Breaking News

KOLOM More, Ahok dan Hukum (Kita): Ketika Hukum Jadi Tirani… 09 May 2017 18:38

Article image
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberi hormat dalam sidang vonis hakim yang berujung hukuman dua tahun penjara. (Foto: Ist)
Semakin lemah penegakkan hukum, semakin lemah pula rasa cinta kepada Negara. Untuk apa bernegara jika hukum tidak memihak pada keadilan bagi semua?

Oleh Redem Kono

 

SETELAH mengikuti proses vonis hukum dua tahun penjara terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saya tiba-tiba teringat seorang pemikir, pejuang kebenaran, dan pengacara kritis, serta humanis renaisans yang terkenal dari Inggris pada abad 15 bernama Thomas More (1478-1535). Dikenal sebagai sosok yang jujur, kritis, dan tidak segan berhadapan dengan mayoritas penguasa despotik-otoriter, More yang semula gemilang akhirnya harus bertekuk lutut di hadapan eksekusi mati sang algojo.

More dan perlawanan terhadap tirani (hukum)

Lahir di Milk Street, London pada 7 Februari 1478, More dibesarkan dari tradisi hukum dan basis religiositas keagamaan yang kuat. Pada 2005, laporan yang ditulis Wayne A. Rebhorn dalam pengantar buku More berjudul Utopia mencatat: Sir John More, ayah More, adalah pengacara kondang yang dekat dengan duet erat penguasa pemerintahan (Kanselir Inggris) dan penguasa agama (Uskup Agung Canterbury)–suatu bentuk caesaropapisme, perselingkuhan kental antara Agama dan Negara. Kelak, More akan melawan situasi ini. 

Situasi saat itu melampirkan fakta bahwa hukum tidak berpihak pada keadilan. Ada tirani hukum: keputusan hukum dipengaruhi elit kerajaan-elit keagamaan-elit ekonomi untuk membelokkan hukum demi kepentingan politik dan ekonomi. Namun, hidup dalam perekonomian dan suhu politik morat-marit –akibat caesaropapisme- tidak membuat More membenci agama. Sambil mengikuti jejak ayahnya bersekolah hukum, More menjalani kehidupan asketik. Tahun 1503-1504, More berada di puncak kekaguman terhadap nilai-nilai agama, yang kemudian meletakkan landasan moral kokoh baginya untuk terjun dalam belantara hukum.

Namun, More yang kemudian terjun ke dunia hukum tidak terjebak dalam alam praktisi hukum. Ia pun berselancar dalam kegelisahan teoretis dengan masuk dalam teori-teori humanis, teori-teori hukum dan pemerintahan ideal sebagaimana digambarkan oleh Plato ataupun Pico de Mirandola. Sambil menerjemahkan biografi Mirandola, More mempersiapkan terbitnya buku tentang Negara yang diambil dari gagasan pemikir Yunani kuno, Plato. Buku berjudul Utopia yang diterbitkan pada 1516 itu "menjadi satir" terhadap praktik pemerintahan dan hukum saat itu.

Sekilas, publikasi Utopia merupakan adaptasi dari gagasan Republic-nya Plato. “The Utopia appears to be an imitation or "free adaptation of Plato's Republic," tulis Thomas E. Engeman dalam “Hythloday's Utopia and More's England: an Interpretation of Thomas More's Utopia” (The Journal of Politics, Vol. 44, No. 1 (Feb., 1982), pp. 131-149). Diadaptasikan dari Plato, Utopia mengidealkan tatanan pemerintahan yang  selalu tertib dan harmonis dalam kehidupan politik, sosial, ataupun beragama tanpa ada kelemahan atau kekurangan. Negara versi More adalah negara yang sempurna: tanpa kelemahan, kekurangan, dan perselisihan. Untuk menggapai Negara seperti ini, More menolak sistem pemerintahan  tirani.

Mengapa? Sistem tirani, demikian More, menjadi prakondisi ideal dari munculnya interese-interese privat seperti kebuasan hasrat serakah, ambisi kekuasaan, dan kepentingan egoistik yang saling berkelindan. Sistem pemerintahan tirani selalu melibatkan kelompok mayoritas karena membutuhkan stabilitas politik demi konstruksi sosok "pemimpin kuat" (strong leadership). Tirani menjadi awal keruntuhan pemerintah yang baik ketika Negara ataupun kelompok mayoritas cenderung menghalau kepentingan publik (seperti hukum-politik-ekonomi) atas nama kepentingan politik kekuasaan atau akomodasi kepentingan mayoritas.

