Breaking News

OPINI PILKADA: Keberpihakan ASN, Cukong Politik dan Politik Uang 17 Nov 2020 21:30

Article image
Masyarakatlah yang harus menikmati hasil Pilkada, bukan gubernurnya, bukan bupatinya, bukan cukongnya, bukan pula partai pengusungnya.

Oleh: Marsellinus Ado Wawo*

 

Sejarah perjalanan bangsa adalah sejarah melahirkan para pemimpin.  Pemimpin yang akan membawa masyarakat menuju kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Dalam pentas nasional di jaman kemerdekaan, pemimpin besar bangsa seperti Bung Karno (Soekarno) yang melahirkan gagasan Sosio Demokrasi dan Pancasila, Bung Hatta yang melahirkan gagasan di bidang ekonomi melalui koperasi.

Masa Orde Baru (Orba), bangsa kita memiliki Pak Harto (Soeharto) sebagai Bapak Pembangunan, Habibie, sebagai Bapak Teknologi.

Era reformasi melahirkan Gus Dur (Abdurahman Wahid) sebagai Guru Bangsa, Megawati sebagai ikon perlawanan terhadap politik Orba yang membungkam demokrasi, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sekarang Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Yang paling fenomenal adalah Bung Karno dan Pak Harto; dua pemimpin yang sangat berbeda corak kepemimpinannya.

Bung Karno mengedepankan pembangunan berbasis sosio demokrasi dan pembangunan karakter, sedangkan Pak Harto berbasiskan stabilitas keamanan dan pembangunan fisik.

Era Bung Karno

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 dianggap sebagai Pemilu yang terbaik sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia. Juga dianggap sebagai Pemilu yang paling demokratis, jujur, adil dan rakyat bebas menentukan pilihannya.

Pemilu tahun 1955 diikuti oleh semua warga negara termasuk TNI dan Polri. Meskipun TNI dan Polri sibuk dengan pemberontakan  Kartosuwiryo di masa itu, namun pemilu dapat dilaksanakan dengan lancar.

Aparatur pemerintahan dan negara, baik itu Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun  militer dan polisi, tetap netral walau mereka juga ikut memilih, namun tidak diarahkan untuk mendukung kontestan tertentu.

Pemilu kala itu masih idealis, belum dikotori oleh cukong politik, politik uang dan politik dagang sapi atau yang dikenal politik transaksional.

Memang saat itu Bung Karno masih terlibat dengan pembangunan mental. Beliau terus-menerus menyuarakan kebangkitan kepercayaan diri, integritas, moralitas kepada semua anak bangsa yang sedang sakit karena eksploitasi penjajah dan kaum feodalis. Maka sangat wajar apabila Bung Karno sangat konsen dengan figur-figur yang akan ditunjuknya sebagai Gubernur.

Era Bung Karno tidak ada Pilkada. Namun patut kita akui bahwa para pemimpin daerah yang ditunjuk oleh Bung Karno memiliki integritas, moralitas dan dedikasi yang tidak diragukan. Sebut saja penunjukan Henk Ngantung sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia Kristen, kelahiran dari Manado. Pengangkatan Henk Ngantung menjadi Gubernur DKI Jakarta pun terbilang unik yaitu lewat surat kawat dari Mesir.

Cerita tentang Henk Ngantung adalah cerita lukisan yang dibuatnya dalam setiap rapat di Balai Kota. Belum ada kamera yang merekam peristiwa kedaerahaan di Jakarta kala itu.

Beberapa point penting dari Pemilu tahun 1955 yang ingin kita jadikan contoh untuk pilkada 2020 yakni tidak adanya politik uang, tidak adanya jual-beli suara, tidak adanya politik dagang sapi atau transasksional, tidak ada cukong politik. 

Maka, tidak heran jika masa Bung Karno banyak melahirkan pemimpin daerah yang bervisi besar untuk bangsa dan negara. Karena Bung Karno bukan saja seorang Pemimpin, tetapi juga seorang pemikir, filsuf yang banyak melahirkan gagasan tentang pembangunan manusia dan kemanusian.

Sikap Bung Karno menjadi model dan sumber inspirasi bagi pemimpin-pemimpin daerah bangsa ini waktu itu.

