Breaking News

OPINI Marhaban Idul Fitri Al-Mubarak Wa Ilal-Liqa' Ya Ramadhan 11 Jun 2018 18:54

Article image
Selamat merayakan Idul Fitri. (Foto: Ist)
"Selamat Jalan ya Ramadhan dan Selamat Datang ya Idul Fitri al-Mubarak 1439 Hijriyah yang segera tiba pada tanggal 15-16 Juni 2018 yang akan datang."

Oleh P. Dr. Philipus Tule, SVD

 

SEMUA warga Nusa Tenggara Timur (NTT) tahu bahwa sebulan sebelum Idul Fitri sanak kerabatnya yang muslim dan muslimat melaksanakan ibadat sawm (siyam) atau puasa Ramadhan (bulan ke-9 dalam kalender Hijriyah). Semua warga NTT tahu bahwa sebulan sebelum Paskah umat Katolik pun menjalani Masa Puasa atau Prapaskah.

Dalam kedua bulan itu ada kesempatan rahmat bagi umat yang beriman akan Allah yang Esa, karena mereka menjalani puasa. Jelang perayaan Idul Adha pun, segelintir Muslim dan Muslimat, khusus mereka yang sedang beribadah Haji di Mekkah, menjalani puasa atau pantang.

Mereka berpuasa sebagai perwujudan rukun keagamaan masing-masing dalam bentuk tapa dan pantang. Selama masa puasa itu, kita tentu bersua dengan rekan, sahabat dan kerabat beragama lain. Kita sering tak lupa untuk saling bersalaman: Selamat Berpuasa; marhaban ya Ramadhan.

Di balik ucapan atau tindakan bersalam-salaman, yang terkadang cuma basa-basi atau tata krama setempat, baiklah kita coba menyimak makna terdalam dari puasa, satu kata bahasa Sanskerta Upawasa yang berarti menutup atau menghentikan suatu kebiasaan.

 

Puasa Islam: Sawm Ramadhan
Dalam dunia Islam yang berbahasa Arab, puasa itu lebih dikenal dengan Sawm (jamaknya Siyam), sebagai salah satu dari lima rukun Islam, dengan ketentuan menahan diri dari makan dan minum atau dari segala sesuatu yang membatalkannya, mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut Imam San'ani bahwa Sawm itu berarti mencegah makan, minum dan jima' (persetubuhan) pada siang hari atas dasar ketetapan hukum agama. Waktu puasa atau sawm yang ditetapkan oleh Kitab Suci Al-Quran adalah bulan Ramadhan, bulan kesembilan menurut penanggalan Hijriah.

Tertulis dalam Kitab Suci Al-Quran: Yaa ayyuha al-ladiina aamanuu kutiba `alaikum ash-shiyaamu kamaa kutiba `ala al-ladiina min qablikum lla'allakum tattaquun //Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (Q.2,183).

Dari ayat tersebut terungkap bahwa puasa atau sawm sudah ada dalam lingkup Yahudi ataupun Kristen sebelum diwajibkan bagi umat Muslim. Yang dimaksudkan adalah Grafirat Agung atau puasa Yahudi yang biasa dilakukan pada tanggal 10, bulan Muharram (bulan pertama Kalender Hijriah) dari matahari terbit hingga terbenam; ataupun Yom Kippur yang jatuh pada tanggal 10 Tishri kalender Yahudi sebagai aktus puasa 24 jam (bdk. Kitab Nehemia 9,1; dan Kitab Ulangan 16, 13-15); juga puasa kristen yang biasa dilakukan 40 hari sebelum Pesta Paskah Tuhan.

Kendatipun sawm (puasa) itu diwajibkan bagi kaum Muslim selama bulan Ramadhan namun ada saat tertentu yang dilarang untuk berpuasa; juga ada oknum tertentu yang tidak diwajibkan untuk melakukannya. Saat atau hari-hari yang dilarang untuk berpuasa adalah Idul Fitri (1 Shawal), Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari-bari Tashriq (tgl 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Menurut sebuah Hadits bahwa Nabi Muhammad SAW pun melarang umat Islam berpuasa terus menerus tanpa berbuka. Katanya: 'Inna al-Nabi SAW naha 'anil-wisali (Bukhari & Muslim). Sementara itu, orang-orang yang sudah tua renta, yang sakit, muslimat yang hamil dan sedang menyusui anak pun tak diwajibkan.

