Breaking News

KAWASAN Perlu Sinkronisasi Biaya Penggunaan Tanah di Atas HPL Kawasan Industri 28 Feb 2017 17:26

Article image
Focus Group Discusssion dengan tema "Biaya Penggunaan Tanah di Atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kawasan Industri", di Jakarta, Senin (27/2/2017).
Sengketa banyak terjadi lantaran adanya ketidakcocokan harga antara pemegang HPL dengan pengguna tanah. Beberapa di antaranya bahkan berujung di pengadilan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Keseragaman pemahaman antara pengelola Kawasan Industri BUMN/BUMD selaku pemegang hak pengelola lahan (HPL), dengan pengguna tanah/perusahaan industri/pihak lain sangat penting.  Dengan demikian, penentuan besaran biaya penggunaan tanah di atas HPL kawasan industi lebih memiliki kepastian  hukum.

Direktur Utama PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Rahmadi Nugroho mengatakan, selama ini kawasan Industri yang dikelola BUMN/BUMD mendapat kewenangan sebagai pemegang HPL yang dapat merekomendasikan HGB (hak guna bangunan) untuk penggunaan tanah kepada pengguna tanah/perusahaan Industri/pihak lain.  Namun, selama ini penggunaan HGB itu banyak disalahartikan.

“Selama ini banyak yang salah arti perihal penggunaan HGB di kawasan industri sebagai hak milik,”  ucapnya di sela-sela FGD (Focus Group Discusssion)  dengan tema “Biaya Penggunaan Tanah di Atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kawasan Industri”, yang digelar PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP), di Jakarta, Senin (27/2/2017).

FGD ini menghadirkan narasumber  Guru Besar Hukum UI, Hikmahanto Juwana dan Direktur Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah I, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/  Badan Pertanahan Nasional Supardy Marbun.

Menurut Rahmadi,  selama ini tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan untuk menentukan besaran biaya penggunaan tanah di atas HPL kawasan industri.  “JIEP menyelenggarakan FGD ini bertujuan untuk memperjelas kepastian hukum tersebut,” ucapnya.

Kegiatan ini juga bertujuan  agar  terjadi keseragaman pemahaman antara kawasan industri BUMN/BUMD selaku pemegang HPL, dan pengguna tanah/perusahaan Industri/pihak lain.

Kawasan  industri  yang  memiliki  aset  (tanah)  beralas  HPL,  diperkuat  dengan Peraturan  Pemerintah No. 142 tahun 2015 Pasal 32,  yang berbunyi: Perusahaan Kawasan Industri yang berbentuk BUMN/BUMD dapat diberikan HPL  sesuai dengan peraturan perundang-undangan,  dan di atas HPL dapat diberikan  HGB untuk masing-masing kavling atau gabungan beberapa kavling.

Kawasan  Industri  BUMN/BUMD  diberikan  kewenangan  sebagai  pemegang  HPL  dapat memberikan rekomendasi  penerbitan  HGB  untuk  penggunaan tanah  kepada pengguna tanah/perusahaan industri/pihak lain.

Pada Pasal 49 PP No. 142/2015 disebutkan, penggunaan tanah  oleh  perusahaan  industri  dituangkan  dalam  bentuk  perjanjian  tertulis. Dalam perjanjian tersebut harus memuat: a. Jangka waktu penggunaan tanah; b. Besaran biaya penggunaan tanah; dan c. Penggunaan tanah oleh Perusahaan Industri sesuai dengan yang diperjanjikan.

“PT JIEP mengenakan total 10 persen dari nilai NJOP tanah tahun berjalan. Bagi penyewa tenant tahap pertama dengan batas waktu 30 tahun, perpanjangan 20 tahun dan setelah itu pembaharuan 30 tahun,” ujar Rahmadi.

Sejauh ini, katanya, sengketa banyak terjadi lantaran adanya ketidakcocokan harga antara pemegang HPL dengan pengguna tanah. Beberapa di antaranya bahkan berujung di pengadilan.

 

Tidak Semua HPL Bersih dari Sengketa

Guru Besar Hukum UI Hikmahanto Juwana mengatakan, banyak permasalahan timbul diakibatkan oleh tidak tercapainya kesepakatan dalam besaran biaya penggunaan tanah di atas HPL kawasan industri. 

Menurut dia, permasalahan yang muncul dapat membawa kepada tindak koruptif.  Pasalnya HPL merupakan aset tanah milik negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada badan-badan pemerintah yang ditunjuk.

“Masyarakat atau investor juga harus hati-hati bahwa tidak seluruh HPL dalam kondisi clean and clear atau jelas, dan bersih dari sengketa. Terlebih HPL-HPL yang diterbitkan zaman Presiden Soeharto ini masih belum jelas dan bersih perolehannya,”ujarnya.

Supardy Marbun, Direktur Sengketa Dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah I, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/  Badan Pertanahan Nasional mengakui, UU Pokok-Pokok Agraria tidak  secara tegas mengatur dan memuat definisi HPL. 

Definisi tersebut hanya tersirat dalam Penjelasan Umum yaitu, negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau  memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra).

Menurutnya, pemberian Hak Atas Tanah di Atas Bagian Tanah HPL, berdasarkan PPNo. 40/ 1996 menyatakan bahwa di atas tanah HPL dapat diberikan atau dibebankan dengan hak-hak atas tanah yaitu HGB dan Hak Pakai.  HGB atas tanah HPL dan HP atas tanah HPL diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL kepada calon pemegang HPL

“Setelah jangka waktu hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga itu berakhir maka tanah tersebut kembali lagi ke dalam penguasaan sepenuhnya pemegang Hak Pengelolaan dalam keadaan bebas dari hak-hak yang membebaninya,” ujarnya.

Namun permasalahan yang ditemukan, kata Supardi, perjanjian pemegang HPL dengan Pihak ketiga adalah besaran biaya yang dibebankan, perjanjian pembebanan Hak Tanggungan, ketidakpastian perpanjangan HGB atau Hak Pakai jika sudah berakhir.

“Karena itu, setiap perjanjian isi dan bentuk, Hak dan Kewajiban perlu persetujuan oleh Regulator. Kemudian perlu penetapan Pemerintah tentang standar biaya yang dibebankan kepada pihak ketiga serta perlunya jaminan perpanjangan HGB atau Hak Pakai di atas HPL,” ujarnya memberi solusi.

 

---

Komentar