Breaking News

OPINI Jumat Agung: Dari Kepasrahan Golgota ke Kepasrahan Hati 10 Apr 2020 08:56

Article image
Ilustrasi penyaliban di Golgota. (Foto: Tribun News)
Pengalaman terkini, dalam suasana duka dan ketakutan dunia akibat covid 19, kita mengalami, menjalani dan merayakan Jumat Agung pada puncak salib yang sesungguhnya.

Oleh Alfred B. Jogo Ena

 

Eloi..eloi...lama sabaktani...Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau tinggalkan Daku?” Itulah lamentasi duka dalam pasrah yang diserukan Tuhan Yesus ketika berada pada puncak salib. Apakah Yesus takut dan putus asa?

Ada empat nuansa pengalaman yang berbeda tentang perayaan Jumat Agung yang pernah saya ikuti. Pertama ketika masih kanak-kanak di paroki saya di bawah kaki Gunung Inerie, di pantai selatan Kabupaten Ngada. Kedua, ketika tinggal di Jawa. Ketiga ketika di pedalaman Madagascar dan yang keempat, ketika Covid 19 mengguncang dunia.

Ketika kecil, Ibadat Jumat Agung yang ditunggu-tunggu adalah adegan penghormatan salib, yang diawali dengan ratapan/lamentasi oleh ibu-ibu yang berselubungkan kain hitam mengiringi salib Yesus yang diarak masuk ke dalam gereja. Seperti sedang meratapi kematian seseorang, para ibu ini meratapi Tubuh Tuhan yang berselubung kain ungu/hitam. Mereka sungguh meratap. Emosi umat teraduk-aduk. Tak lama kemudian seisi gereja penuh dengan tangisan, ada yang keras seperti ibu-ibu peratap, ada yang sesenggukan, ada yang hanya meneteskan air mata sembari melihat ke langit-langit gereja. Orang larut dalam duka. Entah duka pada fragmen kematian Tuhan, entah duka karena mengingat anggota keluarga yang sudah meninggal.

Pengalaman ini menggoreskan kenangan bahwa Jumat Agung adalah hari kematian Tuhan sebagai Anak Manusia. Ibadat Jumat Agung yang dikenang adalah ratapan kehilangan. Ratapan kepergian yang abadi seorang yang dikasihi. Meratapi Tuhan yang mati membawa umat pada proses untuk berjalan semakin masuk ke dalam diri. Dirinya yang berdosa, yang rela ditebus oleh Tuhan dengan kematian-Nya.

Pengalaman kedua, ketika awal-awal hidup di Jawa, Jumat Agung mengalami pemaknaan yang lebih spiritual. Ibadat Jumat Agung lebih dihayati sebagai sebuah penghormatan yang mendalam akan makna salib (maaf ini penghayatan pribadi). Orang diantar mencintai salibnya. Orang diajak untuk bangga membawa salib ke tengah pluralitas masyarakat. Salib berarti berani tampil sebagai jembatan kasih dari Tuhan kepada sesama yang berbeda.

Pengalaman ketiga, ketika di pedalaman Madagascar, saya menemukan kembali kenangan akan Jumat Agung masa kanak-kanak. Prosesi duka yang hampir mirip dengan di Ruto, Inerie. Sisi emosi kemanusiaan lebih ditonjolkan. Kita larut dalam duka dengan ratap tangis bukan karena karena cengeng tetapi justru kita sampai pada refleksi betapa aku yang hina dan lemah penuh dosa ini, mau ditebus oleh Tuhan.

Lalu pengalaman terkini, dalam suasana duka dan ketakutan dunia akibat covid 19, kita mengalami, menjalani dan merayakan Jumat Agung pada puncak salib yang sesungguhnya: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Markus 15: 34) Itulah lamentasi duka dalam pasrah yang diserukan Tuhan Yesus kala berada pada puncak salib. Apakah Yesus takut dan putus asa? Tidak!

Lamentasi Tuhan Yesus di puncak salib yang kita rayakan hari ini secara online di rumah masing-masing dengan mengikuti channel yang menyiarkan Ibadat yang dipimpin oleh Bapa Uskup atau pastor paroki kita membawa kita pada dua permenungan mendasar (menurut saya). Pertama, situasi duka dan kehilangan akibat covid 19 yang terjadi seluruh dunia menyatukan kita sebagai gereja yang katolik dan apostolik. Dalam keterbatasan kuota/data dan tangkapan satelit untuk siaran televisi, kita tetap bersemangat dan optimis. Optimisme ini merupakan buah terindah dari kepasrahan Tuhan Yesus: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku" (Lukas 23:46). Kita menyakini, bahwa dalam kepasrahan ini ada mahkota kemuliaan yang akan kita terima. Dalam segala keterbatasan manusiawi, bahkan harus menitikkan air mata duka karena tidak bersama-sama di gereja, kita tetap disatukan sebagai Gereja katolik yang satu, kudus dan apostolik.

Kedua, dalam situasi ambang batas (baca tulisan juga saya tentang Kamis Putih: Dari Pemasuhan Kaki ke Pembasuhan Duka) akibat covid 19, kita diikat secara spiritual oleh kepasrahan Tuhan Yesus di taman Getsemani, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Kita tidak bisa menolak covid 19. Kita hanya bisa merangkulnya menjadi bagian dari salib yang tidak bisa kita tolak.

Seperti Tuhan Yesus yang merasa seorang diri di taman Getsemani, para uskup dan imam pun merayakan misa di altar-altar gereja yang tidak dihadiri umat secara fisik. Tetapi dihadiri secara spiritual dalam roh dan semangat yang sama: menerima peristiwa Jumat Agung sebagai peristiwa hidup kita yang konkret. Di sana ada duka dan luka emosional manusiawi. Di sana ada kekuatan spiritual akan makna penebusan setelah salib.

Situasi aktual dunia yang terancam covid 19 mengajarkan kita untuk membawa secara konkret peristiwa kepasrahan Tuhan Yesus di Golgota menjadi peristiwa iman yang selalu hidup dalam hati kita. Kita bersatu dalam Roh yang mengatasi ruang dan waktu. Kita bersatu dalam salib yang satu dan sama, salib yang menyelamatkan. Kepasrahan Tuhan kini bukan saja di Golgota, tetapi di hati kita. Jumat Agung 2020 merupakan Jalan Spiritualitas kesatuan kita sebagai pengikut Kristus Tuhan. Selamat merayakan ibadah Jumat Agung.

 

Editor dan penulis buku-buku rohani Katolik, tinggal di Yogyakarta.

Komentar