RESENSI Puisi Sebagai Cara Memandang Diri - Catatan Atas Buku Kumpulan Puisi Karya Fritz Meko, SVD 07 Oct 2020 14:32

Puisi-puisi yang ditulis oleh Fritz, seorang imam Katolik dalam tarekat Serikat Sabda Allah (SVD) memperlihatkan hal kedua (memandang) di atas dengan jelas.
Oleh Alfred B. Jogo Ena
Dari Mata Turun ke Kata
Menulis sebuah puisi selalu berkaitan dengan panca indera. Apa yang ditangkap dalam pandangan mata, apa yang terlihat mata dan apa yang didengarkan. Melihat dan memandang berkaitan dengan indera penglihatan, mata. Sedangkan mendengarkan berkaitan dengan indra pendengaran, telinga. Mata dan telinga memainkan peran penting dalam sebuah proses penulisan puisi.
Mata menangkap sinyal dari sebuah benda/objek lalu diteruskan ke otak. Dari hasil kerja otak itu muncullah nama-nama berupa kata, itulah yang kemudian diolah dalam rasa dan kata setelah melewati proses “kontemplasi” dalam pilihan diksi dan makna yang hendak disampaikan.
Dalam bahasa Prancis kata melihat dan memandang atau memperhatikan dipisahkan secara jelas dalam kata “voir” dan “regarder.” Memang sepintas kata voir dan regarder ini sama artinya, karena sama-sama menggunakan aktivitas mata. Namun ada nuansa yang sangat berbeda dari kedua kata itu. Kita bisa melihat banyak hal dalam sekali sapuan mata, tetapi kita tidak bisa memperhatikan sesuatu secara jelas dan fokus. Memperhatikan butuh “berhenti sejenak” pada suatu objek. Sedangkan melihat dapat terjadi sambil lalu saja. Atau dalam bahasa Inggris kita kenal kata “see” (melihat) dan “look at” (memandang, memperhatikan). Kata “see me” (lihatlah saya) akan terasa “ngambang” jika dibandingkan dengan “look at me” (pandanglah saya). Melihat dan memandang meski bermakna sama, memiliki nuansa yang berbeda. Regarde moi, look at me (pandanglah saya) terasa lebih familiar dan intim/personal, sedangkan see dan voir terkesan agak asing dan tidak personal.
Puisi-puisi yang ditulis oleh Fritz Meko, SVD seorang imam katolik dalam tarekat Serikat Sabda Allah (SVD) memperlihatkan hal kedua (memandang) di atas dengan jelas. Dengan dan melalui aktivitas mata, puisi-puisi ini dalam Antologi Kasut Lusuh ini ditulis. Sebagian besar puisinya bertolak dari aktivitas regarder atau look at, memandang dan memperhatikan sesuatu secara mendatail entah berupa pengalaman perjumpaan atau kenangan dengan seseorang atau sesuatu.
Bertolak dari pengalaman perutusannya sebagai imam yang siap sedia ditugaskan di manapun sesuai “perintah” atasan, Fritz merumuskan setiap pengalaman memandang atau memperhatikan detail kehidupan dalam diksi-diksi yang sederhana tapi syarat makna. Coba perhatikan puisinya yang berjudul “Beranjaknya Senja” (hal. 67-68).
“Kupandang seekor bulbul terbang berlalu,
mengiringi senja beranjak membawa
setumpuk kisah
Kucoba urai rasaku yang biru,
bertanya tentang arti peristiwa ini
Tersimpul pesan dari langit
tentang sederet kisah sarat makna.
Fritz memulainya dengan aktivitas memandang sebuah subjek (burung) yang sedang terbang pada hari yang mulai gelap (senja) sambal membawa setumpuk kisah. Metafora semacam ini menggambarkan yang dipandang adalah burung, tetapi yang digambarkan adalah sebuah kisah kehidupan yang akan berakhir entah hari itu, maupun di hari-hari selanjutnya. Senja menjadi awal bagi orang untuk mulai “merumuskan” dirinya di hadapan kehidupan. Hal itu digambarkan dalam terusan puisi pada baris di bawahnya:
Ketika senja terkulum mega kelam
Malam membual dengan tawaran sederet mimpi
Semua kenangan mampir di beranda hatiku
menyapa lirih dan merayu manja
Aku tertegun dan merenung tentang diriku
Terlilit dalam angan malam
dengan buaian semilir sejuk di tubuhku.
Aktivitas mata yang dirangkai dalam penghabisan senja selain berkaitan dengan mata juga berkaitan dengan kerja indera lainnya: indera perasa, “dengan buaian semilir sejuk di tubuhku.” Dari dua contoh kutipan puisi dari satu judul di atas, kita dapat melihat bahwa aktivitas memandang (mata) menggerakkan penulis untuk mengolah rasa dan budi menjadi sebuah bait puisi yang penuh makna.
