Breaking News

HUKUM Kasus Gratifikasi DPRD Ende, TPDI: Permintaan Audit Polres Ende Ironis dan Tendensius 12 May 2018 15:11

Article image
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus pada suatu kesempatan di Polda NTT (Foto: Dok. PS)
“Tanpa intervensi (supervisi dan minitoring) dari KPK dan Polri, niscaya semua proses hukum terkait dugaaan korupsi di kalangan legislatif dan eksekutif di Ende akan jalan di tempat dan berpotensi berakhir dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- “Surat permintaan bantuan Audit dari Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ende kepada penjabat Bupati Ende tanggal 11 April 2018 silam, dalam penyidikan kasus korupsi gratifikasi tujuh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ende, sangat tendensius dan konspiratif sehingga menjadi anatomi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) baru dalam kasus tersebut. Ini presenden buruk terhadap kinerja penyidik dan institusi kepolisian dalam upaya penegakan hukum.”

Demikian diungkapkan Koordinator TPDI, Petrus Selestinus sesuai rilis yang diterima media ini, Sabtu (12/5/18).

Menurut Petrus, surat permintaan Audit dengan klasifikasi rahasia oleh Polres Ende, untuk meminta bantuan Inspektorat Daerah Kabupaten Ende dalam melakukan audit guna mengetahui ada atau tidaknya kerugian negara (daerah) dalam kasus gratifikasi tujuh anggota DPRD Ende merupakan upaya konspiratif yang mengakibatkan kasus tersebut mangkrak di Polres Ende selama hampir 4 tahun.

“Mangkraknya penyelidikan kasus gratifikasi ini bukan karena belum ditemukan unsur kerugian negara, melainkan karena ada dugaan terjadi konspirasi antara oknum penyelidik dan tujuh anggota DPRD Ende sebagai calon tersangka gratifikasi, bahkan berhasil menciptakan KKN baru dalam proses penyelidikan, berlarut-larut dan tanpa kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan,” sorot Petrus.

Advokat senior Peradi ini menilai, dugaan konspirasi semakin kuat dan berlanjut karena permintaan bantuan untuk audit kepada penjabat Bupati Ende dilakukan oleh Kapolres yang sekarang, diberi klasifikasi rahasia dengan tujuan agar publik tidak mengetahui adanya permintaan bantuan Audit yang sesungguhnya dalam kasus Gratifikasi. Pasalnya, unsur pidana korupsi dalam kasus gratifikasi atau suap, tidak mensyaratkan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara atau daerah.

“Dalam kasus gratifikasi yang melibatkan tujuh anggota DPRD Ende, unsur pidana yang dicari selama penyelidikan sudah ditemuka sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 atau pasal 12 c Undang-Undang Tindak pidana korupsi (UU Tipikor) sebagai tindak pidana suap sudah diperoleh, bukti-bukti yang mendukung setiap unsur pidana sudah jelas yakni pengakuan dari Dirut PDAM selaku pemberi dan tujuh anggota DPRD selaku penerima, meski direkayasa sebagai pinjaman yang sudah dikembalikan serta alat bukti lain yakni surat dan kwitansi. Ini ironis dan sangat tendensius,” ujarnya.

Ia beranggapan bahwa para pemangku kepentingan terkait seakar tersandera oleh kekuatan konspirasi dan KKN sehingga upaya pemberantasan korupsi tetap menjadi persoalan akut di kabupaten Ende. Alhasil, kepastian hukum terhadap kasus gratifikasi atau suap ini ke tingkat penuntutan di Pengadilan Tipikor semakin berlarut-larut.

"Seharusnya, setelah outusan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Ende, penyidikan kasus gratifikasi sudah naik ke tahap penyidikan setelah tiga tahun penyelidikan. Sikap Polres Ende dalam kasus ini terkesan kontras dengan tuntutan masyarakat melalui Gerakan Anti Korupsi (Gertak) Florata dan PMKRI Cabang Ende yang menghendaki penuntasan hukum kasus ini terjadi secara transparan dan akuntabel. Kapolres Ende yang baru harus konsisten menegakkan hukum dan mendukung pemebrantasan korupsi," ujarnya.

