Breaking News

NASIONAL Kemenko Marves Tingkatkan Keamanan dan Keselamatan di Selat Malaka dan Selat Singapura 01 Mar 2021 09:39

Article image
Kemenko Marves adakan Rakor tentang tata tertib lalu lintas pelayaran di lautan yang ada di wilayah perbatasan antara dua atau lebih negara, terutama di Selat Malaka dan Selat Singapura. (Foto: ist)
Rakor kali ini semata untuk mendengarkan laporan investigasi dan langkah strategis apa yang direkomendasikan setiap pemangku kepentingan.

BATAM, IndonesiaSatu.co – Berlatar belakang pada insiden kandasnya tiga kapal (MV. Shahraz, MV. Samudra Sakti I, dan MV. Tina I) di perairan Batu Berhenti, Batam, Kepulauan Riau yang mengindikasikan akan ketidakteraturan tata tertib lalu lintas pelayaran di lautan yang ada di wilayah perbatasan antara dua atau lebih negara, terutama di Selat Malaka dan Selat Singapura, Kemenko Marves telah mengadakan Rakor pada (7/12/2020).

Rakor dihadiri Penasihat Menko Marves Bidang Hankam Maritim serta perwakilan  dari Kementerian Perhubungan dan Tentara Nasional Indonesia. Berbagai masukan dan rekomendasi sudah disepakati yakni bersinergi menyelidiki penyebab pasti kejadian tersebut demi menentukan langkah lanjutan sebagai solusi keselamatan bersama.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi dalam rangka menindak lanjuti rekomendasi pada rapat sebelumnya mengadakan Rakor di  Radisson Golf & Convention Center Batam dan dilanjutkan dengan Kunker ke Distrik Navigasi Kelas I Tanjung Pinang pada Jumat (26/02/2021) dengan menghadirkan semua unsur terkait kedaulatan maritim di bawa kedeputian ini.

Rakor yang sedianya dibuka Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Basilio Dias Araujo, S.S, MA,  namun didaulat ke Staf Ahli Menko Marves Bidang Hukum Laut, Okto Irianto, lantaran Deputi yang baru tiba Kamis malam dan sudah siap membuka acara di Jumat pagi ini mendadak dipanggil balik ke Jakarta untuk satu pertemuan yang lebih penting dan urgen.

Sesuai catatan singkat dan arahan Deputi Peraih Penghargaan Pejuang Integrasi yang disampaikan Asdep Navigasi dan Keselamatan Maritim, Nanang Widiyatmojo, rakor kali ini semata untuk  mendengarkan laporan investigasi dan langkah strategis apa yang direkomendasikan setiap pemangku kepentingan agar dijadikan bahan pertimbangan dan kajian untuk disepakati menjadi satu gerakan bersama melalui koordinasi Kemenko Marves ke meja perundingan dan diplomasi dengan negara tetangga, terutama Singapura dan Malaysia.

 

Matinya AIS

Mengenai kecelakaan tiga kapal, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono melaporkan bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh matinya  automatic identivication system (AIS) sehingga  perlu suatu tindakan dari penegak hukum terhadap kapal-kapal yang melintas agar wajib menyalakan AIS.

“Berbeda jika kapal melewati Singapura. Kapal-kapal yang melewati Singapura patuh menyalakan AIS. Kenapa lewat perairan kita dimatikan? Dari sisi kedaulatan Indonesia ini sangat penting”, ujar Soerjanto menantang.

Selain itu, lanjut Sur sapaan akrab Ketua KNKT ini, banyak kapal yang melintas di perairan Indonesia dan karam, namun belum ditetapkan berapa asuransi yang diwajibkan dengan mengukur muatan di kapal. Perlu suatu standar minimum untuk asuaransi bagi kapal yang melintas di perairan Indonesia.

Terkait matinya AIS yang disampaikan  Ketua KNKT, Direktur Kenavigasian (Dit Nav), Henki Angkasawan menyatakan Dit Nav telah menindaklanjuti dengan melaporkan ke syahbandar dan diteruskan ke Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP)  dan sudah ada standar operasional prosedur (SOP)  untuk mengatur hal tersebut.

Henki juga menambahkan bahwa Dit Nav sudah bertemu dengan pusat meteorology maritime (Pusmetmar)  mengenai koordinasi terhadap kapal-kapal  yang melintas dan sedang ditangani Kemenko Marves ikwal  SOP penegakan hukum. Sedangkan  information paper sementara  disusun 2021 dan akan dilaporkan untuk di bawa ke IMO.

Masalah kapasitas SDM, kata Henki  Standar Commucation Maritime Strep  sedang disipakan agar operator  vessel traffic services (VTS)  bisa proaktif dan melakukan asistensi. Untuk itu tentu diperlukan orang yang fasih dan lancar Bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan pihak kapal (Capten/ABK) yang lewat di perairan Indoenesia. Peningkatan SDM standar Internasional sudah sedang berjalan.

