Breaking News

HUKUM Kasus Korupsi NTT Fair, Kejati NTT Diminta tidak Terjebak Framing Gratifikasi oleh Majelis Hakim 27 Jan 2020 20:07

Article image
Proyek pembangunan gedung NTT Fair yang mangkrak. (Foto: Ist)
"Ini adalah bagian dari teror melalui framing Media bahwa FLR akan dijadikan tersangka berdasarkan petunjuk dalam putusan Hakim terhadap Terdakwa Yulia Afra," sorot Petrus.

KUPANG, IndonesiaSatu.co-- Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT selaku Penyidik dan Penuntut Umum dalam perkara Tindak Pidana Korupsi pembangunan proyek NTT Fair, telah menuntut Terdakwa Yulia Afra dengan vonis pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsidier enam bulang kurangan pada persidangan tanggal 21 Januari 2020 lalu.

Berdasarkan keterangan Saksi dan Terdakwa Yulia Afra di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidikan, terungkap fakta aliran dana sebagai gratifikasi yang diberikan oleh Yulia Afra kepada Frans Lebu Raya (FLR) ketika masih menjabat Gubernur NTT sejumlah Rp 586 juta dan diungkap kembali dalam persidangan Terdakwa Yulia Afra.

Menurut praktisi hukum, Petrus Selestinus, fakta berupa keterangan Terdakwa dan Saksi bahwa ada sejumlah uang sebagai gratifikasi yang diberikan oleh Yulia Afra kepada FLR, bukanlah informasi yang baru terungkap dalam persidangan, melainkan fakta lama yang diperoleh Jaksa sejak Penyidikan di Kejati NTT.

"Kejati NTT jangan terjebak 'framing' bahwa FLR terbukti menerima gratifikasi dari hasil korupsi proyek NTT Fair, hanya karena 'bukti petunjuk' yang masih sumir dan tidak didukung oleh alat bukti lain," ungkap Petrus dalam rilis kepada media ini, Senin (27/1/20).

Advokat Peradi ini mempertanyakan alasan mengapa ketika penyidikan atas tindak pidana korupsi terhadap Yulia Afra, dkk, Kejati NTT tidak menjadikan Frans Lebu Raya, dkk sebagai Tersangka dalam satu rangkaian perkara yang displit.

"Pasalnya, sejak awal penyidika, fakta gratifikasi ini disebut-sebut berupa uang yang diberikan kepada FLR tanpa bukti pendukung apapun, selain keterangan Saksi dan Tersangka," timpalnya.

Menurutnya, Kejaksaan mesti melihat bahwa dalam pelbagai putusan perkara pidana korupsi termasuk di NTT, Hakim menyebutkan bahwa dari pemeriksaan persidangan diperoleh fakta-fakta tentang gratifikasi atau tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama, tetapi tidak ada satupun nama-nama yang disebut menerima gratifikasi atau bersama-sama melakukan korupsi itu, kemudian dituntut lebih lanjut oleh Jaksa.

"Artinya, selain tidak didukung alat bukti lain, kecuali hanya petunjuk sumir, juga petunjuk sumir itulah digunakan oleh Majelis Hakim untuk memperkuat keyakinan Hakim bahwa Terdakwa Yulia Afra, dkk terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga divonis pidana penjara. Jadi, bukan untuk menjadikan Saksi FLR kemudian menjadi Terdakwa,"katanya.

Tidak Ada Penilaian tentang Sumpah Palsu

Petrus menilai, Majelis Hakim lebih yakin pada keterangan Terdakwa Yulia Afra dan Saksi lainnya, tetapi juga menerima dan percaya kepada penyangkalan FLR bahwa tidak pernah menerima uang dari Tedakwa Yulia Afra, sebagaimana terbukti dari tidak adanya persangkaan dari Majelis Hakim bahwa Saksi FLR telah memberi keterangan palsu di dalam persidangan sesuai ketentuan pasal 242 KUHP.

Demikian pula, kata dia, Majelis Hakim tidak pernah memberi peringatan kepada Saksi FLR untuk bersaksi jujur seraya memberitahu bahwa ada ancaman pidana jika Saksi memberikan keterangan palsu sesuai pasal 174 KUHAP jo Pasal 22 jo pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor, guna mendapatkan kebenaran materiil.

Kesimpualan Kontradiktif, Inkonsistensi dan Ambigu 

Petrus beranggapan bahwa dalam kenyataannya, Majelis Hakim yang mengadili Terdakwa Yulia Afra, tidak memberi penilaian apakah FLR telah memberi keterangan palsu, juga tidak memberi peringatan akan adanya ancaman pidana jika Saksi memberi keterangan palsu.

"Dengan demikian, maka kesimpulan Majelis Hakim bahwa FLR menerima gratifikasi menjadi bukti "petunjuk" merupakan kesimpulan yang kontradiktif, inkonsisten dan ambigu," nilainya.

Petrus mengatakan bahwa Kejati NTT tidak perlu merespons kesimpulan kontrapoduktif dan ambigu dari Majelis Hakim dan mengekspose ke publik, seakan-akan petunjuk sumir itu menjadi senjata pamungkas untuk menjadikan FLR sebagai Tersangka.

"Ini adalah bagian dari teror melalui framing Media bahwa FLR akan dijadikan tersangka berdasarkan petunjuk dalam putusan Hakim terhadap Terdakwa Yulia Afra," sorotnya.

Koordinator TPDI ini menegasakan bahwa secara yuridis, pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa Penyelidik atau Penyidik karena kewajibannya, berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

"Artinya, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal atas pertimbangan yang layak dan menghormati hak asasi manusia," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar