Breaking News

BUDAYA Mengenal Ritual 'Ka Mbera' dalam Tradisi Tata Berladang Suku Lio-Ende 23 Jul 2020 17:32

Article image
Ritual adat 'ka mbera' di salah satu wilayah persekutuan di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende. (Foto: Dok.Mosalaki)
Adat dan budaya adalah jati diri, keyakinan dan nilai hidup turun-temurun. Kita harus bangga dengan warisan leluhur," kata Lius.

ENDE, IndonesiaSatu.co-- Mayoritas masyarakat Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menggeluti pekerjaan sebagai petani (sawah dan ladang).

Meski demikian, ada juga kelompok masyarakat dalam tatanan sosial, memiliki pekerjaan dan profesi berbeda;  seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengajar (guru), pengusaha, nelayan, dokter, perawat, birokrat, politisi, dan lain-lain.

Dalam tradisi tata berladang Suku Lio, sebutan khusus bagi para petani yakni "fai walu ana kalo/halo (penggarap)" dalam suatu wilayah persekutuan adat (ulayat) yang biasanya berada di bawah kewenangan pemangku adat (mosalaki).

Secara struktural dan fungsional, para pemangku adat (mosalaki) memiliki kewenangan masing-masih di tanah persekutuan adat seturut hak waris adat, di antaranya: Mosalaki Pu'u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Rumbi Kumba, Mosalaki Lengi Ae, Mosalaki Dai Mau Engananga, serta atalaki (orang yang di luar hak waris adat namun diangkat untuk urusan adat karena memiliki kemampuan tertentu).

Mengenal Tradisi 'Ka Mbera'

Dalam sistem tata berladang Suku Lio, khususnya Lio bagian Utara Kabupaten Ende, hingga kini masih diwarisi tradisi 'ka mbera' sebagai salah satu ritual adat penting sebelum membuka lahan garapan baru (gaga poka), yang pada intinya memohon restu leluhur (embu mamo) atas seluruh peralatan kerja (topo, taka, piso, pali, dali, su'a) serta restu leluhur agar diberi keberhasilan panen dan dijauhkan dari segala hama penyakit.

Ritual adat yang diselenggarakan di salah satu tanah persekutuan, tepatnya di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, sejatinya melibatkan Tiga Badan Mosalaki dalam suatu wilayah persekutuan hak ulayat, yakni Mosalaki Pu'u, Antonius Liu; Mosalaki Rumbi Kumba, Markus Langga dan Mosalaki Lengi Ae, Leonardus Dala.

"Tradisi ini adalah warisan para leluhur (embu welu mamo moi) yang hingga kini masih diyakini sebagai tradisi yang sakral. Ini selalu menjadi ritual tahunan dari tiga badan Mosalaki yang menjadi penanggung jawab dan penyelenggara. Tiga badan Mosalaki ini ibarat Tiga Batu Tungku (sa Lika) yang selalu bersatu dan bersama-sama," ungkap Mosalaki Pu'u, Antonius Liu saat diwawancarai media ini, Senin (20/7/20).

Lius menerangkan bahwa Ritual 'Ka Mbera' tersebut dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli, khusus untuk wilayah tanah hak ulayat 'ulu mbojo joru, dengan batasan eko yakni Ngalu Tangi, Soba Nggebhe, Tanah Kelitembu, serta Se Ngaki dan Sigaria.

Sesuai warisan leluhur, Lius mengatakan bahwa Ritual adat tersebut sudah menjadi keyakinan bagi para penggarap atas bantuan dan restu leluhur terhadap hasil ladang/kebun mereka, dijauhkan dari segala hama penyakit serta terhindar dari penyakit serta kecelakaan selama bekerja di ladang yang menjadi hak mereka.

"Kami percaya bahwa ritual adat ini memiliki nilai budaya dan mendatangkan pahala, berkat bantuan para leluhur yang kami yakini sebagai wujud Tuhan penguasa/dewi bumi (Ngga'e wena tana). Melalui para leluhur, kami juga memohon restu agar wujud Tuhan sebagai penguasa/dawa langit (Du'a Lulu Wula) selalu menutunkan hujan atas ladang dan kebun kami. Ini keyakinan kami yang diwarisi turun-temurun," kata Lius.

Tata Cara, Ritus Adat dan Makna

Pada kesempatan yang sama, Mosalaki Lengi Ae, Leonardus Dalla menjelaskan bahwa sebelum menyelenggarakan ritual adat tersebut, ketiga badan Mosalaki berembuk untuk menyepakati tanggal pelaksanaan.

Setelah menyapakati waktu pelaksanaan, selanjutnya Mosalaki Pu'u mengumumkan (pai nosi) kepada segenap penggarap (fai walu ana kalo) tentang waktu pelaksanaan 'ka mbera', dan kepada penggarap diminta untuk mencari udang, katak, belut sebagai makanan khas pada saat acara adat.

"Acara ini mirip dengan acara tiwu (meti) di laut. Namun ini khusus menangkap ikan air tawar (tiwu lowo) karena ritual adatnya berhubungan dengan aktivitas di darat (tata berladang). Ini semua memiliki arti dan makna bahwa semua jenis binatang di darat tidak mendatangkan hama penyakit bagi segala jenis tanaman," ungkap Ardus.

Diterangkan bahwa, pada prosesnya, ritual adat 'ka mbera' terjadi pada sore hingga malam hari.

Ketiga badan Mosalaki dan segenap penggarap duduk mengelilingi mesbah persembahan (tubu musu).

Selanjutnya, Mosalaki Pu'u memberi sesajian kepada para leluhur (pati ka embu mamo) dengan makanan dan lauk khas hasil 'tiwu lowo'.

Setelah Mosalaki Pu'u memberi makan dan memohon restu leluhur (sua somba), selanjutnya Mosalaki Rumbi Kumba memohon restu atas seluruh peralatan pertanian (pati ka topo taka) disertai permohonan kepada dewi padi (ine are/jawa) agar diberikan hasil padi dan jagung yang melimpah (are wole bewa, jawa dupa ria) atas segala usaha 'fai walu ana kalo'.

Setelah memohon restu atas peralatan kerja, selanjutnya Mosalaki Lengi Ae melakukan ritual disertai permohonan kepada leluhur agar dijauhkan dari segala hama, penyakit dan kecelakaan bagi segenap penggarap saat mengusahakan kebun dan ladang mereka.

Mosalaki Lengi Ae juga memohon restu leluhur agar segenap penggarap diberi kesehatan dan kebugaran seperti simbol minyak (lengi) serta diberi kesejukan dan kedamaian seperti simbol air (ae).

Setelah ketiga badan Mosalaki melakukan ritual adat dengan simbol dan makna masing-masing, acara selanjutnya yakni makan bersama (ka sama), disertai wejangan adat dan cerita adat oleh para sesepuh dan orang tua.

Pada akhir acara adat, Mosalaki Pu'u menyampaikan hal penting berupa ajakan, peringatan maupun larangan kepada para penggarap (bo so), terutama tetap menjaga kerukunan dalam suatu wilayah persekutuan serta menghindari segala bentuk konflik yang berhubungan dengan hak ulayat.

"Pada prinsipnya, dalam suatu wilayah persekutuan, kerjasama dan saling menghargai adalah hal yang utama, seperti wejangan leluhur: 'boka ngere ki, bere ngere ae' (jatuh-bangun tetap bersatu padu seperti ilalang dan air). Adat dan budaya adalah jati diri, keyakinan dan nilai hidup turun-temurun. Kita harus bangga dengan warisan leluhur," tutup Lius. 

--- Guche Montero

Komentar