Era Presiden Soeharto

Era Presiden Soeharto, era di mana para aktivis dibungkam untuk berbicara, era matinya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, tidak ada demokrasi, walau Beliau keseringan dan sesuka-sukanya mempromosikan demokrasi berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekwen. 

Selain itu, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berkisar di lingkungan kekuasaan beliau, tumbuh subur. Ada kesan pada waktu itu bahwa korupsi hanya berkembang di sekitar beliau dan tidak berkembang keluar dari lingkungannya, apalagi ke daerah otonom.

Kesan ini mengandung kebenarannya, oleh karena korupsi tidak pernah berkembang di wilayah-wilayah daerah kecuali hanya seorang pejabat Gubernur yang masuk penjara karena urusan dengan bulog.

Namun, kita juga harus objektif terhadap kebijakan beliau soal stabilitas keamanan untuk kepentingan pembangunan.

Pembangunan fisik di era Pak Harto berlangsung cukup baik. Kita kenal jalan tol, kita tahu swasembada pangan, tindakan tegas terhadap radikalisme dan terorisme, tindakan tegas terhadap kaum separatis, tindakan tegas terhadap elemen tertentu yang ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945.

Sama halnya di era Bung Karno, demikian juga halnya di era Orba belum ada pilkada langsung. Gubernur diputuskan oleh Pak Harto setelah mendapatkan usulan dari DPRD provinsi.

Namun kita harus jujur bahwa di era Orba lahir pemimpin daerah yang tidak diragukan integritas dan moralitasnya. Seperti mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin; mantan Gubernur Jawa Timur, Mochamad Nur; mantan Gubernur Jawa Barat, Solichin GP; mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Achmad Lamo; dan dua mantan Gubernur NTT, El Tari dan Ben Mboy.

Ada pemeo dari Jawa Timur. Ketika kita bertanya kepada orang Surabaya, siapa Gubernur Jawa Timur sekarang, selalu dijawab Mochamad Nur, yang sekarang adalah wakilnya. Padahal, beliau sudah almarhum. Selalu dikenang dan menjadi legend, karena kejujuran, integritas, moralitas, dan tidak korup.

Selain itu, era Orba juga telah melahirkan para bupati yang juga memiliki integritas dan moralitas yang tidak perlu diragukan kualitasnya. Sebut saja beberapa Bupati di Flores, seperti mantan Bupati Manggarai, Bapak Frans Sales Lega; mantan Bupati Ngada, Bapak Jan Jos Botha; mantan Bupati Ende, Bapak Herman Jos Gadi Jou; mantan Bupati Sikka, Bapak Lorens Say dan mantan Bupati Flores Timur, AB Langoday. Bahkan hingga sekarang mereka disebut 'bupati tua', pada hal sudah almarhum. Kita semua pasti merindukan kehadiran pemimpin baru seperti mereka.

Namun ada catatan kritis buat era Orba yaitu keterlibatan Jalur "A" yaitu ABRI, jalur "B" yaitu Birokrasi dan jalur "C" untuk organisasi massa, untuk mendukung dan membesarkan salah satu partai dengan tujuan akhir yakni mempertahankan kekuasaan. Semuanya diwajibkan untuk mendukung partai tersebut. Maka tidak heran jika Pak harto berkuasa selama 32 tahun dengan partai tersebut sebagai kendaraan politiknya.

Kalangan pengamat dari Barat mengatakan bahwa pemilu di Indonesia era Pak Harto adalah sebuah anomali. Pemilu belum dilaksanakan namun pemenangnya sudah diketahui. Bahkan sudah mengetahui siapa saja calon yang akan duduk di Senayan.

Cacat terbesar dalam era Orba adalah pengerahan aparatur militer dan sipil negara untuk mendukung salah satu kontestan. Ini yang tidak boleh terjadi lagi dalam pilkada sekarang, apabila calon petahana ikut bertarung.

Era Reformasi

Era reformasi adalah sebuah era perubahan, era harapan bagi kita semua akan adanya perubahaan secara hakiki, substansial yang menyangkut seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun perubahaan hanya sebatas menumbangkan penguasa yaitu menurunkan Pak Harto dari kursi Presiden, sama sekali belum menguburkan persoalan pelik yang sedang menggerogoti bangsa dan negara hingga kini yaitu KKN.

Para pendulangnya juga mendadak bertransformasi menjadi reformator, tapi mental korupnya masih melekat.

