Breaking News

HUKUM KPK: Sejak 2012, 34 Kepala Daerah Terjerat OTT 09 Oct 2018 05:59

Article image
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah. (Foto: Ist)
Praktik korupsi yang marak dilakukan kepala daerah ini telah merusak tujuan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Sejak 2012 hingga saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 34 kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT). Baru-baru ini, penangkapan Wali Kota Pasuruan Setiyono menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

"KPK telah melakukan OTT terhadap 34 kepala daerah dengan beragam modus. Namun semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Senin (8/10/2018).

Febri menuturkan, sebagian besar kepala daerah ini menerima suap terkait fee proyek. Namun terdapat kepala daerah yang menerima uang suap terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah dan pengurusan anggaran otonomi khusus. Apapun modus yang dilakukan, praktik korupsi yang marak dilakukan kepala daerah ini telah merusak tujuan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

"Praktik buruk korupsi dalam bentuk suap ini tentu merusak tujuan proses demokrasi lokal termasuk Pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik," jelasnya.

Akibatnya, negara dirugikan berkali-kali ketika praktik suap kepala daerah terus terjadi. Selain proses kontestasi politik dengan biaya penyelenggaraan yang mahal, praktik suap memicu persaingan tidak sehat antar pelaku usaha di daerah.  "Sebuah perusahaan mendapatkan proyek lebih karena kemampuan menyuap pejabat dibanding kompetensi mengerjakan proyek tersebut," ujarnya.

Akibat lain, suap akan dihitung sebagai "biaya" sehingga beresiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit dan lainnya yang dibeli. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat.

Lebih lanjut Febri menjelaskan, salah satu acara menekan angka korupsi adalah penguatan APIP secara struktural. Bukan hanya agar aparatur pengawas ini memahami bagaimana celah dan bentuk penyimpangan yg terjadi, tetapi juga revitalisasi posisi APIP yang selama ini nyaris tersandera dan tidak independen di bawah Kepala Daerah.

"Sulit membayangkan inspektorat yang diangkat dan diberhentikan Kepala Daerah kemudian dapat melakukan pengawasan terhadap atasannya tersebut hingga penjatugan sanksi. Karena itulah perbaikan regulasi seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah menjadi kebutuhan untuk mencegah korupsi kepala daerah yang terus terjadi," terangnya.

Karena, sambung Febri, APIP yang lebih independen dapat memetakan siapa saja pemegang proyek yang berulang kali menjadi pemenang tender di daerah, melakukan review sejak awal proses penganggaran, pengadaan hingga memfasilitasi keluhan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan di sektor tertentu. Sehingga, butuh perhatian lebih dari Presiden dan DPR untuk menyusun aturan setingkat UU ini.

Selain itu, jika dilihat dari proses awal sebelum Kepala Daerah menjabat, maka biaya politik yang tinggi dapat diidentifikasikan sebagai salah satu faktor pendorong korupsi kepala daerah. Dalam OTT para kepala daerah ini, terdapat beberapa pelaku yang mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali, dan pengumpulan mantan tim sukses untuk "mengelola" proyek di daerah tersebut.

Akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan. Karena hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan memicu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat. Utang dana kampanye tersebut beresiko dibayar melalui alokasi proyek di daerah.

"Jika 2 hal di atas tidak diselesaikan, akan semakin sulit mengurai benang kusut korupsi politik di daerah," tegasnya.

--- Redem Kono

Komentar