Dari Kata Ke Makna: Subjektif dan Sosial
Proses penulisan puisi ibarat kita berjalan ke dalam diri sendiri untuk meneropong berbagai kejadian di masa lalu kemudian dijadikan kenangan di hari ini dan di masa depan. Menulis puisi itu seperti proses bercermin diri. Puisi-puisi yang ditulis oleh Fritz sebagian nuansanya merupakan proses perjalanan ke dalam diri itu. Ketika saya berkata, “saya melihat diri saya di cermin” akan berbeda nuansa dan maknanya dengan “saya memandang, memperhatikan diri saya di cermin.” Menurut saya, melihat dapat terjadi secara sekilas atau global terhadap diri, sedangkan memperhatikan, saya berusaha sedetail mungkin menelusuri diri saya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memperhatikan diri berarti kita memperlakukan bagian-bagian tubuh kita secara personal dan intim. Memperhatikan atau memandang diri, memberi kesempatan pada kita untuk berlaku intim dan pribadi dengan diri sendiri.
Coba kita perhatikan dua bait puisi “Apa Yang Anda Cari” yang Fritz tulis pada halaman 73 berikut ini:
Jalanmu begitu panjang
Apa yang Anda kejar di sini?
Perspektifmu begitu luas
Apa yang Anda ciptakan di sini?
Bicaramu sangat fasih
Apa yang Anda laksanakan di sini?
Ketekunanmu menakjubkan
Apa yang Anda cari di sini?
Puisi yang ditulis untuk Mgr Carlos Filipe Ximenes Bello, SDB yang pernah menjadi Uskup Agung Dili bukan semata-mata tentang sosok uskup yang kini tidak lagi menjadi uskup dan kembali ke tarekatnya sebagai seorang imam. Tetapi tentang diri penulis yang mencoba bercermin pada sosok mantan Uskup Agung Dili yang sangat flamboyan yang tak pernah takut untuk terus menyuarakan kebenaran. Demikian juga esensi sebuah puisi, menuliskan kebenaran baik faktual maupun simbolis tentang seseorang atau sesuatu.
Puisi sekalipun penulisannya bersifat subjektif selalu mengandung pesan sosial yang kuat. Karena di dalam puisi itu tergambar situasi sosial yang ikut membingkai suatu peristiwa atau pengalaman. Hal itu tergambar dalam puisi “Puisi Anak Jalanan” (hal. 85) bait ketiga:
Papan tulis kami adalah bentangan jalan yang luas
Pena kami adalah tongkat pengais rejeki
Buku kami adalah wajah-wajah para pejalan
yang ramah maupun yang galak
Kelas kami adalah langit biru beratap gemawan.
Setiap perjumpaan yang dialami penulis menjadi konteks dari setiap teks yang dijabarkannya dalam berbagai puisi dalam buku ini. Dan sesuai latar belakangnya sebagai imam katolik dari tarekat Sabda Allah, dia mencoba untuk menjelmakan setiap perjumpaan (proses saling memandang diri) dan pengalaman dalam setiap untaian kata. Penulis mencoba mewujudkan dirinya sebagai penerima “sabda”, pesan kehidupan menjadi sebuah pesan yang nyata dalam kata-kata (teks) sesuai dengan konteks sosial yang dialaminya. Hal itu semakin dipertegas dalam setiap kolofon di akhir setiap puisinya. Setiap tempat selain menjadi locus penulisan juga menjadi konteks yang membingkai isi dan pesan puisi itu sendiri.
Dalam puisi “Ruang Perjumpaan” yang terjadi di Malang pada 4 April 2018, penulis menegaskan pentingnya komunitas sebagai sebuah ruang kebersamaan. Sebagai seorang imam yang selalu hidup dalam komunitas dan persaudaraan lintas-suku, lintas-bahasa bahkan lintas-bangsa, Fritz menegaskan betapa mudahnya mencerna sebuah pesan kebersamaan dalam puisi. Perhatikan petikan puisi berikut:
“Kapan dating lagi?
Sepertinya mereka tidak bosan
dengan kehadiranku setumpuk hari di sini
Yakinlah suatu ketika sang waktu
Menjadi jembatan bagi jarak kita.
Tunggu saja
Gantungkan harapanmu
Pada deretan kenangan yang terukir
Dalam ruang perjumpaan kita.
Bila sampai waktunya
Langit akan memeluk kita
Dalam hangatnya persaudaraan”
Penulis yang sehari-harinya hidup dalam komunitas persaudaraan mampu melukiskan perjumpaan dan perpisahan sebagai sebuah kerinduan untuk senantiasa ada bersama. Tak peduli seperti apa diri kita, kebersamaan tetaplah menjadi wadah yang menampung setiap pribadi dengan segala dinamikanya. Bait “tunggu saja/gantungkan harapanmu/pada deretan kenangan yang terukir/dalam ruangan perjumpaan kita//hendak menunjukkan bahwa kehadiran (subjektivitas diri) bisa menjadi jembatan perekat kebersamaan (bangunan sosial) dalam aneka dinamika kemasyarakatan.
Sampai pada titik ini, kita menemukan urgensi sebuah puisi sebagai sebuah pendekatan sosial. Melalui sebuah puisi kita bisa membaca aneka pesan sosial yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Puisi menjadi penerjemah situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan. Hal itu dapat tergambarkan dengan gamblang dalam puisi “Enggan Mendung” (hal 95-96) berikut:
“Embun sejuk enggan luruh
Di kerontangnya padang desa ini
Kami duduk menatap langit biru
Menggantung Mandau dan sumpit para leluhur
Sekelompok gadis desa bercanda
Berceritera tentang hujan dan kemarau
Mereka merangkai harapan pada dolmen sesajen
Menanti sejuk dari lantunan doa-doa
depan mesbah
Para leluhur menikmati melodi rindu
Pada ayunan pacul di rahim bumi
Peluh membanjir di sekujur tubuh legam
Pada desah nafas mereka ada sepotong rejeki.
Ketika senja menjelang
Seuntai harapan membenam lagi
Dan kepulan asap senja menjadi dupa
bagi kemurahan dia yang disembah
Semoga sejahtera dan damai bersemi di sini
Di padang yang selalu rindu menerima
tetesan embun kamurahan-nya.”
Kelima bait puisi di atas memperlihatkan bahwa sebuah karya sastra selain imajinasi penulis juga terutama karena konstruksi sosial baik yang melatabelakangi penulis maupun yang sedang penulis hadapi. Ada sebuah inter-relasi antara penulis dan situasi sosial di sekitarnya. Sebuah puisi yang hidup adalah puisi yang dibangun dari sebuah kenyataan masyarakat, yang menyuarakan kerinduan dan harapan masyarakat. Dan seorang penulis yang memandang (lebih dari sekedar melihat) kenyataan hidup dan menyuarakannya dengan diksi-diksi yang tidak imperatif tetapi evokatif, bisa menolong pembaca untuk membaca kenyataan sosial dengan kaca mata sastra yang kadang lebih murni dan tepat sasar.
Spesifikasi dan Keunggulan Buku
Setelah dua catatan dari proses kreasi yang menonjol dari buku Kumpulan Puisi Kasut Lusuh, sekarang penulis mencoba untuk menukik lebih kritis tentang buku ini secara umum.
Spesifikasi buku:
Judul: Kasut Lusuh Kumpulan Puisi
Penulis: Fritz Meko, SVD
Ukuran: 14 x 20 cm
Tebal: 156 halaman
ISBN: 978-602-4912-04-8
Penerbit: Pohon Cahaya (Yogyakarta)
Buku yang berisi 72 puisi diawali dengan Pengantar oleh Penulis diikuti testimoni dari beberapa pembaca. Lalu disusul dengan Prolog oleh Yohanes Sehandi (Pengamat Sastra NTT, Universitas Flores) sepanjang 27 halaman dan diakhiri dengan Epilog oleh Bill Halan (dosen di Universitas Widya Mandala Surabaya) sepanjang 8 halaman.
Kasut Lusuh dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama: Menakar Hidup Dalam Peristiwa, terdiri dari 37 puisi. Pada bagian ini, sebagaimana kata Sehandi dalam Prolog (hal.24) lebih merupakan bentuk monolog si penyair (juga pembaca) dengan sesama dan lingkungan. Sedangkan bagian kedua: Melihat Hidup dari Langit berisi 35 puisi. Pada bagian ini, masih menurut Sehandi (hal.24) berupa monolog antara penyair (juga pembaca) dengan Sang Khalik atau Tuhannya di atas langit.
Baik bagian pertama maupun bagian kedua sama-sama menampilkan refleksi eksistensial si penyair (dan pembaca) di hadapan semesta baik dengan sesama, dengan alam ciptaan maupun dengan Sang Pencipta. Di sinilah keunggulan buku ini, karena penyairnya seorang imam yang sudah terbiasa untuk merefleksikan secara mendalam kejadian atau pengalaman apapun yang dialaminya dalam perjumpaan maupun pergulatannya di ruang pribadi. Sebagai seorang imam yang dibekali dengan filsafat dan teologi, penyair mencoba menerjemahkan berbagai tema dengan bahasa (tepatnya diksi) puisi yang mudah dimengerti. Pembaca dibantu untuk mencerna setiap pergulatan hidupnya dengan contoh aneka puisi yang disajikan.
Alfred B. Jogo Ena adalah penulis dua buku pentigraf Bung Karno, tinggal di Yogyakarta.
Komentar