Breaking News

HUKUM Praktisi: Terbuka Kemungkinan JPU Hentikan Penuntutan Kasus Ahok 01 Dec 2016 14:55

Article image
Gedung Kejaksaan Agung RI. (Foto: Ist.)
Di dalam KUHAP, meskipun sebuah berkas hasil penyidikan polisi dinyatakan sudah lengkap oleh JPU, akan tetapi tidak serta merta seorang tersangka akan dijadikan terdakwa.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Berkas kasus  penistaan agama yang disangkakan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah dinyatakan P21. Ahok bahkan sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk diproses lebih lanjut.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan, proses penuntutan merupakan konsekuensi logis dari keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU), bahwa berkas hasil penyidikan Bareskrim Polri telah lengkap atau telah memenuhi syarat formil penuntutan.

Namun demikian, di balik kewenangan menuntut menurut KUHAP, JPU  juga diberi wewenang untuk menghentikan sebuah penuntutan perkara pada tahap penuntutan atau tidak dilimpahkan ke persidangan.

Hal tersebut, kata Petrus, terjadi manakala berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap itu dinilai tidak terdapat cukup bukti. Atau juga jika peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Jika itu terjadi, maka Penuntut Umum bisa menuangkan keputusannya itu dalam sebuah surat ketetapan yaitu Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.

“Di dalam KUHAP, meskipun sebuah berkas hasil penyidikan polisi dinyatakan sudah lengkap oleh JPU, akan tetapi tidak serta merta seorang tersangka akan dijadikan terdakwa dan berkas perkara berikut terdakwanya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan, oleh karena pasal 140 ayat (2) KUHAP masih memberikan wewenang kepada JPU untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum,” ujarnya di Jakarta, Kamis (1/12/2016).

Pada tahap inilah, kata Petrus, profesionalisme seorang JPU diuji, apakah keputusan menghentikan penuntutan sebuah perkara itu didasarkan kepada pertimbangan yuridis atau pertimbangan politis akibat tekanan massa.

Petrus yang juga advokat Peradi ini mengatakan, tujuan  pembentuk UU dalam rumusan pasal 140 KUHAP adalah untuk memberikan jaminan bagi hak-hak tersangka/terdakwa agar ia jangan sampai menjadi korban kriminalisasi atau politisasi hukum ketika proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan atau Berita Acara Hasil Pemeriksaan/BAP Penyidikan yang dibuat oleh penyidik didasarkan pada tekanan massa, intervensi politik atau karena KKN sehingga obyektivitas, independensi dan profesionalisme penyidik menjadi hilang ketika menyusun BAP perkara yang ditangani.

“Mengubah minset aparat penegak hukum untuk berperilaku obyektif, independen dan profesional dalam menjakankan tugas pokoknya tidaklah mudah oleh karena mengubah sebuah karakter yang sudah terbentuk memakan waktu yang sama dengan lamanya waktu pembentukan karakter KKN,” ujarnya.

Petrus berharap, independensi JPU benar-benar dijamin, terutama dalam menentukan sikap secara bebas, mandiri dan obyektif apakah berkas perkara yang sudah dinyatakan P21 itu telah memenuhi syarat-syarat penuntutan.

Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, kata Petrus, harus dijadikan tolak ukur apakah pemerintahan Jokowi mampu mewujudkan reformasi penegakan hukum, terutama menjamin terwujudnya independensi dan profesionalisme dalam penegakan hukum.

“Mengapa? Karena praktek peradilan kita yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, membiarkan persoalan independensi dan profesiaonalisme penyidik, penuntut umum bahkan hakim tergadaikan untuk kepentingan lain sehingga sulit rasanya mewujudkan keadilan dari sebuah proses hukum yang benar-benar fair,” ujarnya.

 

---

Komentar