Desak KPK dan Polri intervensi

Melihat kinerja penyidik Polres Ende yang diduga tendensius dan konspiratif, TPDI, tegas Petrus, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dan Polri  agar segera mengintervensi dan mengambilalih penanganan penyidikan kasus tersebut hingga mendapat kepastian hukum. Menurutnya, kedua lembaga ini berwenang mengambilalih penyidikan.

“Tanpa intervensi (supervisi dan minitoring) dari KPK dan Polri, niscaya semua proses hukum terkait dugaaan korupsi di kalangan legislatif dan eksekutif di Ende akan jalan di tempat dan berpotensi berakhir dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Misalnya, kasus dugaan korupsi berupa gratifikasi atau suap oleh Dirut PDAM Ende kepada tujuh anggota DPRD Ende akhirnya dihentikan setelah tiga tahun penyelidikan berjalan,” kritiknya.

Petrus menduga, permintaan bantuan audit kepada penjabat Bupati Ende (inspektorat), merupakan bagian dari upaya untuk menutup kasus korupsi gratifikasi atau suap ini melalui SP3, sebab diyakini pihak Inspektorat akan menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara atau daerah dari hasil audit tersebut.

“Selama ini, posisi Inspektorat Daerah selalu menjadi bagian dari mata rantai korupsi di kalangan pejabat baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi dengan membiarkan dan melindungi para koruptor. Permintaan audit kepada Inspektur Daerah, telah menimbulkan aroma KKN baru dengan alas an yakni dengan bocornya surat Kapolres Ende dengan klasifikasi rahasia. Sebab, yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara dalam kasus korupsi gratifikasi atau suap yakni ‘setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu atau gratifikasi kepada penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya," terangnya.

Petrus menegaskan bahwa sudah semestinya penjabat Bupati Ende memiliki hak dan kewenangan untuk menolak permintaan Audit untuk menunjukkan independensi dan netralitas inspektorat.

“Penjabat Bupati Ende harus menolak permintaan bantuan Audit dari Kapolres Ende dengan alasan independensi dan netralitas inspektorat kabupaten Ende tidak bisa dijamin apalagi dengan klasifikasi rahasia namun diketahui publik. Permintaan Audit dari Kapolres Ende telah mendelegitimasi posisi Kapolres Ende dengan dugaan konspirasi untuk mengaudit sebuah peristiwa pidana yang tidak mensyaratkan adanya kerugian Negara,” tandasnya.

Jika Penjabat Bupati Ende menolak permintaan audit, kata Petrus, maka semakin jelas upaya tersebut hanya memperlambat proses penyelidikan dan ketidakpastian penegakan hukum sehingga tidak memenuhi rasa keadilan publik yang sudah mendapat ‘angin segar’ dengan adanya putusan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Ende dengan mengabulkan gugatan praperadilan serta memerintahkan penyidik Polres Ende untuk melanjutkan penuntasan kasus tersebut.

“Guna mengembalikan martabat penegakan hukum, membongkar kinerja penyidik Polres Ende serta menjalankan UU pemberantasan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari kekuasaan eksekutif, legislatif atau yudikatif, maka KPK berwenang melakukan supervisi dan monitor bahkan mengambilalih penuntasan kasus ini. Bahkan, penyidik Polres Ende hanya fokus kepada tujuh anggota DPRD tanpa melibatkan Dirut PDAM dan Bupati Ende, Marsel Y.W Petu. Sebab, hal itu terkait kerja sama penempatan modal Pemda Ende dalam PDAM Tirta Kelimutu yang kemudian melahirkan gratifikasi Bupati Ende Marsel Petu, sehingga layak untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawaban pidana,” pungkasnya.

--- Guche Montero

Komentar