Namun, kecuali orang tua renta, mereka itu tokh diwajibkan untuk menggantikannya sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan setelah keadaan memungkinkan untuk berpuasa. Bisa juga diganti dengan membayar kafarah(denda) ataupun fadyah (memberi makan bagi kaum miskin).

Terlepas dari beberapa penilaian rigoristik oleh oknum yang kurang memahaminya, yang hanya mengobservasi hal-hal lahiriah, tokh Sawm Ramadhan itu mengandung hikmah dan nilai-nilai spiritual, moral dan sosial yang mendalam. Kita menyaksikan betapa umat Muslim mengisi acara malam bulan Ramadhan dengan Tarawih, Salat dan Dhikr yang semuanya berdaya meningkatkan kesalehan dan ketaqwaan.

Dengan berpantang makan dan minum sepanjang hari, mereka berusaha menekan biaya hidup yang rutin. Tapi lebih dari itu, mereka pun berusaha mengungkapkan rasa solidaritas terhadap sesama yang miskin, berkekurangan, tak memiliki sandang dan pangan serta yang lapar dengan memberi zakat (sedekah).

Dengan berpuasa mereka melatih diri untuk laku self-control terhadap aneka rangsangan duniawi dan emosi negatif lainnya. Sehingga bagi mereka yang taqwa dan tekun menjalaninya akan memperoleh pahala berupa penghapusan dosa-dosa, sebagaimana terungkap dalam Hadits Nabi: 'As-Salawat al-khamsu wal-jum'atu ilal-jumat wa Ramadhan ila Ramadhan mukaffiratun lima baynahunna idha ajtunibatil-kaba'iru (Shalat yang lima waktu, dan shalat Jum'at yang lalu hingga shalat Jum'at berikutnya, juga puasa Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya, jika seseorang melakukan dosa besar).

Puasa Katolik

Puasa kristiani, khususnya Katolik, biasa diwajibkan pada 40 hari ataupun enam minggu sebelum Paskah. Periode sebelum Paskah itu dikenal dengan Masa Prapaskah atau Masa Puasa. Lazimnya, Masa Puasa itu dimulai pada Rabu Abu, empat hari sebelum Minggu Pertama Masa Puasa.

Pada hari Rabu itu (tahun 2018 ini jatuh pada tgl 14 Februari) dalam Perayaan Ekaristi, umat Kristen-Katolik menerima tanda salib dari abu pada dahi, yang diberikan Imam dengan berkata: 'Memento homo quia pulvis est et in pulverem reverteris' (Ingatlah hai manusia. Karena kamu berasal dari tanah dan akan kembali kepada tanah).

Penting untuk disimak apa makna kata-kata dan simbol itu. Bahwa kita manusia adalah makhluk rendah, debu tanah yang harus mati. Masa puasa adalah saat rahmat untuk mawas diri dan merefleksi kehidupan sebagai umat beriman, lebih percaya dan menghayati nilai-nilai Injil, metanoia atau tobat serta pembaharuan diri, meninggalkan pola hidup lama yang berdosa dan bangkit bersama Kristus di Hari Paskah sebagai Manusia Baru yang layak menyandang gelar Citra Allah atau Insan Kekasih Allah.

Ada beberapa alasan mengapa puasa Kristen Katolik itu dilakukan selama 40 hari. Pertama, diambil dari angka 40 hari kebiasaan puasa bagi para calon baptis. Kedua, merujuk pada tindakan Nabi Musa berpuasa 40 hari sebelum ia menerima kesepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai. Yesus pun berpuasa di padang gurun 40 hari lamanya sebelum Ia digodai iblis dan menang atasnya.

Semua pengalaman para Nabi Allah dan Yesus itu cukup gamblang mengungkapkan makna puasa. Puasa telah memampukan mereka menciptakan 'jarak' fisik dan spiritual dari dunia sehari-hari dan sesama, mengakrabkan mereka pada Allah dalam kesunyian dan doa, menimba kekuatan spiritual untuk melakukan kehendak Allah serta mengalahkan kuasa kegelapan.

Praktek puasa Kristen Katolik yang ada dewasa ini sesungguhnya telah mengalami proses aggiornamento (penyesuaian) yang lama. Ia berkembang dari praktek yang sangat rigoristik pada abad pertama dalam Gereja.

Gereja zaman dahulu, sebagaimana masih dipraktekkan dalam lingkup Gereja Koptik di Mesir dan beberapa biara, juga masih menjalani puasa total 40 hari, hanya sekali makan sehari menjelang senja hari, namun diharamkan daging, ikan, telur dan susu. Pada abad ke-9 dan selanjutnya, Gereja semakin bersikap lebih lunak terhadap kewajiban itu.