Dengan Austaralia misalnya, kerja sama  sudah sejak 2020, dan sudah ada workshop dan simulator di Karawaci (perusahaan Ind sebagai vendor yang sudah di-endorse oleh Australia: sudah ada 50 orang IALA standar yakni 1 02 /1/2.  Porsi 25 orang masing-masing penerima training bagi operator di  VTS dan ditargetkan dari 23 VTS yang ada di Indonesia dapat menerima training baik dari Australia dan Swedia.

Selain itu tentu sangat dibutuhkan mandatori pandu dan akan segera diusulkan kepada Presiden Joko Widodo sebagai agenda prioritas.

 

Wilayah Tanjung Uban

Ada pun catatan khusus untuk  wilayah Tanjung Uban, banyak kapal meninggalkan Singapura menuju Indonesia seringkali terjadi kecelakaan akibat kurangnya koordinasi antara VTS Indonesia dengan VTS Singapura.  Maka untuk menghindari atau setidaknya mengurangi keseringan kecelakaan, diharapkan daerah kecil dan sempit dijadikan wajib pandu.

Saat ini sudah melakukan test bed terkait E-pilotage agar VTS bisa melakukan asistensi pengganti pandu. Harapan ke depan VTS dapat memberikan instruksi pemanduan secara elektonik di seluruh pelabuhan Indonesia  agar efisiensi dan efektivitas pelabuhan dan menekan biaya. Walau demikian diperlukan ship reporting system bukan lagi mandatori, karena semua peralatan di kapal sebagai sarana komunikasi dan navigasi, perlu pengawasan dan monoitoring bagi kapal yang melintas dan masuk di wilayah perairan Indonesia.

Ada pula sederet  catatan yang disampaikan unsur TNI dari Panglima Komando Armada I yang dihadiri Kepala Staf Koarmada I, Laksamana Pertama TNI, Bambang Irwanto, M. Tr. (Han), CHRMP; Kepala Pushidros TNI AL diwakili Kadisnautika, Kol. Laut (P) Yudi Kuncoro, dan Komandan Gugus Keamanan Laut Koarmada I, Laksamana Pertama TNI Yayan Sofiyan, ST. M.Si. 

Menurut  unsur-unsur TNI ini,  ada perbedaan atau gap tajam  regulasi antara Indonesia dan Singapura sehingga sering tidak sinkron di lapangan. TNI AL sudah menyiapakan infrastruktur yang cukup memadai  namun keuntungan sangat minim, sistem perambuan dan yang lainnya sudah lengkap namun belum ada sinkronisasi dengan negara sekitar kita.

Telah dibangun pula kerja sama dengan APMN (semacam intelligent connectivity, modul pada WIFI-red) yang terjalin melalui kerjasama AL dengan Negara-negara tersebut, seperti  mewajibkan kapal kecil, termasuk jika masuk ke Singapura harus menggunakan AIS (portable).

Catatan lain adalah adanya  trans-shipment di wilayah Malaysia dan Singapura yang sudah di sampaikan pada maritime security taskforce. Terdapat perubahan kebijakan terhadap kapal-kapal di Jurong. Kepada pihak  Air Traffic Flow Management (ATFM) disampaikan pula mengeni patrol  maritime maupun interdiction di wilayah perairan Singapura  dan Malaysia.

Menurut pasukan pengaman negara ini, masih ada kendala dari negara-negara tersebut untuk membuka informasi dari VTS mereka, seperiti  untuk penerbang-penerbang  Indonesia, tidak ada sinkronisasi dan koordinasi untuk holding dan kendali. 

Terhadap berbagai permasalahan dan langkah yang diambil namun belum menuai keberhasilan tersebut, pasukan pengawal bangsa ini menyampaikan beberapa usulan, seperti  perlu upaya diplomatik agar ada kerjasama pengelolaan VTS dengan negara tetangga dapat terwujud.

Kegiatan instansi  KL untuk operasioanal seperti  ATFM yang parsial, agar bisa diselenggarakan terpadu. Juga aset milik TNI AL seperti  integrated surveillance system dan aset lainnya seperti radar agar dapat di integrasikan dalam siskodal, dan TNI AL bisa menggunakan  asset milik Kemhub yang dapat disinergikan dengan sisten milik TNI AL.

Disarankan pula, perlu dipasang beberpa titik di VTS ‘Welcome to Indonesia Teritori’ bermanfaat untuk Visat di kapal Perang TNI AL, dari sisi kedaulatan penting mengenai pemberitahuan ini bahwa kapal telah berada di wilayah Indonesia. Dan demi menghindari keruwetan lalul intas laut ini pihak Indonesia dapat menyeberangkan kapal dari Inggris ke Malaysia lewat pesan dari VTS kita ketika kapal masuk ke selat Inggris, Gilbatar, Spanyol dan  Italia.