Untuk mengatasi tirani, More menganjurkan sistem kepemilikan bersama untuk mencegah privatisasi atau penguasaan hak milik. Demi kepentingan publik, setiap orang dalam Negara Utopia harus menjadikan kepentingan umum sebagai kaidah emas dalam hidup bersama.  J. C. Davis dalam “Thomas More’s Utopia: Sources, Legacy and Interpretation (Cambridge Collections Online © Cambridge University Press, 2010, pp. 28-50) menilai meskipun More dikritik karena menawarkan “sistem komunisme”, namun More berjasa mengingatkan Negara sebagai corong keberpihakan kepada kepentingan semua warga. Konsep negara Utopia juga dinilai utopis; mengawang-awang, karena tidak ada satupun sistem negara yang sempurna.

Penilaian Davis menjadi relevan ketika konteks historis di sekitar More saat itu ditelusuri. More berada dalam kerangkeng sistem ekonomi di mana kapitalisme mulai berkembang subur-suburnya. Dalam tulisannya berjudul The History of King Richard III (1513–1518), More mengkritik sistem pemerintahan monarki dari Raja Richard III yang menguntungkan kaum elit kerajaan, elit politisi ataupun elite ekonomi. Hukum akhirnya tidak berpihak pada keadilan, tetapi tunduk pada kepentingan penguasa dan atau tekanan massa (mayoritas) kepentingan. Dan, gagasan Utopia dan hukuman mati atas More akan menjadi antitesis (perlawanan) terhadap sistem tirani tersebut.

Selanjutnya, komitmen pada keadilan itu berusaha diwujudkan More secara gemilang dalam praktik hukum di masanya. More menjadi tokoh publik yang dikenal berjasa memadamkan pemberontakan  pada 1517, sebagaimana dilukiskan secara dramatis oleh penulis Shakespeare. Ia pun dianugerahi gelar ksatria karena konsistensinya sebagai anggota dewan rahasia. Pelbagai jabatan publik semisal konsultan dan kanselir Lancaster (1525) dan akhirnya Kanselir Utama (1529) pertama dari rakyat biasa disandangnya; sebuah jabatan prestisius di Inggris untuk "orang biasa" pertama kali dalam sejarah Inggris!

Rupanya, kegemilangan karier dan konsistensi terhadap hukum berkeadilan menjadi awal dari cobaan terhadap kehidupan pribadi More. Sikap antithesis More terhadap kekuasaan tetap dipertahankannya sebagai pejabat publik. More tidak menyetujui rencana Raja Henry VIII bercerai dengan Raja Katherine dari Aragorn (karena keyakinannya tentang kesucian pernikahan). Ia pun menerapkan hak kebebasan berbicara di parlemen (yang selama ini dibatasi). Puncak perlawanan dari More adalah penolakannya atas rencana Henry VIII menarik sistem yuridiksi Paus dari Gereja Inggris. More menolak supremasi raja karena bertentangan dengan hukum!

Pada 1534, More mulai dituduh bekerja sama dengan Elizabeth Aragon yang menentang Henry VIII. Selama itu, berbagai laporan menyebutkan bahwa Raja mengirim utusannya untuk membujuk More agar mengubah prinsip-prinsipnya. Sahabat-sahabatnya pun demikian. Namun, More tetap tidak bergeming. Akhirnya pada April 1534, More dinyatakan bersalah karena tuduhan berkhianat. Ia pun dihukum gantung pada 1535. "I die the King's good servant, but God's first”, (saya mati sebagai hamba Raja yang baik, tetapi terutama sebagai hamba Allah) demikian ucapan terakhir More menjelang ia hendak dipenggal kepalanya.

More, hukum dan Ahok

Sambil membaca publikasi-publikasi tentang More, saya pun teringat kata bijak Latin kuno: justitia omnibus, artinya keadilan untuk semua. Hukum harus berpijak pada keadilan. Keadilan yang dimaksud bukan untuk segelintir orang ataupun demi mayoritas, tetapi berlaku bagi siapa saja.  Dan, karena itu keadilan harus membenarkan orang yang benar, dan bukan menyalahkan yang benar.

Apa yang dilakukan More boleh menginspirasi keadilan hukum Indonesia bahwa (pengadilan dan penegakkan) hukum tidak boleh tunduk pada siapapun: entahkah pemimpin, mayoritas, minoritas, ataupun kaya-miskin. Hukum pun  tidak boleh tunduk pada kepentingan politik ataupun tekanan massa. Mengapa? Karena Indonesia berpegang teguh pada aspek republikanisme hukum. Hukum memegang kedaulatan atas segalanya. Pertanyaan kritisnya, jika hukum tidak dapat diandalkan, ke mana warga negara harus mencari keadilan?

