Breaking News

HUKUM Pasca Putusan Praperadilan, TPDI Desak Kapolri dan KPK Supervisi Kinerja Polres Ende 04 Apr 2018 11:10

Article image
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus (Foto: Dok. PS)
"Dalam koridor hukum, pasca putusan Praperadilan oleh Pengadilan Negeri, maka wajib hukumnya penyidikan terhadap kasus korupsi gratifikasi tujuh anggota DPRD Ende dan Dirut PDAM Ende, harus dibuka kembali dan mengungkap tuntas segenap pihak yang terlibat

ENDE, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak pihak Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) guna melakukan supervisi terhadap kinerja Kepolisian Resor (Polres) Ende. Desakan itu dilayangkan pasca putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Ende yang mengabulkan gugatan Praperadilan yang diajukan elemen Gerakan Anti Korupsi Flores Lembata (Gertak Florata) terkait kasus dugaan korupsi gratifikasi yang melibatkan Direktur Utama PDAM kabupaten Ended an tujuh anggota DPRD Ende.

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus melalui rilis yang diterima media ini, Rabu (4/4/18) mengatakan bahwa Supervisi oleh Kapolri dan KPK RI sangat diperlukan guna menjawabi kesangsian masyarakat kabupaten Ende terhadap kinerja Polres Ende yang terindikasi konspiratif dan tidak bernyali mengungkap tuntas kasus gratifikasi bahkan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang selanjutnya ‘dianuloir’ oleh Pengadilan Negeri Ende melalui putusan Praperadilan.

“Lembaga penegak hukum (Kapolri dan KPK) harus menjamin transparansi dan keadilan terhadap kasus korupsi yang terjadi di kabupaten Ende. Dalam koridor hukum, pasca putusan Praperadilan oleh Pengadilan Negeri, maka wajib hukumnya penyidikan terhadap kasus korupsi gratifikasi tujuh anggota DPRD Ende dan Dirut PDAM Ende, harus dibuka kembali dan mengungkap tuntas segenap pihak yang terlibat dalam kasus tersebut,” ungkap Petrus.

Advokat Peradi ini menilai, keenganan Polres Ende guna mengungkap tuntas kasus korupsi aliran dana PDAM Ende dapat dibuktikan dengan perilaku Polres Ende yang menghentikan penyidikan kasus tersebut sehingga pihak Direktur PDAM Ende selaku pemberi gratifikasi kepada sejumlah anggota DPRD Ende, tidak pernah diproses untuk dijadikan tersangka.

“Pihak penyidik Polres Ende menyimpulkan secara keliru bahwa dengan dikembalikannya uang gratifikasi tersebut maka unsur pidana korupsinya menjadi hilang. Sementara, sifat Tindak Pidana Korupsi terkait gratifikasi hanya bisa terjadi jika dalam waktu 30 hari kerja, pihak penerima gratifikasi melaporkan uang gratifikasi kepada KPK sehingga dalam kurun waktu tersebut pihak KPK akan menentukan apakah uang itu milik si penerima atau menjadi milik Negara,” terangnya.

Petrus menyoroti penyidik Polres Ende yang berani menghentikan penyidikan dengan alasan uang gratifikasi yang diterima tujuh anggota DPRD Ende sudah dikembalikan kepada pihak PDAM sehingga sifat pidana korupsinya hilang. Namun kenyatannya, uang gratifikasi yang diterima tersebut tidak pernah dilaporkan ke pihak KPK.

“Jika mencermati kinerja penyidik Polres Ende, maka hal itu berindikasi kuat pada upaya penyidik Polres Ende guna melindungi Dirut PDAM Ende, Soedarsono, BSc. SKM. M. Kesling, sebagai pemberi gratifikasi kepada Ketua dan seorang Wakil Ketua DPRD Ende bersama lima Angota DPRD masing-masing; Herman Yosef Wadhi, Oktavianus Moa Mesi, Yohanes Pela, Mohamad K Orba Imma, Sabri Indradewa, dan Abdul Kadir Hasan.

Benang Merah Hukum

Menurut Petrus, putusan Praperadilan oleh Pengadilan Negeri Ende dapat menjadi benang merah hukum guna mengungkap tuntas kasus dugaan korupsi gratifikasi yang terjadi sejak tahun Februari 2015 tersebut sehingga memberikan rasa keadilan hukum bagi masyarakat kabupaten Ende.

“Ketika pihak penyidik Polres Ende menghentikan kasus melalui SP3 pada tahun 2017, terkesan ada benang kusut dalam hal penegakan hukum di lingkup Polres Ende. Namun, putusan Praperadilan melalui Perkara Gugatan Praperadilan terhadap Polres Ende dalam Perkara Nomor : 02/Pid.Pra/2018/PN. End, di Pengadilan Negeri Ende yang memutuskan mengabulkan gugatan Praperadilan dan memerintahkan Polres Ende untuk membuka kembali Penyidikan terhadap kasus ini, maka putusan Pengadilan Negeri Ende dijadikan benang merah hukum yang patut diapresiasi,” sebut Petrus.

TPDI beranggapan bahwa keputusan SP3 yang dikeluarkan secara melawan hukum oleh Kapolres Ende merupakan produk dari perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) baru yang lahir selama proses Penyelidikan dan Peyidikan berlangsung.

“Ini namanya korupsi berjamaah, ada konspirasi yang lahir dalam sebuah proses hukum  yang cacat. Padahal, perkara korupsi gratifikasi PDAM Ende ini telah terungkap ke publik dengan bukti-bukti yang terang benderang; ada kwitansi pengembalian uang, ada tanda terima uang dari PDAM, ada perjanjian kerja sama, ada keterangan saksi, sehingga dari aspek kekuatan pembuktian sudah melebihi syarat minimal yakni dua alat bukti,” bebernya.

TPDI mengharapkan agar dengan adanya benang merah hukum melalui putusan Praperadilan oleh Pengadilan Negeri Ende, maka Dirut PDAM Ende, Ketua dan Wakil Ketua DPRD Ende bersama lima anggota DPRD Ende segera ditetapkan menjadi Tersangka dan ditahan sehingga dengan penahanan itu dapat menjadi pintuk masuk guna membuka keterlibatan sindikat pelaku lain di balik kasus ini.

“Kami mendesak pihak Kapolri dan KPK untuk melakukan supervisi dan monitoring terhadap kinerja Polres Ende agar kebenaran hukum segera terungkap dan keadilan ditegakkan kepada publik, termasuk berkas perkaranya diharapkan dilimpahkan ke persidangan Pengadilan Tipikor Kupang,” tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar