Breaking News

REGIONAL Romo Felix: Merajut Persaudaraan dan Toleransi di Negeri Lahirnya Pancasila 07 Jun 2021 09:15

Article image
Umat Muslim dan Katolik di Ndori, Ende, bahu-membahu merenovai Masjid Maubasa yang rusak akibat abrasi. (Foto: Youtube)
Umat Muslim Maubasa, umat katolik Paroki Wonda, masyarakat kecamatan Ndori mengajarkan kita tentang "toleransi, koeksistensi dan pro-eksistensi".

SAYA baru saja menonton video menarik berdurasi 5 menit. Tentu bukan cuplikan video artis beken Hollywood. Ini video Romo Feliks Jawa dari kampung sunyi Wonda - Ndori - Ende Flores. Feliks adalah imam Katolik yang selalu membawa sukacita. Dia bisa melawak dan mengulas kisah jenaka para sahabatnya. Di mana ada Feliks, di situ ada tawa ria.

Feliks juga "artis lokal". Sebagai pastor tentu saja dia bisa menyanyikan lagu-lagu gerejani. Tapi beliau juga menghafal "lagu-lagu cinta dan tembang kenangan". Saya mengapresiasi Feliks atas kemajuannya dalam urusan tarik suara. Kalau di Swiss pasti Feliks disapa der singende Priester  atau pastor penyanyi oleh umatnya.

Feliks sering menggerakan teman-teman imam untuk bernyanyi. Bersama P. Medes Mere, SVD dan Rm. Yosef Liwu cs mereka menginisiasi "Grup Rumpu-Rampe Para Pastor" di Ende Lio. Grup ini sering tampil spontan saat pesta gereja atau syukuran imamat. Lagu "Bujangan" sering menjadi andalan para bujang abadi ini.

Mereka juga menyanyikan lagu-lagu daerah NTT. Disebut "rumpu rampe" karena anggotanya lintas usia, bahasanya bermacam-macam, warna suaranya beda-beda, ritmenya juga bervariasi. Tampilannya sering amburadul tapi menghibur. Opa Romo Lukas Leo juga pernah menjadi "Maestro Puisi" grup kocak ini.

Meski artis lokal, Feliks pernah ketiban rejeki berduet dengan artis nasional. Pertama, 30 April 2014 Feliks berduet dengan artis Ita Purnamasari di Aula BBK Ende. Ketika itu Ita diundang menghadiri resepsi pernikahan salah satu keluarga di Ende. Saat hendak menyanyikan lagu "Gantengnya Pacarku", Ita menantang para pemuda untuk berduet dengannya.

"Pemuda Feliks" maju menjawabi tantangan Ita. Aplaus bersahutan mengapresiasi keberanian "Pemuda Feliks" saat itu. Asyik sekali mereka berduet. "Pemuda Feliks" tampil seperti "Pacar Yang Ganteng".

Ita Purnamasari menghadiahkan kecupan manis untuk Feliks. Feliks yang berkumis itu tak kalah gaulnya. Dia membalas kecupan sang artis. Mana tahan. Hadirin tahan napas dan katakan "Itu rejeki Romo pemilik suara emas".

Kedua, 5 Juni 2005 juga di Aula BBK Ende. Feliks berduet dengan Viktor Hutabarat. "Ini abang saya Viktor Hutabarat. Saya sendiri Feliks Jawabarat", kata Feliks yang disambut gelak tawa para penonton. "Abang dan adik" ini menyanyikan lagu "Bunga Mawarnya" Beny Panjaitan. Penonton sangat terpukau.

Sebagai imam katolik Feliks mewartakan Injil. Injil adalah kabar sukacita. Bagi Feliks, kabar sukacita tidak berkutat sekitar mimbar sabda. Dia mewartakan kabar sukacita melalui serba aneka mimbar kehidupan. Di sana selalu ada ruang untuk membawa sukacita.

 

Imam Perajut Persaudaraan

Kita kembali ke video. Video tertanggal 1 Juni ini mempertontonkan Romo Feliks sedang berkata-kata. Audiensnya adalah keluarga besar Imam Mesjid, Haji Abdurahman, umat Muslim Maubasa, tokoh umat paroki Wonda, camat Ndori Paul Fred dan para kepala desa.

