Breaking News

TAJUK Politik yang Membangun Jembatan 17 Dec 2018 04:21

Article image
Politik harus membangun jembatan persahabatan. (Foto: Ist)
Politik harus membangun jembatan, bukan sebaliknya membangun tembok pemisah.

APAKAH politik seharusnya membutuhkan musuh?

Pertanyaan di atas menjadi sangat menarik jika dihubungkan dengan konteks Pilpres dan Pileg 2019. Apakah politik harus membangun pilar-pilar pembatas atas nama permusuhan?

Pertanyaan ini akan menuai dua jawaban yang berbeda dari dua pemikiran filsafat politik dari zaman yang berbeda. Aristoteles, pemikir filsafat zaman Yunani kuno menegaskan: politik bagian inheren-substansif dari diri manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu politik seharusnya mendukung kesosialan manusia. 

Dalam pandangan Aristoteles, politik mempersatukan manusia, bukan memisahkan. Keterlibatan dalam politik adalah keterlibatan dalam upaya untuk membangun ruang perjumpaan sosial yang intim dengan sesamanya yang lain. Dalam bahasa pemikir Thomas Hobbes, politik tidak menjadi tempat bagi serigala yang buas. 

Tidak heran jika politik mendapatkan tempat dalam masyarakat. Politik dibangun dari kata "polis", yang artinya kota. Artinya politik menjadi ruang perjumpaan di kota, ruang publik untuk membicarakan hal-hal penting terkait hidup bersama. 

Apakah politik seharusnya membutuhkan musuh? Pertanyaan ini akan menuai jawaban lain dari para pemikir atas nama demokrasi disensus, seperti Alan Badiou, Chantal Mouffe, Jacques Ranciere. Sebagian dari mereka sepakat bahwa politik seharusnya membutuhkan antagonisme radikal. 

Artinya, politik mengandaikan adanya musuh dalam demokrasi, sehingga dari politik muncul dialektika baru. Politik bukan ajang kompromi semu, yang memapankan konstelasi atau kekuasaan yang ada. Tanpa ada distingsi kawan-lawan, politik kehilangan marwah dan militansinya. Membangun perlawanan radikal sangat diperlukan politik. 

Terhadap dua pemikiran filsafat di atas, maka terdapat dua catatan: pertama, kritik terhadap politik Aristoteles. Bahwa benar politik membangun ruang sosial, tetapi konsistensi politik demikian akan menyembunyikan segala sesuatu atas nama kompromi. Politik Aristotelian membuka jalan pada disfungsi demokrasi atas nama kompromi atau negosiasi.

Kedua, kritik terhadap demokrasi disensus. Perlawanan radikal demokrasi disensus menuai kritik. Ketika perlawanan terus-menerus dilakukan, maka demokrasi disensus menutup jalan kepada pencapaian konsensus atau kesepakatan bersama. Karena disensus menolak apapun kesepakatan.

Antagonisme yang dibangun secara terus-menerus cenderung menyebabkan tidak produktifnya politik. Politik tidak menghasilkan apapun yang konstruktif bagi masyarakat. Yang lebih berbahaya jika "musuh" yang terus dipelihara memperbesar ruang emosionalitas, yang akhirnya berujung pada situasi chaos atau kehancuran ruang sosial. 

Kalau dibangun dalam skematik dialektika Hegelian, tesis-antitesis-sintesis, maka perdebatan Aristotelian dan pemikir demokrasi disensus dapat menuju konsepsi politik persahabatan yang baru. Artinya politik dapat menjadi sekaligus tempat yang memungkinkan ruang sosial dan ruang kritik. 

Bagaimana caranya? Politik seharusnya menawarkan persahabatan kepada semua yang terlibat, sekaligus membuka ruang diskursus yang kritis. Persahabatan yang dimaksud adalah politik yang memberikan penghormatan kepada martabat manusia, sehingga mencegah adanya konstruksi negatif orang lain sebagai musuh (yang harus dihancurkan). 

Politik persahabatan adalah politik yang memberikan ruang pada perbedaan prinsip, program, atau kepentingan. Namun, pada saat yang sama terdapat konsensus atau kesepakatan bersama, bahwa perbedaan tersebut tidak dapat memisahkan mereka, karena semua pelaku politik adalah bersaudara karena sama-sama insan bermartabat. Kita berbeda pilihan politik, tetapi perbedaan tersebut berujung pada muara yang sama: kesejahteraan manusia seutuhnya. 

Politik harus membangun jembatan, bukan tembok pemisah. Karena itu mari kita junjung politik persahabatan demi tegaknya etika politik. 

Salam Redaksi IndonesiaSatu.co

Komentar