Breaking News

TOKOH Obituari: Herawati Diah, Reportase dengan Hati Nurani 30 Sep 2016 09:14

Article image
Siti Latifah Herawati Diah, kunci sukses wartawan yaitu kecintaan pada pekerjaan dan ketaatan pada hati nurani. (Foto: .thepresidentpost.com)
Pekerjaan jurnalisme menuntut kecintaan pada pekerjaan dan membutuhkan ketaatan terhadap hati nurani.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Tokoh pers Indonesia, Siti Latifah Herawati Diah, meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta, Jumat (30/9/2016).

Sekretaris Herawati, Damayanti, mengatakan perempuan berusia 99 tahun itu meninggal dunia akibat pengentalan darah. Herawati telah dirawat di rumah sakit sejak 29 Agustus lalu.

Saat ini, jenazah penerima Bintang Mahaputra itu disemayamkan di kediamannya di Patra Kuningan X. Rencananya, almahumah akan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata hari ini.

Herawati lahir di Tanjung Pandan, Belitung, pada 1917. Ia sempat mengenyam pendidikan di Jepang sebelum berlanjut ke Amerika Serikat. Pada tahun 1941 ia menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri.

Herawati kemudian melanjutkan studi di Barnard College, Universitas Columbia, New York, AS. Pada musim panas ia belajar jurnalistik di Universitas Berkeley, California.

Latar pendidikan Amerika yang dimilikinya diperlukan ketika ia kembali ke Indonesia untuk menghadapi berbagai peristiwa genting di Tanah Air. Herawati pun tergiring untuk menjalankan tugas-tugas jurnalisme.

Ia pulang ke Indonesia pada 1942 dan bekerja sebagai wartawan lepas kantor berita United Press International (UPI). Kemudian bergabung sebagai penyiar di radio Hosokyoku. Menikah dengan BM Diah, yang saat itu bekerja di Koran Asia Raja.

Pada 1 Oktober 1945, BM Diah mendirikan Harian Merdeka. Herawati terlibat penuh dalam pengembangan harian tersebut.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, ia sempat menjadi sekretaris pribadi Menteri Luar Negeri pertama republik, Achmad Soebardjo, yang kebetulan juga pamannya.

Herawati juga ikut membantu suaminya, B.M. Diah, menerbitkan koran pro Indonesia Merdeka untuk melawan Belanda dan Sekutu yang ngotot ingin memulihkan rezim Hindia Belanda.

Sejak Oktober 1954, ia memimpin harian baru berbahasa Inggris, Indonesian Observer, untuk mengampanyekan aspirasi kemerdekaan RI dan negara-negara yang masih terjajah.

Apa yang membuat Herawati terus berkiprah dalam dunia jurnalistik? Dia berujar, pekerjaan jurnalisme menuntut kecintaan pada pekerjaan dan membutuhkan ketaatan terhadap hati nurani.

"Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada kepentingan umum. Inilah yang berulangkali saya sadari ketika melakukan lawatan keliling nusantara dalam rombongan bersama Presiden Sukarno,” kata Herawati.

“Keterbelakangan sekian daerah di Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani. Dengan kegemaran merekam setiap kali terlihat satu contoh sikap (tidak) adil di dalam masyarakat, dan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etik, wartawan akan merebut kepercayaan pembacanya, membesarkan tempatnya bekerja, dan malah mencetak nama bagi dirinya sendiri," ujarnya.

Selamat jalan tokoh pers Indonesia. Requiescat in pace, beristirahatlah dalam damai.

---

Komentar