Pada Abad Pertengahan ikan diperbolehkan untuk dimakan. Dengan dikeluarkan Konstitusi Apostolik Paenitemini (1966) dalam Gereja Katolik, maka kewajiban puasa hanya terbatas pada Hari Rabu Abu dan Jumat Agung.

Berhubung kewajiban berpuasa itu tidak memiliki sangsi yuridis, mengandalkan kesadaran moral dan niat pribadi umat, maka dewasa ini semakin berkembang paham relativis yang menilai puasa itu tidak lagi merupakan suatu yang wajib. Oleh karena itu tak heran kalau Masa Puasa Kalendarium tetap terpancang, tapi prakteknya kian merunyam dan tak karuan.

Paham relativis terkadang menggiring segelintir orang beriman kepada sikap peremehan. Hal itu mudah saja terjadi bila kesadaran umat telah pudar dan usaha penyadaran dan pendidikan spiritual dari pihak pimpinan lembaga gerejani tak dijalankan dengan sesungguhnya.

 

Muslim dan Kristiani Bersalaman
Dalam kehidupan bermasyarakat perjumpaan senantiasa tak terhindarkan. Perjumpaan itu terjadi antarkerabat, sababat, kenalan dan rekan-rekan tanpa kenal batas agama. Perjumpaan dan komunikasi fisik lewat anggukan kepala, jabatan tangan, kedipan mata dan sapaan ramah bisa membawa kenangan indah bagi setiap insan. Tapi sesungguhnya, perjumpaan spiritual antarinsan beragama yang paling mengesankan tertulis dalam catatan harian saya pada Tri-hari mulia awal bulan Maret 1995 (tanggal 1-3 Maret 1995).

Hari-hari itu patut dicatat dalam batin umat Muslim dan Kristiani. Saat itu adalah penghujung akhir bulan Ramadhan, saat akhir umat Islam menjalani Sawm dan merayakan Idul Fitri. Tapi serentak saat rahmat bagi umat Kristen Katolik membuka Masa Puasa. Pada tahun 2002 pun patut dicatat karena selagi umat Katolik menjalani Puasa, kerabat Muslim dan Muslimat merayakan Idul Adha-nya.

Kita patut menimba pelbagai keutamaan yang terpancar dari wajah dan aktivitas kerabat umat beragama di NTT yang berpuasa dan merayakan hari-hari besar keagamaannya. Tapi kita pun mawas diri terhadap paham relativis segolongan umat yang meremehkan dan meniadakan praktek puasa itu.

Di tengah gegap gempita berita terorisme dan radikalisme yang penuh nuansa konflik bermuatan SARA di Jawa dan Sumatera, kita warga Propinsi Nusa Tengara Timur ini tetap bertekad untuk saling menyampaikan salam dan berjabatan tangan erat-erat.

Sambil menjabat erat-erat tangan kerabatku yang Muslim dan Muslimat, kusampaikan salam: "Selamat Jalan ya Ramadhan dan Selamat Datang ya Idul Fitri  al-Mubarak 1439 Hijriyah yang segera tiba pada tanggal 15-16 Juni 2018 yang akan datang.

Semoga puasa, amal dan ibadat sanak kerabatku yang Muslim dan Muslimat pada tahun 2018 ini, menjadikan tahun ini sebuah 'anno mirabilis' (tahun yang mengagumkan) bagi masyarakat dan umat beragama di NTT karena produktif dan konstruktif, ditandai oleh suasana damai dalam penyelenggaraan PILKADA; penuh kasih persaudaraan, toleransi dan dialog dalam perayaan Idul Fitri.

Puasa, amal dan ibadah Sawm Ramadhan tahun 2018 ini tidak saja meningkatkan kepatuhan legalis, kesalehan dan ketaqwaan pribadi, tapi meningkatkan keimanan yang berciri sosial: solidaritas, kepedulian, cinta dan respek yang sejati dan manusiawi yang lintas agama dan budaya. Ma'a as-salam. Nusali ba'duna bi-ba'din.”

P.Dr.Philipus Tule, SVD adalah Rektor Universitas Widya Mandira Kupang. Dikenal sebagai Islamolog (pakar Islamologi). Artikel ini pernah diterbitkan di Pos Kupang (cetak), pada Senin 11 Juni 2018. Diterbitkan lagi IndonesiaSatu.co seizin penulis dan media Pos Kupang. 

Komentar