Breaking News

POLITIK Meski Dinilai Ilegal, TPDI: KLB Demokrat jadi Inspirasi Parpol Dinastif 08 Mar 2021 16:22

Article image
Bendera Partai Demokrat. (Foto: Ist)
"KLB PD di Sibolga, bukan saja menjadi preseden buruk karena mencoreng wajah demokrasi di negara kita, tetapi juga sebagai "lampu kuning" yang memberi peringatan bagi Partai Politik yang membangun feodalisme dan oligarki demi mempertahankan dinasti polit

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- "Dinamika politik yang berkembang di internal Partai Demokrat (PD), terkait dengan penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolga, Sumatera Utara, telah membawa PD berada dalam 'Perselisihan Partai Politik', karena telah lahir 'Dualisme Kepengurusan' dari Partai Politik yang sama, yang oleh UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, tidak diakui keberadaannya."

Demikian hal itu diutarakan Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, dalam keterangan tertulis kepada media ini, Senin (8/3/2021).

Menurut Petrus, KLB yang diselenggarakan oleh para mantan kader PD, telah melahirkan dualisme kepengurusan PD, meskipun secara prosedural dan organisatoris bertentangan AD-ART dan UU Partai Politik, yang tidak membenarkan dan tidak mengakui pembentukan kepengurusan dan/atau keanggotaan dari Partai Politik yang sama oleh anggota atau pengurus yang sudah diberhentikan.

Guna mengatasi problem organisatoris dan yuridis di dalam Partai Politik, kata dia, UU Partai Politik menyediakan dua instrumen penting yang wajib dimiliki oleh setiap Partai Politik yaitu instrumen "Mahkamah Partai Politik" dan instrumen "Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai Politik" yang disebut Kongres atau Kongres Luar Biasa, Munas atau Munaslub atau Muktamar atau Muktamar Luar Biasa.

Mahkamah Partai Politik Tidak Berfungsi

Petrus berpandangan, apa yang terjadi dengan ketidakpuasan sejumlah kader atas managemen PD yang berujung dengan pemecatan dari keanggotaan dan kepengurusan PD, seharusnya diselesaikan melalui saluran Mahkamah Partai Politik PD; dan jika tidak tercapai penyelesaian, baru permasalahnya dibawa ke ranah hukum yaitu gugatan ke Pengadilan Negeri, dan bukan membawa permasalahan ke KLB.

"Mahkamah Partai Politik adalah lembaga Yudikatif Partai yang dibentuk atas perintah UU Partai Politik dengan fungsi menyelesaikan Perselisihan Partai Politik di internal Partai sesuai ketentuan AD-ART, dan jika Mahkamah Partai tidak berhasil menyelesaikan, maka permasalahannya dibawa ke Pengadilan Negeri untuk menyelesaikannya," ujarnya.

Petrus menerangkan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik membuat kualifikasi/kategori Perselisihan Partai Politik ke dalam enam isu penting yaitu: (a) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (b) Pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (c) Pemecatan tanpa alasan yang jelas; (d) Penyalahgunaan kewenangan; (e) Pertanggungjawaban keuangan; dan (f) Keberatan terhadap keputusan Partai Politik.

KLB dan Tuduhan Kudeta Terselubung

Petrus menjelaskan bahwa Kongres atau KLB merupakan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai Politik sebagai manifestasi kedaulatan anggota Partai Politik yang oleh AD-ART diberi wewenang secara limitatif hanya pada isu-isu strategis, seperti : (a) Mengubah dan mengesahkan AD dan ART Partai Politik; (b) Memilih atau mengganti Ketua Umum Partai Politik; (c) Merubah nama dan/atau Lambang Partai Politik; dan (d)Hal-hal strategis dan mendesak lainnya.