 

Kekhawatiran tidak berdasar

Kemenlu malah menyatakan bahwa kekhawatiran Indonesia  tidak berdasar. Pasalnya, kata  Rama Kurniawan yang mewakili Kemenlu, Kemhub telah menyusun usulan untuk strait rap, dan secara politik tidak bermasalah dan ada mekanisme di TTEG untuk usulan VTS Indonesia di IMO. Ada pula  Resolusi baru IMO memgenai mandatory ship reporting system untuk merevisi bagi negara -negara terkait strait rep. Maka menurut Rama, jika ada yang dinilai mengkuatirkan perlu laporan tertulis pandangan praktik di lapangan, agar Kemlu bisa menyampaiakan ke Singapura dan Malaysia.

Penerapan mandatori pandu telah diusulkan pada TTEG sebelumnya, namun ada persyaratan untuk wajib pandu harus menjadi satu-satunya  opsi dalam penyelenggaraan keselamatan perairan. Saat itu sudah disampaikan usulan PSSA (particularly sensitive sea area/daerah perairan laut khusus yang berkategori sangat sensitif)  di Selat Malaka, agar ada kredibilitas ke internasional jika ada kecelakaan kapal dapat menyebabkan banyak akibat seperti kerusakan lingkungan dan lain-lain, namun terlalu luas dan tidak memenuhi parameter IMO. Maka bukan hanya regulasi yang dirubah namun kapaitas pelayanan/service operator pan perlu ditingkatkan.

Sementara Laksamana Marsetio,  Penasihat Menko Marves menyatakan pihaknya bersama Deputi I telah mengawal usulan dalam sidang TTEG dan Sidang NCSR (National Center for Sustainability=standar laporan keberlanjutan) khusus di IMO (International Maritime Organisation) tentang keamanan dan keselamatan terkait usulan VTS Indonesia sehingga dapat diterima sejak 2018. Pihaknya juga tengah mempersiapkan diri untuk sidang NCSR  IMO pada Februari  2022 mendatang untuk tiga  negara pantai  (negara anggota IMO kategori C=Indonesia, Malaysia dan Singapura).  Untuk itu Indonesia harus menyiapkan paper dan anggaran, koordinasi dengan Dit Nav agar VTS Indonesia dapat diakui oleh IMO. 

Menurut Laksamana Marsetio,  wajib penggunaan pandu bagi kapal di wilayah NKRI, yang saat ini sudah ada 250 pandu lokal dan tahun depan target 500 pandu lokal. Sedangkan untuk Operator VTS agar bisa berkomunikasi bahsa Inggris yang lancar oleh karena itu perlu peningkatan kapasitas operator VTS.

Jenderal AL ini juga mengingatkan agar Penerapan Traffic Separation Scheme (TSS =Skema pemisahan alur pelayaran)  selat Sunda dan Lombok pada 1 Juli 2020 yang total kepatuhan mencapai 94%, dan setelah 1 tahun wajib melaporkan pada sidang IMO. Juga mandatory pemanduan bagi kapal yang lewat Selat SUnda Dan Lombok untuk jasa Pemanduan, perlu dipersiapakn untuk usulan ke IMO;  Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk menyidik kejadian di laut.

Ada pula beberapa masalah yang dikemukakan Laksamana Marsetio seperti adanya  Jasa Kemaritiman Potensial yakni,  ada 16 area lego jangkar di Batam namun saat ini sesuai regulasi hanya 6 area lego jangkar yang ditetapkan, Inaportnet mewajibkan pelaporan limbah di kapal namun saat ini masih belum jelas. 

Staf Ahli Menko Marves Bidang Hukum Laut, Prof. Dr. Okto Irianto menutup rakor dengan beberapa catatan. Pertama, isu jasa maritime (pemanfaatan ekonomi) di SOMS agar dapat di bahas selanjutnya. Kedua, diskusi hari ini mengenai jasa pandu, namun perlu kehati-hatian kerana wilayah ini berbatasan dengan dua negara pantai lainnya yakni Singapura dan Malaysia.

Ketiga, perlu mempersiapkan alasan dan argumentasi yang kuat untuk usulan mengenai mandatori piloting. Keempat, perlu koordinasi yang baik antar KL dari sisi regulasi dari kemlu maupun operator pandu ( Pelindo). Kelima, Deputi  1 perlu segera tindak lanjuti pertemuan lebih lnjut dan fokuspada  potensi pandu, payung hukum, dan agar dibentuk tim khusus utk membahas hal ini.

 

---Bernad Baran

Komentar