan metropolitan komunitas Ngada diaspora Jakarta dapat dilaksanakan dengan baik dan berhasil.

Bagi saya, kehadiran beliau sungguh membuat perbedaan. Ketika mencoba merenungkan lebih mendalam, saya menyadari bahwa sumber dari karisma kepemimpinan dari Abang Berto adalah kerendahan hati, rela berkorban, dan memberi contoh (alias leading by example). Beliau sangat egaliter dan merangkul semua orang tanpa membeda-bedakan latar belakangnya dengan gaya komunikasi yang penuh canda tawa. Kantornya di Gedung PLN di Cawang kerap kerap digunakan sebagai markas rapat panitia. Demikian juga rumahnya di Tanah Galian selalu menjadi markas berkumpulnya panitia Reba, pengurus PKBNJ, dan anak-anak muda teman sepakbola. Ketika menggalang dana untuk keperluan kegiatan apapun, beliau selalu yang paling depan.

Itulah Abang Berto! Dia bukan saja sebuah nama, tetapi ia adalah sebuah kehadiran, yakni kehadiran yang membuat perbedaan.

CATATAN PENUTUP

Masih banyak yang bisa saya tuliskan tentang Abang Berto tetapi biarkan kisah-kisah ini hidup dalam hati sanubari komunitas Ngada diaspora di Jabodetabek!

Ada satu sisi lain yang tak mungkin terlupakan! Saya sendiri merasa sangat terhormat ketika banyak orang mendorong saya untuk terjun dalam perhelatan politik Pilkada Ngada 2020, beliau sebagai salah satu tokoh diantara banyak senior Ngada diaspora Jakarta yang mendukung penuh dan bahkan siap menjadi ketua team jika diperlukan. Namun beliau sangat memahami ketika saya memutuskan untuk tetap fokus dalam tugas profesional saya di Badan PBB.

Ketika replika Sa'o Ngada di TMII selesai dibangun dan mulai digunakan, pada malam menjelang Festival Adat Reba Ngada Jakarta, kami selalu berkumpul untuk merayakan "Kobe Dhè'ke Rèba".

Pada suatu kesempatan beliau memandang ke langit-langit Sa'o dan berujar bahwa walaupun sebuah replika, namun Sa'o ini sudah dihuni leluhur, yaitu orang-orang Ngada diaspora yg sudah mendahului kita, yakni (alm) Om Thomas Bupu Woda, (alm) Kakak Alo Anu, (alm) Abang Niko Tangi, (alm) Abang Herman Nono, (alm) Abang Anis Wigo, dan (almh) Kakak Nona Ruma. Tentu saja itu adalah sebuah candaan yang menjadi kekhasan Abang Berto. Namun ramalan candanya itu kini terpenuhi. Abang Berto pun sudah bergabung dengan mereka sebagai salah satu leluhur yang boleh bersemayam Sa'o Ngada di TMII.

Kabar duka itu datang dalam sekelebat! Pada tanggal 1 Januari, saya mendapat WA ucapan selamat Tahun Baru dari Abang Berto yg penuh semangat. Tiba-tiba tanggal 7 Januari, saya mendapat informasi bahwa Abang Berto sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit di Labuan Bajo dalam keadaan yang cukup serius karena positif Covid 19. Ternyata beliau sudah dirawat di RSUD Bajawa sejak tanggal 5 Januari dan kemudian dirujuk untuk cuci darah ke RS Siloam di Labuan Bajo. Setelah pemeriksaan swab di RS Siloam barulah diketahui bahwa beliau positif Covid 19 dan karenanya dirujuk ke RSUD Komodo, sebabagi RS rujukan untuk penanganan Covid 19 di Kabupaten Manggarai Barat. Kami pun bersama semua komunitas Ngada diaspora serentak mengirimkan doa mohon kesembuhan beliau.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, rupanya Tuhan Sang Empunya Kehidupan berkehendak lain. Abang Berto menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 7 Januari sore hari di RSUD Komodo di Labuan Bajo. Beliau berpulang di depan istrinya, Kakak Ida Jawa dan anaknya Michele serta beberapa keluarga dan kerabat dekat yang menjaganya. Mengingat beliau positif Covid 19, maka pemakaman beliau dilakukan sesuai SOP Pemerintah yaitu Protokol Covid 19. Jenazah beliau pun dimakamkan langsung keesokan harinya di sebuah lokasi khusus untuk korban Covid 19 di Majarite, di luar kota Labuan Bajo.

Banyak di antara kami komunitas Ngada diaspora Jabodetabek yang mengikuti doa bersama secara online melalui link zoom pada pagi hari 8 Januari minggu kemarin. Tentu kami semua memandang dengan tidak percaya dan mulut terkatup, bagaimana seseorang yang sangat kami hormati, dan sudah berbuat banyak untuk begitu banyak orang, namun mengalami proses pemakaman dengan protokol Covid 19 di sebuah tempat terpencil, jauh dari keramaian, tanpa upacara keagamaan, dan jauh dari keluarga besar. Secara manusiawi tentu kami sangat sedih karena hanya bisa memandang dari kejauhan.

Di atas segalanya, dengan segala keterbatasan manusiawi, Tuhan Sang Empunya Kehidupan pasti mempunyai rencana terindah bagi hamba-Nya. Walau bagaimanapun, Abang Berto pasti merasa damai karena dipeluk dalam rahim Bumi Flobamora yang dicintainya.

Sebagai bagian dari komunitas Ngada diaspora, tentu kami tetap bertekad untuk meneruskan berbagai legacy (capaian-capaian historis) yang sudah diwariskan oleh Abang Berto. Ada satu kerinduan beliau untuk melengkapi Replika Sa’o Ngada dengan replika “Madhu/Ngadhu dan Bhaga” semoga kelak bisa direalisasikan.

Atas nama pribadi dan keluarga, saya menyampaikan rasa kehilangan dan duka mendalam kepada sang istri yaitu Kakak Ida Jawa dan anak-anaknya, Juan dan Michel. Bersama komunitas Ngada diaspora Jabodetabek, kami melambungkan doa, semoga Tuhan Yang Maha Rahim mengampuni semua dosa dan kesalahan yang diperbuat semasa hidupnya dan mengganjari segala kebaikannya dengan kebahagiaan surgawi. Semoga Tuhan juga memberikan kekuatan spiritual kepada Kakak Ida dan anak-anak dalam menghadapi ujian ini dan bangkit untuk meneruskan kehidupan selanjutnya.

Selamat jalan, Abang BB! Requiescat in Pace. Amen.

***

*Penulis adalah salah seorang pengurus PKBNJ,
Fasilitator Penghubung Komunitas Golewa

Komentar