Breaking News

HUKUM Mundurnya 17 PPK di Lembata, TPDI: Pembangkangan dan Insubordinasi Pesan Presiden Jokowi 09 Mar 2020 19:58

Article image
Koordinator TPDI dan Advokat PERADI, Petrus Selestinus. (Foto: Dokpri PS)
"Peristiwa pengunduran diri oleh para PPK ini merupakan sebuah resistensi secara terbuka terhadap tindakan aparat Penegak Hukum sebagai bagian dari Forkopimda. Ini kejadian yang unik dalam tata kelola birokrasi tingkat daerah," nilai Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Sedikitnya ada 17 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (6/3/20) menemui Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur.

Mereka menyampaikan pengunduran diri dari PPK karena merasa kurang nyaman kerap dipanggil dan dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum, baik dari kejaksaan maupun kepolisian.

Langkah itu mendapat tanggapan dan sorotan dari Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus.

Dalam keterangan tertulis kepada media ini, Senin (9/3/20), Petrus menilai bahwa terhadap kejadian tersebut, Bupati Lembata harus bertindak bijaksana, karena dampaknya tidak hanya terhadap kelanjutan pembangunan sebagai agenda strategis bangsa, namun juga berdampak pada kepercayaan publik (trust) terhadap para Penegakan Hukum.

"Peristiwa pengunduran diri oleh para  PPK ini merupakan sebuah resistensi secara terbuka terhadap tindakan aparat Penegak Hukum sebagai bagian dari Forkopimda yang juga memiliki fungsi mengawal tugas pembangunan, sehingga dianggap tidak memberikan kenyamanan dan iklim yang kondusif. Ini kejadian yang unik dalam tata kelola birokrasi tingkat daerah," nilai Petrus.

Advokat Peradi ini berpandangan, di tengah iklim mendewakan kepentingan (kekuasaan/jabatan, red), 17 PPK di Lembata justru memilih melepaskan jabatan strategisnya.

"Ini fenomena yang unik. Pasalnya, hanya karena merasa sudah tidak nyaman dalam mengendalikan proyek karena kerap dipanggil untuk diperiksa berkaitan dengan proyek yang sedang dikerjakan, para PPK lalu memutuskan mengundurkan diri. Jika tupoksi mereka sesuai regulasi, mengapa harus ada intervensi oleh penegak hukum?" timpal Petrus.

Pesan Presiden Jokowi: Jangan "Gigit" Pejabat Daerah

Menurut Petrus, adanya panggilan oleh Polisi dan Jaksa untuk perkara yang sama atas nama Penegakan Hukum, hal demikian bukan saja membingungkan tetapi juga sangat mengganggu kohesivias kerja tim PPK dalam menjaga kesinambungan pembangunan di daerah.

"Dalam bekerja, para PPK dan OPD tentu sangat membutuhkan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas tugas dan tanggung jawab mereka dalam mewujudkan kelanjutan pembangunan dan agenda strategis bangsa di lingkungan Pemkab Lembata," katanya. 

Bahwa sesuai keterangan, kata dia, beberapa PPK mengeluh karena kerap dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penegak Hukum Jaksa dan Polisi, ini membuktikan tidak adanya koordinasi pada tataran Forkopimda, khususnya Polri dan Kejaksaan, sehingga terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan di lapangan.

"Para PPK dan OPD mengemban jabatan strategis, meski memikul beban tugas, tanggung jawab, dan risiko hukum dalam mengendalikan kontrak pembanguan di Kabupaten yang harus dijaga kontinuitasnya. Namun sewaktu-waktu dapat diinterogasi bahkan diciduk aparat jika terjadi penyimpangan," imbuhya.

Menurut Petrus, Bupati Lembata harus cerdas mengatasi problematika kevacuman jabatan PPK dan OPD yang, karena dikhawatirkan sikap mundur secara massal PPK akan bertambah terus dan berkembang ke Kabupaten lain di NTT.

"Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek Penegakan Hukum yang menjadikan PPK sebagai "mesin ATM" atau oleh Presiden Jokowi menyebutnya dengan "menggigit" pejabat dan pengusaha daerah yang sedang berinovasi mendukung agenda strategis bangsa," ujarnya.

Meski demikan, lanjutnya, pengunduran diri seluruh PPK di Kabupaten Lembata sebagai sikap berani, apalagi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.

Ia menyebut sikap tersebut sinkron dengan pesan Presiden Jokowi di Sentul International Convention Center Bogor saat Rakornas Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda, tanggal 13 November 2019 lalu, agar Penegak Hukum jangan memeras Pengusaha dan Pejabat Daerah, karena akan berdampak kepada kelanjutan pembangunan sebagai agenda strategis bangsa.

"Peristiwa di Lembata ini bisa menjadi alat kontrol yang efektif terhadap perilaku aparat Penegak Hukum yang sewenang-wenang dalam menjalankan tugas di NTT. Ini juga sebagai 'signal' dukungan PPK terhadap pesan Presisen Jokowi yang akan mencopot penegak hukum yang pura-pura 'salah gigit'," demikan Petrus.

Insubordinati Terhadap Pesan Presiden

Merujuk pesan Presiden Jokowi kepada para penegak hukum agar 'tidak salah gigit atau pura-pura salah gigit' terhadap pejabat atau pelaku bisnis yang sedang berinovasi untuk mendukung agenda strategis bangsa, Petrus menilai apa yang terjadi di Lembata sebagai bentuk insubordinasi yang mengabaikan pesan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

"Sikap Presiden Jokowi jelas menyatakan bahwa tidak akan toleran terhadap aparat hukum yang kerjaannya hanya menakut-nakuti, mengganggu inovasi, bahkan justru memeras birokrat dan pejabat di daerah. Jika ada indikasi dan potensi pemerasan dalam kasus ini, maka sesuai pesan Presiden, aparat penegak hukum harus dipecat," sorotnya.

"Sebab, intervensi hukum di luar regulasi dan kewenangan, akan sangat mengganggu kohesivitas kerja tim dalam menjaga kesinambungan pembangunan, tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum atas tugas dan tanggung jawab para PPK dan OPD," tandasnya.

Sebelumnya, sejumlah media lokal dan nasional memberitakan, 17 pejabat pemerintah di Lembata menemui Bupati Sunur. Mereka menyampaikan mundur sebagai PPK dan kelompok kerja di sejumlah proyek pemerintah.

Para PPK tersebut bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang,dan Perhubungan, serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya.

Alasannya, mereka merasa tidak nyaman dalam mengendalikan kontrak berdasarkan pengalaman sebagai PPK pada tahun-tahun sebelumnya dan saat ini. Mereka kerap dipanggil untuk dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan guna diperiksa berkaitan proyek, meski masih dalam tahap pemeriksaan.

Atas permohonan pengunduran diri belasan PPK tersebut, Bupati Sunur mengatakan akan menindaklanjutinya. Pengunduran diri para pejabat itu sangat mengganggu percepatan pembangunan sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Nah, pencabutan SK menunggu saya bicara dengan Kapolda. Kalau Kapolda juga tidak tanggapi, saya setopkan saja. Saya laporkan ke Presiden," ujar Bupati Sunur mengutip sebuah media online nasional.

--- Guche Montero

Komentar