Breaking News

OPINI Pergub Hari Berbahasa Inggris 19 Feb 2020 10:05

Article image
Ilustrasi English day. (Foto: Kedai Pena)
Pusat perhatian sebenarnya bukan Pergub bahasa Inggris, namun bagaimana upaya pemerintah mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris.

Oleh P Sil Ule SVD

 

PERGUB NTT No. 56 tahun 2018 tentang Hari Berbahasa Inggris tiap Rabu kurang bergema lagi. Sebenarnya tanggapan ini sudah saya tulis lama, beberapa waktu sesudah Pergub ini dibuat, namun tidak sempat dimuat di majalah. Walau sudah mubazir, kiranya ada bagian-bagian tertentu yang masih relevan.

Pertama, secara prinsipil, maksud di balik Pergub sebenarnya sangat positif; menjadikan masyarakat bisa berbahasa Inggris, karena diandaikan banyak keuntungan yang bisa diperoleh dengan penguasaan bahasa ini.

Kita ingat cerita Concfucius, seorang pembawa perubahan dalam sejarah dunia, yang mentransformasikan China dari periode khaos dan permusuhan ke dalam situasi yang damai dan stabil. Ia punya sekitar enam ratus prinsip reformasi. Namun, saat ditanya jika ia hanya boleh menerapkan satu saja prinsip reformasi, apa yang ia buat? Confucius menjawab: reformasi bahasa.

Bahasa dianggap mengubah paradigma orang tentang realitas. Bahasa membentuk dunia makna yang khas, yang membentuk interpretasi khas tentang realitas, sehingga bisa membentuk sikap praktis yang berbeda. Saya bayangkan jika mama-mama yang punya rumah makan di Labuan Bajo fasih bahasa Inggris, kemudian mencari resep masakan di seluruh dunia melalui internet, maka kita mungkin bisa nikmati masakan Prancis di warung “Pojok Rasa”, misalnya (nama warung ini aslinya pernah ada di Pasar Toda, Mataloko).

Namun, walau maksud dan ide tampak cemerlang, tapi caranya selalu rumit, seperti hidup sendiri. Kebaikan selalu bersifat konkret, sehingga diperlukan pertimbangkan terhadap situasi konkret. Visi amatir saya kiranya bisa jadi bahan pertimbangan.

Kita semua pernah belajar bahasa, dan kita tahu bahwa untuk menguasai bahasa, pertama, kita punya waktu belajar bahasa. Orang boleh sejenius Einstein, namun tanpa waktu belajar, orang tidak akan kuasai suatu bahasa. Kedua, punya motivasi dan kegembiraan belajar bahasa. Jika dipaksakan, atau tidak ada kemauan belajar, maka waktu belajar pun sia-sia. Ketiga, punya suasana yang khas untuk berlatih mempraktikkan bahasa. Bahasa butuh praktik, dan praktik butuh suasana khas yang tercipta. Keempat, punya ahli dan guru yang membimbing proses belajar.

Sekarang Pergub dibuat. Apa hubungan Pergub dengan kemampuan berbahasa Inggris? Pergub hanya mengatur tingkah laku formal, namun tidak pernah bisa menghasilkan kemampuan berbahasa. Kita bayangkan jika sebagian orang-orang di kantor Gubernur sendiri belum fasih berbahasa Inggris, dan mereka pun jadi orang-orang paling dekat dengan Gubernur yang melanggar Pergub. Pergub dan Gubernur yang mengeluarkan Pergub pun kehilangan wibawanya, karena dilanggar mulai dari kantor Gubernur.

Karena itu, pusat perhatian sebenarnya bukan Pergub bahasa Inggris, namun bagaimana upaya pemerintah mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris. Karena itu, pertimbangannya sama seperti belajar secara pribadi. Pertama, punya waktu. Pemerintah ingin bahwa orang bicara bahasa Inggris? Maka bisa buat kebijakan khusus yang mendukung hal ini. Misalnya, pemerintah bisa buat aturan khusus, di mana orang-orang kantoran punya waktu khusus belajar bahasa Inggris. Tentu saja proses belajarnya di waktu kerja, karena sesudah jam kantor orang mesti masak makanan babi atau cari sayur di pasar untuk makan malam. Jika ketemu turis di jalan, mungkin bahasa Inggris masih sempat diingat, itu pun belum tentu membuatnya bicara. Kalau tidak bertemu, yang diingat sesudah beli sayur pasti bumbu dapur atau tetek bengek lain di rumah.