Hari itu kota Ende menjadi pusat perhatian peringatan hari lahir Pancasila. Ada serba aneka kegiatan di kota Ende. Sebut saja napak tilas ke Taman, Rumah dan Serambi Bung Karno. Ada pawai, kunjungan ke tugu Pancasila dan apel bersama di Lapangan Pancasila.

Warga kecamatan Ndori memaknai hari ulang tahun kelahiran Pancasila secara lain. Mereka menyelenggarakan acara "Minu Ae Petu atau Minum Air Panas" untuk mendukung pembangunan "Sa'o Ngga'e atau Mesjid Maubasa".

Romo Feliks didaulat untuk berbicara. Menariknya Romo Feliks berbicara bahasa Lio. Ini bukti kedekatan Romo Feliks dengan "Ata Wonda, Ata Maubasa, Ata Ndori". Tentu saja sebelumnya dengan orang-orang Jopu. Feliks ada di hati mereka. Bagi Feliks bahasa Lio adalah "bahasa hati". Sapaan kata-kata Lio adalah kekuatan yang menyentuh dan tertanam dalam hati.

Feliks menyapa: "Kami mai gha iwa so kami ata bhanda. Kami bhondo kura duna. Kami mai pu'u ate dhoa. Kita kema Sao Ngga'e sama-sama. Wora sa wiwi, nunu sa lema. Sao Ngga'e ngala mbale demi kita boka ngere ki, bere ngere ae. Kita lele seru Ngga'e. Seru Ngga'e menga tau pawe ate. Kita ma'e lele seru sese, seru sese menga tau re'e. Ma'e lele seru meto. Seru meto menga tau gebo relo. Kita mae lele seru koka. Leka ngaji ada kita ata Lio, kita ata katoli, ata islamu ngaji: ‘Du'a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana’".

Artinya "kami datang bukan karena kami kaya. Kami banyak kekurangan. Kami datang karena hati yang berbelaskasih. Kita kerja rumah Tuhan sama-sama. Kita mesti seia sekata. Kita bisa membangun rumah Tuhan bila kita bersatu seperti alang-alang atau air yang mengalir. Kita mendengar suara Tuhan. Suara Tuhan selalu menggembirakan hati. Kita jangan mendengar suara-suara yang merusak persatuan, persaudaraan dan perdamaian. Secara budaya, orang Islam dan Katolik Lio berdoa dengan rumusan yang sama: Tuhan di atas langit, Allah di bawah bumi".

Romo Feliks mengungkapkan animasi persaudaraan dan motivasi perdamaian. Kita sedang punya trend membangun gereja dan Mesjid yang megah. Kemegahan gereja dan mesjid mesti melambangkan iman yg kokoh dan persaudaraan sejati.

Kita semua orang yang berkekurangan. Tapi kita bisa berbagi. Kita bisa membangun dan menghasilkan sesuatu yang besar bila kita hidup bersaudara. Persaudaraan adalah modal sosial kita.

Kita belajar dari "nasionalisme lokal" mereka. Nasionalisme yang bersemi dan bertumbuh dari gereja Wonda, Mesjid Maubasa dan Kantor Camat Ndori. Nasionalisme yang dirajut Romo Feliks, Imam Mesjid, Haji Abdurahman dan Camat Paul Fred. Dalam konteks ini, mereka adalah penyambung lidah Allah.

Umat Muslim Maubasa, umat katolik Paroki Wonda, masyarakat kecamatan Ndori mengajarkan kita tentang "Toleransi, Koeksistensi dan Pro-Eksistensi". Toleransi artinya kita perlu menghargai sesama dan sesuatu yang berbeda. Entah itu pendapat, suku, agama, budaya dan pandangan politik. Ko-eksistensi artinya kita perlu hidup bersama secara damai dan berjuang bersama untuk kebaikan kita. Pro-Eksistensi artinya kita selalu berusaha merawat kerukunan hidup bersama. Kita membagi pengalaman hidup rukun ini bagi sesama kita. Entah itu di kampung, kawasan, kota, kabupaten, propinsi atau bangsa lain. "Kita semua bersaudara", kata Paus Fransiskus.

Terima kasih Romo Feliks. Artis pembawa sukacita dari kampung sunyi Wonda. Gembala, sahabat dan saudara orang Maubasa. Rohaniwan pembawa optimisme dari kawasan Ndori.

 

Stefanus Wolo Itu, imam projo KAE, sekarang berkarya di Di Basel Swiss

Komentar