"Oleh karena itu, pertanyannya adalah apa urgensinya sehingga para mantan kader dan pengurus PD menyelenggarakan KLB di Sibolga dan menarik Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko, selaku KSP sebagai pihak eksternal masuk ke dalam KLB dan memilihnya menjadi Ketua Umum PD; apakah pada saat ini PD berada dalam kevakuman jabatan Ketua Umum Partai, sehingga memerlukan pengisian jabatan Ketua Umum PD melalui KLB?" timpal Petrus.

Ia menilai, tidak adanya kevakuman jabatan Ketua Umum PD karena memang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak diberhentikan dari jabatan Ketua Umum oleh PD, maka penggunaan instrumen KLB dan melahirkan Moeldoko sebagai Ketua Umum, tidak memiliki legitimasi apapun.

"Artinya, KLB ini tidak lebih dari hanya upaya untuk membongkar sistem dinasti SBY, jika demikian sepenting apakah Moledoko bagi PD dalam perubahan di internal PD?" sentil Petrus.

Petrus beranggapan, hal itu harus dijelaskan ke publik, jika tidak ingin dicap KLB ini merupakan kudeta terselubung yang gagal, karena jabatan Ketua Umum PD pada AHY bersama seluruh jajarannya di DPP PD tidak tergantikan oleh sebuah putusan Mahkamah Partai Politik dan Organ PD lainnya yang berwenang, sehingga alasan KLB secara mekanisme menjadi lemah.

KLB Ilegal untuk Demokrasi

Petrus menyinggung, lenyakit kronis yang melanda hampir semua Partai Politik di Indonesia adalah suburnya budaya feodal, budaya oligarki, budaya dinasti dan budaya uang yang menempatkan Ketua Umum Partai sebagai pemilik Partai Politik, sehingga para kader hanya boleh mengabdi kepada tuannya yaitu Ketua Umum.

"Kondisi ini menjadi "puncak gunung es" dan akan berpotensi melahirkan Perselisihan Partai Politik, yang tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme AD-ART Partai," ujarnya.

Kuatnya budaya feodal dan oligarki demi dinasti dan uang, di lingkungan Partai, lanjut Petrus, justru semakin memperkokoh kelompok status quo dengan segala keangkuhan dan kewenangan ekstra yang tidak dapat diganggu gugat melalui kekuatan AD-ART, yang dalam praktek hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

"Mahkamah Partai Politik hanya menjadi alat melegitimasi tindakan Ketua Umum, yang sewenang-wenang terhadap kader Partai yang berbeda pendapat ketika berhadapan dengan hak prerogatif Ketua Umum Partai," lanjutnya.

Menurut Advokat Peradi ini, akumulasi berbagai persoalan kelompok status quo di internal PD, menjadi "puncak gunung es", sehingga para kader terpaksa mencari jalannya sendiri melalui KLB, karena ada urgensi dan tanggung jawab moral untuk melakukan perubahan demi memperkuat pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif, yang tidak dapat lagi diatasi secara mekanis dengan AD-ART, maka KLB menjadi opsi minimal untuk memberikan koreksi bahwa ada yang salah dalam managemen PD.

Ia beralasan, di mata para mantan kader dan sebagian kader PD, bahwa alasan untuk menyelamatkan PD dari bahaya feodalisme, oligarki, dinasti dan budaya uang yang terlanjur kuat di PD, hanya dengan KLB karena sistem yang dibangun melalui mekanisme AD-ART semakin melanggengkan kelompok dinasti SBY untuk tetap bercokol di puncak pimpinan PD, sehingga sulit dilakukan perubahan dengan mekanisme AD-ART di PD.

"KLB PD di Sibolga, bukan saja menjadi preseden buruk karena mencoreng wajah demokrasi di negara kita, tetapi juga sebagai "lampu kuning" yang memberi peringatan bagi Partai Politik yang membangun feodalisme dan oligarki demi mempertahankan dinasti politik dan budaya uang yang menjadi racun bagi banyak kader di Partai Politik," pungkasnya.

--- Guche Montero

Komentar