Kedua, belajar bahasa Inggris butuh motivasi dan kegembiraan belajar. Jika Pergub dibuat, dan orang dipaksa mendadak untuk bicara bahasa Inggris, maka yang senang tentu mereka yang sudah bisa bicara. Mereka yang tidak pandai bicara namun dipaksa untuk bicara tentu pada akhirnya membenci bahasa Inggris, membenci gubernurnya, membenci saat-saat di kantornya tiap hari Rabu, dan bisa punya “mood” buruk setiap hari Rabu. Kalau yang bersangkutan adalah mama-mama, maka bisa lebih celaka lagi di hari Rabu. Bisa saja karena suasana hati yang buruk di kantor, garam bisa ditaruh terlalu banyak di masakan, yang menimbulkan perang badar dalam keluarga. Alih-alih jadi propinsi bahagia, NTT bisa berubah jadi propinsi muram (ini sekedar skenario terburuk).

Ketiga, belajar bahasa juga butuh suasana yang khas dan praktik terus menerus. Mungkin pemerintah ingin menetapkan Pergub dengan tujuan seperti ini, di mana ada suasana tercipta, dan orang juga bisa memaksa diri mempraktikkan bahasa Inggris. Baik juga dalam arti ini, namun sekurang-kurangnya poin pertama terpenuhi, yaitu ada waktu belajar terlebih dahulu.

Keempat, mesti ada ahli atau guru yang membimbing proses belajar. Ahli di masa ini bukan hanya orang-orang konkret, namun bisa juga alat bantu tekhnologi, pelajaran di internet, dan sebagainya. Namun, alangkah lebih baiknya, jika pemerintah menyiapkan dulu para guru atau instruktur bahasa yang baik, karena guru yang baik lebih berharga daripada alat tekhologi yang baik.

Kita tidak mesti menolak Pergub. Yang bisa bicara, tentu mesti mengikuti peraturan ini dengan setia. Namun, untuk berhasil secara keseluruhan, semua syarat lain mesti lebih dahulu terpenuhi, dan tugas pemerintah memenuhi syarat tersebut. Jika saat ini Pergub ini diterapkan secara ketat, maka betapa ribetnya hidup para orangtua dan bapa mama di kantor, yang mungkin sudah tidak berminat lagi belajar bahasa baru. Pada akhirnya semuanya bisa tidak berjalan; Pergub dibuat seakan untuk dilanggar, karena memang tidak realistis.

Kalau Pemerintah serius, maka pada hemat saya, yang perlu direformasi adalah sistem pendidikan di Sekolah-Sekolah. Diandaikan bahwa semua yang sudah bekerja di kantor sekarang adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal, dengan mata pelajaran wajib bahasa Inggris. Jika sekarang kemampuan berbahasa Inggris dinilai rendah, maka bagaimana sebenarnya proses belajar di sekolah-sekolah kita?

Jadi ketahui masalahnya dulu secara konkret, kemudian dibuat aturan untuk mengatasi masalah. Sebagai contoh, jika masalahnya ialah kurangnya waktu, maka perlu aturan pemerintah menambah waktu belajar bahasa Inggris. Jika masalahnya adalah kurangnya guru berkompeten, maka pemerintah perlu memikirkan cara meningkatkan mutu guru. Jika masalahnya adalah kurangnya buku atau alat bantu belajar bahasa, maka tambahkan buku dan alat peraga. Jika masalahnya adalah kurangnya laboratorium bahasa, bisa dibangun pusat-pusat studi bahasa di setiap kota. Di NTT, mungkin semua masalah itu ada, sambung menyambung jadi satu, dan kerja pemerintah akan sangat ruwet. Intinya, tidak ada jalan pintas untuk berhasil, sehingga usaha sepintas saja juga tidak akan membawa hasil.

