Breaking News

HANKAM Pengamat: Blokir Telegram Tak Signifikan Lemahkan Jaringan Teroris 15 Jul 2017 17:47

Article image
Pemerintah memblokir Telegram. (Foto: Ilustrasi)
Kelompok teroris mudah beradaptasi, kemajuan teknologi memudahkan mereka berinteraksi. Banyak cara untuk berinteraksi dengan orang lain, tidak hanya dengan Telegram.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) memblokir layanan percakapan instan Telegram sejak Jumat (14/07/2017). Kemenkominfo beralasan, Telegram memiliki banyak sekali kanal yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Langkah kontroversial pemerintah ini telah menuai banyak tanggapan.

Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan, melakukan blokir terhadap Telegram secara signifikan tidak akan melemahkan jaringan teror.

“Kelompok teroris mudah melakukan adaptasi, kemajuan teknologi memudahkan mereka berinteraksi dengan orang lain. Banyak cara untuk berinteraksi dengan orang lain, tidak hanya dengan Telegram. Daripada melakukan blokir, lebih baik pemerintah bekerja sama dengan Telegram untuk mengendalikan layanannya agar tidak mendukung terorisme dan atau kejahatan lainnya,” ujar alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia ini melalui siarn pers di Jakarta, Sabtu (15/7/2017).

Teknologi membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi teknologi justru membantu kegiatan kelompok teroris, namun di sisi lain, jika pemerintah bisa bekerja sama dengan Telegram, justru bisa mengawasi dan memantau aktivitas kelompok teroris melalalui percakapan mereka.

“Jika terorise mengubah model percakapannya dari menggunakan teknologi menjadi manual menggunakan kurir, ativitasnya justru sulit dipantau. Kemajuan teknologi akan terus berjalan dan tidak bisa dicegah,” ujarnya.

Stanislaus mengatakan, kewenangan pemerintah seharusnya digunakan lebih bijaksana. Kewenangan tersebut bisa digunakan untuk mendorong layanan percakapan dan sosial media lainnya, membuat regulasi dan bekerja sama dalam hal penanganan terorisme.

“Kecuali jika pemerintah sudah mengajak bekerja sama namun penyedia layanan tersebut tetap tidak mau mengendalikan percakapan dan konten berbahaya maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan blokir,” katanya.

Langkah lain yang lebih bijaksana untuk melawan propaganda radikalisme dan terorisme di media sosial dan internet, menurut Stanislaus, adalah dengan melakukan kontra narasi radikal, bukan dengan menutup saluran atau memblokir medianya. Ketika suatu media digunakan untuk menyebarkan hal negatif maka harus dilawan dengan menyebarkan hal positif.

Stanislaus mengatakan, pemerintah seharusnya lebih masif menggunakan strategi kontra narasi radikal dengan melibatkan generasi muda dan masyarakat luas untuk mencegah terorisme. Kewenangan dan kekuatan pemerintah bisa digunakan untuk mengajak masyarakat luas dalam perang melawan terorisme, bukan melawan dengan senjata tetapi dengan melawan pemikiran. Teknologi bisa digunakan untuk melawan pemikiran radikal, bukan malah dihentikan supaya tidak menjadi sarana penyebaran pemikiran radikal.

“Keputusn pemerintah untuk memblokir Telegram harus diapresiasi dalam konteks mengutamakan kepentingan negara dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Meskipun cara tersebut harus tetap dikritisi agar lebih baik dan tepat sasaran,” pungkasnya.

---

Komentar