Breaking News

AGAMA Lecehkan Simbol Kristiani, DPR RI Terpilih NTT Ansy Lema Kecam Ceramah Abdul Somad 19 Aug 2019 09:46

Article image
Anggota DPR RI Terpilih asal NTT Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si atau Ansy Lema. (Foto: Ist)
Sebagai warga negara, perilaku Somad harus dituntut pertanggungjawabannya melalui mekanisme hukum berkeadilan agar tidak sembarang menista agama lain.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co --  Anggota DPR RI Terpilih asal NTT Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si atau Ansy Lema mengecam konten ceramah Ustadz Abdul Somad yang secara terang-terangan melecehkan Salib sebagai simbol utama kekristenan.

Ansy menilai pernyataan Somad bernada permusuhan adalah bentuk penistaan agama dan telah mengotori makna kemerdekaan serta bertentangan dengan spirit Pancasila. HUT ke-74 Kemerdekaan Indonesia seharusnya menjadi momentum persatuan, hormat pada kebhinekaan dan menguatkan komitmen toleransi. Karena itu, komentar provokatif Somad sangat berbahaya karena rentan merusak relasi harmonis antar-pemeluk agama.

“Dengan melontarkan pernyataan bernada permusuhan, Somad telah menista agama lain dan mengotori makna kemerdekaan,” tegas Ansy dalam keterangan pers yang diterima Redaksi IndonesiaSatu.co, Senin (19/8/2019).

Menurut politisi muda PDI Perjuangan ini, perayaan kemerdekaan harus diwarnai pernyataan-pernyataan sejuk-teduh yang merekatkan kebhinekaan Indonesia, bukan sebaliknya meretakkan ke-Indonesia-an.

“Pernyataan Somad lahir dari kebencian, permusuhan, tanpa dasar pengetahuan. Tidak tahu apa-apa, tapi lancang mengomentari keyakinan iman pemeluk agama lain. Kata-katanya jelas menista agama lain,” kata Ansy.

Sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan keagamaan, Somad mestinya menyadari bahwa di tengah fakta negara Indonesia yang berbhineka agamanya, mempersoalkan ajaran dan keyakinan agama lain hanya akan memancing timbulnya konflik antar-pemeluk agama. Mempersoalkan konsep iman, ajaran teologis, dan praktik keagamaan pemeluk agama lain rentan terhadap munculnya konflik.

“Saya selalu ingat perkataan tokoh pluralisme Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur: "Laku Dinukum Wa Liya Dini", bagimu agamamu, bagiku agamaku. Keyakinan agama lain tidak dapat dihakimi atas dasar asumsi teologis agama kita, karena justru di situ memunculkan perbandingan yang tidak fair dan akan terkesan melecehkan agama lain,” tegas Ansy.

Mantan dosen itu menuturkan bahwa Islam yang ia kenal adalah Islam yang mengajarkan cinta damai dan menghargai kebhinekaan. Ia mengaku terkesan akan ajaran dan teladan hidup Islam Indonesia dari tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Syafii Maarif, dan Mbah Moen.

“Mereka telah meneladankan wajah Islam rahmatan lil 'alamin: Islam yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Islam yang mewajibkan umatnya untuk bersikap toleran, inklusif, menghargai manusia dan kemanusiaannya. Islam yang tanpa diskriminasi dan menghormati perbedaan agama, jenis kelamin, etnik, bahasa, dan kewarganegaraannya, sehingga wajib untuk memuliakannya,” ujar Ansy.

Ansy menceritakan inspirasi Islam yang menghargai perbedaan, toleransi, dan kemanusiaan yang telah dilestarikan secara turun-temurun di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Perbedaan agama tidak menimbulkan konflik, tetapi justru membuka pintu untuk memulai dialog dan kerja sama kemanusiaan. Karena itu, Ansy berharap Somad bisa membuka diri untuk memahami perbedaan keyakinan iman sebagai anugerah Tuhan yang indah.

“Di Ende, daerah asal saya, seorang calon Pastor Katolik tinggal bersama anak-anak Pesantren selama dua tahun. Mereka hidup bersama dalam keindahan dan kekaguman terhadap perbedaan agama: saling belajar dan saling menolong. Ketika saudara-saudari  Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri, para pemuda dan umat Kristiani gotong royong membersihkan Masjid dan menjaga keamanan beribadah. Dalam keluarga saya juga memiliki perbedaan keyakinan, tapi kami tidak pernah menganggap perbedaan sebagai petaka yang memisahkan atau menimbulkan kebencian,” paparnya.

Karena itu, Ansy menilai konten ceramah Somad tidak hanya menghina iman kepercayaan pemeluk Kristen, tetapi juga melakukan penistaan agama. Kristen adalah agama yang secara resmi diakui negara.

“Somad jelas-jelas melawan Pancasila karena menebar permusuhan dengan merendahkan dan menghina agama lain. Negara mesti tegas terhadap hal ini,” ujarnya.

Penghinaan Somad terhadap salib, demikian Ansy, juga merupakan sebentuk kegagalan memahami simbolisme salib. Dalam istilah Katolik dikenal "Par Crudem ad Lucem", artinya melalui salib menuju cahaya. Kebenaran menjadi cahaya yang bersinar dalam kegelapan. Salib itu sendiri adalah lambang jalan penderitaan sekaligus kemenangan. Yesus memilih berkorban di Kayu Salib untuk mengangkat manusia yang hina untuk kembali ada bersama Allah yang mulia.

“Salib bukan hanya simbol penyelamatan, tetapi suatu imperatif moral untuk berpartisipasi mewujudkan nilai-nilai kasih, keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan. Salib adalah perintah untuk melawan penindasan dan eksploitasi manusia. Salib adalah perintah untuk bersolidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas,” jelas Ansy.

Ansy meyakini umat Kristiani akan memaafkan pelecehan ini. Pelecehan tidak akan menggoyahkan keyakinan iman umat Kristiani. Ajaran kristiani sangat menekankan semangat cinta kasih dan pengampunan. Bahkan, Yesus Kristus mengajarkan untuk mengampuni orang yangbtelah berbuat jahat pada kita sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Amor vincit omnia, kasih mengalahkan segalanya. Yesus Kristus juga mengajarkan untuk mendoakan mereka yang memusuhi kita.

“Penghinaan ini tidak akan meruntuhkan iman kami. Dipuji maupun dihina, Yesus Kristus tetap Allah karena Ia sudah dengan sendirinya mulia,” kata Ansy.

Ketegasan Negara

Namun, Ansy menyerukan agar negara harus hadir untuk memberikan tindakan tegas terhadap pernyataan Somad, sekaligus untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Indonesia yang plural. Jangan sampai ada kesan negara bersikap diskriminatif, setengah hati atau tebang pilih dalam melindungi dan memastikan hak-hak beragama.

Ansy menegaskan, sebagai umat Kristiani, mengampuni dan memaafkan orang yang membenci dan merendahkan Tuhan kita dan kita adalah suatu keharusan. Ajaran Kristen mengajarkan cinta kasih yang melintas batas, bahkan mengasihi dan mendoakan musuh.

Ansy menambahkan, sementara sebagai negara hukum, negara harus menindak tegas para para pelanggar hukum. Apalagi, jika tindakan seseorang secara terang-terangan menebar kebencian, permusuhan dan amarah kepada pemeluk agama lain. Pernyataan provokatif Somad jelas mengancam keutuhan negara dan melawan Pancasila. Jika pemeluk agama dijejali kotbah-kotbah permusuhan, kebhinekaan Indonesia sesungguhnya dalam ancaman. Agama mestinya menghadirkan wajah damai, bukan wajah penuh permusuhan nan menakutkan. Pendiri Republik mewariskan kita falsafah dasar Pancasila agar kita mengembangkan sikap inklusif, toleran, mutual respect.

Jadi, urusan memaafkan, mengasihi dan mendoakan musuh adalah wajib bagi umat Kristiani karena Yesus Kristus mengajarkan cinta kasih, terutama mengasihi musuh.

Sementara urusan negara adalah menegakkan keadilan dan menindak tegas pelaku pelanggaran hukum. Keadilan harus ditegakkan, sebab jika tidak, perpecahan bangsa tinggal menanti momentum. Terorisme berawal dari sikap intoleran dan radikalisme agama. Menghina dan membenci agama lain adalah benih-benih intoleransi, radikalisme dan terorisme.

“Sebagai warga negara, perilaku Somad harus dituntut pertanggungjawabannya melalui mekanisme hukum berkeadilan agar tidak sembarang menista agama lain. Tindakan tegas berdasarkan hukum perlu diberikan kepada perusak persatuan bangsa,” pungkasnya.

---Hendrik Penu

Komentar