Breaking News

SASTRA Kumpulan Puisi Wilfrid Embu  16 Sep 2016 16:10

Article image
Lukisan sudut kota Batavia 1866. (Foto:Heno Airlangga)

SUATU PAGI

 

Aku pernah katakan (mungkin janjikan):

Suatu saat siapa saja akan minum dari kebun anggurnya sendiri!

Bahwa siapa saja bisa menulis akhir bahagia,

Biar kalah

 

Kemudian derap kaki kuda dari timur

Merah muda warnanya (seandainya kau pernah liat lelucon gadis Flores

yang meniris dari buku harian, juga merah muda)

Bersama desing perak, besi, api

Kau akan diajak bersembunyi ke balik mesjid aku ke rumahKu

Sampai kota selasai dijarah

Dan putri-putranya puas menangis

 

Aku sempat janjikan

Malam tak (akan) lagi semeriah sekarang

Kita akan punya waktu bagi kunang kunang, dongeng,

dan sekian banyak waktu berpuisi di ranjang

Bulan kembali berjualan sirih pinang di matamu

Dan kopi juga mulai lagi dibagikan cuma-cuma oleh ibu

Pedang, kapak, dan perisai diberi senar,

Kita akan menyanyi sepanjang malam

Sampai kering keringat

Sampai hilang semua perih

Bila perlu sampai kesini semua mungkin

 

Aku mulai malu

Sebab suatu hari

Di bagasi mobil ada mayat yang menguap

Tersenyum pada nasib

Aku tergagu pada Paling

Mungkin aku hanya bisa katakan sebuah janji padamu

Dan hidup yang berkuasa bilang, silahkan!"

(2016)

 

***

 

SUATU PAGI II

 

Tak ada yang tahu

Setelah senja dan hari libur

Apalagi bingkisan yang ditinggalkan lupa

Di depan teras, bagasi, dan halte

Satu pun tidak!

 

Ada yang benar-benar layu (lebih) dari lupa

Bunyi aka d jatuh,

Bau embun,

Kabar berisik di radio,

Dan etalase penjual grosir,

Itu semua akan pergi

Seperti igauan gadis bukit

“Bakar doa doa kami!

Bakar baju baju kami”

Turun perlahan ke antara arus kali

Ke muara

Ke laut

Ke entah

 

Adakah yang lebih hidup dari lupa

Lebih darah dari lupa

Lebih nyawa dari lupa

Lebih babat dari lupa

Tak ada

 

Kenapa luka tak kenang

Janji tak tuntut

Doa tak peduli

Lagu tak sampai

Kalau semua tak lupa?

 

Aku membatu karena lupa

Kau merayu karena lupa

Adakah yang lebih cantik dari lupa

Tak ada!

aka da yang lebih tebus dari lupa

Karena kata jadi tangkap karena lupa

(2016)

 

***

 

DI PENGADILAN

 

"Apa itu kebenaran?"

 

Tuhan

Kata teman,

Di kampung kami kebenaran harganya seribu lima ratus perak,

Berwarna hitam,

Tergenang dalam gelas saban pagi.

 

Bolehkan aku bilang,

Kau itu ternyata cuma dua gelas kopi pekat

Punya si wajah tanpa nama

Menunggu tak beriak di atas hidungnya

Saban pagi menjatuhkan dirinya ke dalam gelas di atas nampan.

 

Kata teman, yg pekat dalam gelas itu namanya kebenaran.

Karena itukah, tiap teguk terakhir selesai

Kami ramai ramai teriak ke arah cermin, "tangkap maling itu"

Tapi tak juga mampu meringkusnya?

Dan kau tetap diam!

(2016)

 

***

 

KOTA DALAM SPION

 

Seorang tua

Bersepeda

Ada gadis

Telungkup di kursi taman

Menangis

 

Lampu jalan

Redup

Mengalahkan rayu lagu artis baru di telepon

Kota memberi makan

Pada malam

Pada plaza

Pada kosong

 

Tanggal baru

Bulan baru

Jalan baru

Makin banyak bapak bersepeda

Gadis telungkup entah kemana

Taman taman menangis di pinggir kota

(2016)

 

***

 

MIRIAM

 

Aku bisa mencium wangi pinus

Yang mengintip dari balik kerudungmu

Setelah sujud selesai

Dan semua rindu dibayar tuntas

 

Aku cuma bisa membaca dua:

Puisi di abu abu

Dan kau yang gadis paling gadis

....

Aku ingin menulis mataku ke dadamu

Meski beberapa security menatap awas

 

Kau (harus) bisa!

Suka!

Kalau suka pun mesti halal

Entah kapan kita belajar merdeka

Entah kapan tudungmu sungguh jadi kepala

Dan tawamu lebih dari ha ha ha.

(2016)

 

***

 

*) Penulis adalah Alumni STFK Ledalero, Flores, NTT. Buku kumpulan puisi pertama berjudul "1 Hari Lelaki"

 

Komentar