Ibu Megawati Soekarnoputri dalam akhir masa jabatannya sebagai Presiden ke-4 pada tahun 2004, sempat meletakkan fondasi pelaksanaan Pilkada langsung melalui sebuah UU yang ditetapkannya.

Sejak tahun 2005 sampai sekarang, Pilkada langsung dilaksanakan meski dengan banyak catatan.

Pertama, pilkada langsung merupakan kemenangan demokrasi yang selama itu diperjuangkan, khususnya oleh para aktivis demokrasi. Sebuah kemenangan rakyat yang secara legalis formalis terpenuhi. Ini adalah catatan paling penting.

Kedua, pilkada langsung berhasil memilih pemimpin daerah yang memiliki legitimasi dan wewenang penuh untuk mengatur daerahnya.

Ketiga, pilkada langsung juga merupakan ajang kompetisi dan kontestasi parpol dan calon yang diusungnya.

Keempat, pilkada langsung sudah mengenal penyampaian visi dan misi dalam sebuah debat terbuka, meskipun di sana-sini diperlukan adanya perbaikan.

Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada langsung mempunyai banyak catatan yang buruk.

Pertama, ongkos politik sangat tinggi. Pasalnya, untuk memperoleh dukungan partai politik pengusung, sang calon harus merogoh kantong cukup dalam.

Kedua, politik uang yang membelenggu kebebasan rakyat pemilih. Rakyat diajak untuk belajar suap dan korupsi, menjual martabatnya dengan lembaran Rp. 50.000 atau Rp. 100.000. Wajah demokrasi yang mengajarkan rakyat untuk melawan hakikat kemerdekaan berpendapat dan menentukan pilihannya.

Ketiga, politik 'dagang sapi' atau transasksional antara koalisi partai pengusung. Dari sini akan lahir korupsi secara berjemaah.

Keempat, hadirnya para cukong politik. Menkopolhukam, Prof Mahfud MD mengatakan bahwa keterlibatan cukong dalam pilkada berpotensi melakukan korupsi kebijakan. Sebab, korupsi kebijakan lebih berbahaya dari pada korupsi uang APBD. Proyek bisa diatur oleh cukong sebagai penyandang dana pilkada sekaligus berperan sebagai pengatur kebijakan.

Kelima, keberpihakan ASN pada calon petahana. Wakil presiden, Kyai Ma'ruf Amin sudah mewanti-wanti agar ANS netral dalam pilkada tahun 2020 ini.

Saya tidak tahu di balik pernyataan beliau ini. Apakah ada sebab yang lain yang membuat beliau geram? Pasalnya ada anggota keluarganya yang ikut pilkada di Tangerang Selatan.

Kita tentu mengharapkan agar keprihatinan beliau itu adalah keprihatinan substantif dan bernilai untuk membangun Pemilu yang bermartabat, bukan karena sebab yang lain.

Catatan akhir

Apabila ke depan bangsa ini belum mampu melepaskan diri dari kelima catatan buruk tersebut dan enggan melakukan perbaikan-perbaikan secara mental dan ideologi, serta perubahaan paradigma dari parpol dan para calon pemimpin, maka sudah dapat dipastikan bahwa bangsa ini akan hidup dalam sebuah dilema, yang dinamakan DILEMA KEKAL.

Beberapa catatan ini semoga menjadi masukan bagi kita semua, agar Pilkada yang diharapkan secara formalis legalis berbanding lurus dengan asas kemanfaatan untuk pembangunan masyarakat yang seutuhnya, niscaya dapat terwujud.

Masyarakatlah yang harus menikmati hasil Pilkada, bukan Gubernurnya, bukan Bupatinya, bukan cukongnya, bukan pula partai pengusungnya.

Jika Pilkada tidak pernah memberikan manfaat berarti bagi masyarakat, lalu pertanyaannya; PILKADA UNTUK SIAPA?

Semoga calon yang terpilih (kalau sudah menang), jangan hanya fokus dengan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, bandara, dermaga, namun bangunlah bidang-bidang yang telah lama ditekuni oleh masyarakat; yaitu pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, UKM dan UMKM, Koperasi dan sebagainya.

"Jangan tersesat di jalan yang benar, tetapi tetaplah benar walau berada di jalan yang sesat!" SELAMAT PILKADA.

 

* Penulis adalah Praktisi dan Pengamat Hukum.

Komentar