Konsep republikanisme yang dianut menunjukkan bahwa hak paling penting dari setiap orang adalah “hak untuk memiliki hak-hak” (F. Budi Hardiman, 2011, p.29), yang tidak lain adalah hak sebagai warga negara. Negara sebagai komunitas politik, sebagaimana dicatat Hannah Arendt dipercaya dapat memberi jaminan hukum. Dalam komunitas hukum yang sama, tidak ada lagi distingsi mayoritas-minoritas, kaya-miskin, pusat-daerah karena semua warga sama di mata hukum. Karena itu, prinsip utilitarianisme hukum tidak berlaku di sini: demi banyak orang satu orang benar dikorbankan. Perlakuan dan putusan yang adil di mata hukum tidak boleh diintervensi peristiwa (tekanan) sosio-politik.

Peradilan yang berujung vonis dua tahun kepada Ahok menunjukkan adanya proses pengadilan yang tidak wajar. Penetapan Ahok sebagai tersangka sedemikian cepat diikuti demonstrasi besar-besaran (serentak proses politik di DKI) menjadi dua indikator kuat yang membuat pengadilan Ahok mengundang sejumlah tanya. Hingga akhirnya penjeblosan Ahok ke Lapas Cipinang dianggap sebagai satu langkah mundur penegakkan hukum tebang pilih.

Padahal, Indonesia yang dibangun dari "komunitas imajiner" (mengutip Ben Anderson) membutuhkan landasan hukum yang kuat dan adil untuk memelihara keragaman. Hukum memiliki peran yang kuat dalam mempertahankan kebhinekaan. Juergen Habermas dalam The New Conservatism (1990) menunjukkan bahwa gugus inti yang mempertahankan sebuah Negara multikultural-heterogen -seperti Indonesia- bukan lagi ikatan emosional sebagai satu bangsa dengan satu kesamaan historis, tetapi terutama oleh “patriotisme konstitusional” (constitusional patriotism).

Artinya, masyarakat akan terikat dalam sebuah negara apabila hukum dapat menjamin keadilan bagi semua orang. Hukum yang tidak adil dapat menggerus semangat bela negara ataupun semangat patriotisme kepada bangsa dan Negara. Hukum tidak boleh dijadikan tirani untuk menindas. Hukum harus berpihak pada keadilan. Karena itu penegak hukum harus bersikap tegas terhadap siapapun yang berupaya mencederai penegakkan hukum.

Konstitusi yang demokratis memberikan jaminan yang sama kepada warga negara untuk terlibat dalam konsensus partisipatif pembuatan kebijakan hukum, dan oleh karena itu boleh menerima jaminan (perlindungan) hukum yang setara. Jika warga negara menikmati hukum yang adil, maka kecintaan terhadap bangsa dan Negara akan bertambah. Inilah yang disebut patrotisme konstitusional.

Maka, apabila bandul hukum tidak dapat mendatangkan keadilan, muncul sikap pesimis untuk bernegara. Semakin lemah penegakkan hukum, semakin lemah pula rasa cinta kepada Negara. Muncul pertanyaan, untuk apa bernegara jika hukum tidak memihak pada keadilan bagi semua?

Dari More dan Ahok kita belajar: hukum yang tidak berpijak pada keadilan akan menghasilkan keputusan publik tidak sepantasnya. Tentunya Ahok bukan manusia super yang sempurna. Ia pun harus dikritik karena kekurangan-kekurangannya. Ada pihak yang mengatakan mungkin momen hukuman atas Ahok sebagai momen pemurnian (purifikasi) diri. Sebagai pejabat publik, hukuman ini mungkin menjadi titik balik dari Ahok mencapai kesuksesan yang lebih tinggi. 

Namun, kita mengamati selama ini bahwa bagaimanapun juga pengadilan atas Ahok yang kuat unsur politik dan tekanan sosio-psikologis menunjukkan perlunya revolusi hukum yang benar-benar adil, tanpa represi. Sebab, masa depan Indonesia (yang bhineka) ditentukan juga oleh penegakkan hukum (yang adil) kepada warganya!

Lagipula, prinsip hukum itu sederhana: jika salah katakan “salah”, benar katakan “benar”.

*Penulis adalah Dosen di Kalbis Institute, Direktur Humas dan Publikasi di Vox Point Indonesia, Anggota Aliansi Jurnalis Kebangsaan, dan Wartawan IndonesiaSatu.co


Komentar