Selain itu, yang tidak kalah penting juga ialah mendengarkan dulu ahli yang bicara. Di mana bisa ditemukan ahli-ahli tersebut? Di perguruan tinggi, atau dalam pengalaman saya di Seminari-Seminari. Saya sendiri bukan orang yang menonjol dalam bahasa Inggris semasa SMA Seminari Mataloko, namun dengan modal kemampuan berbahasa Inggris saat Seminari (dengan sedikit tambahan sesudahnya), saya merasa tidak alami kesulitan berkomunikasi. Karena itu, pemerintah perlu mendengarkan para guru Seminari, atau orang-orang lain yang berkompeten dalam hal ini; yang bukan hanya sekadar tahu bahasa Inggris, namun terutama tahu bagaimana memotivasi orang untuk belajar bahasa Inggris (seperti Rm. Nani Songkares, Pr di Mataloko, misalnya). Dari kisah sukses dan gagal mereka, pemerintah kemudian mengatur Pergub, yang akhirnya bisa jalan, bukan hanya untuk dilanggar.

Yang tidak kalah pentingnya, jika pemerintah dan para ahlinya merancang sistem pengajaran bahasa Inggris yang baik, maka saya mungkin bisa menawarkan visi dasar dalam belajar bahasa. Apakah pemerintah ingin orang belajar bahasa sekadar untuk berkomunikasi, atau belajar bahasa untuk perkembangan peradaban?

Pertama, pemerintah ingin orang bicara bahasa Inggris demi mengembangkan Pariwisata. Di sini bahasa dimaksudkan saja sebagai sarana komunikasi. Namun, jika bahasa hanya sekadar sarana komunikasi, maka kita tidak perlu banyak buang dana dan perhatian. Saudara saya di Bali fasih belajar bahasa Inggris, walau tidak pernah kursus atau belajar secara formal. Selain itu, betapa ruginya kita, karena bahasa tidak akan membawa kemajuan peradaban. Di Afrika, orang bisa fasih bahasa Prancis, namun orang buta terhadap segenap filsafat, kebijaksanaan dan pengetahuan yang telah menyebabkan kemajuan peradaban Prancis. Mereka bisa bicara, sebagai alat komunikasi, bukan alat transfer tekhnologi, atau menyerap kebijaksanaan dan etos kemajuan.

Karena itu, kedua, mungkin sistem yang dirancang adalah bagaimana bahasa jadi sarana pemahaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Kalau bahasa Inggris dimaksudkan sebagai sarana alih tekhnologi, alih pengetahuan, filsafat dan kebijaksanaan, maka pemerintah perlu perencanaan yang matang, dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah yang juga dipakai sebagai alih pengetahuan dan kebijaksanaan. Sebagai contoh, setelah belajar “grammar”, maka “reading” atau “listening”nya bisa diambil dari literatur terbaik atau kutipan tulisan sastra atau filosofis terbaik, atau soal-soal yang mendukung kemampuan tekhnis dan penguasaan IT terbaik, yang yang membentuk pemahaman yang sedikit mendalam tentang realitas, sekaligus membantu mengembangkan keterampilan praktis. Tentu ini sekadar contoh; para ahli lebih tahu soal tekhnis.

Saran saya sederhana. Pemerintah daerah semestinya membuat penelitian dulu tentang akar masalah rendahnya kemampuan bahasa Inggris. Masalahnya mungkin dimulai di sekolah-sekolah, dan langkah awalnya ialah mengevaluasi proses belajar mengajar bahasa Inggris. Karena ini sekadar prasangka amatir saya, maka yang lebih penting ialah para profesional yang berkompeten dilibatkan. Lalu, peraturan daerah dikeluarkan untuk memotong problem, dengan ruang lingkup yang bisa dipantau, dengan cara efektif.

Saat pertama digagaskan, Pergub ini ibarat therapi kejut, dan sekarang tampaknya gema Pergub ini menghilang. Yang kita tunggu sebenarnya gebrakan konkret, bukan saja sesuatu yang asal baru dan mengejutkan, namun terutama efektif dan tampak bisa dijalankan.

 

Penulis adalah rohaniwan, misionaris, dosen STFK Ledalero, Flores, NTT

 

Komentar