Breaking News

OPINI Quo Vadis PMKRI? 04 Feb 2021 11:18

Article image
Kornel Wuli (Foto: ist)
Sebagai organisasi pembinaaan dan perjuangan, PMKRI melatih para kader secara kritis melalui pendidikan formal berjenjang.

Oleh Kornel Wuli

 

Pada tanggal 21-24 Januari lalu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Cabang Maumere, Santo Thomas Morus menggelar Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) ke XIX, yang bertempat di Aula Ladang Kasih Watu Gong, Kabupaten Sikka. Kegiatan tersebut mengendus tema: "Reaktualisasi Nilai PMKRI dalam Wujud Peran dan Gerak Kader di Tengah Pandemi Covid-19"

Rapat umum tersebut tidak saja menjadi momentum tahunan yang dipenuhi dengan pelbagai dinamika pembahasan program kerja, hingga mencapai puncaknya pada pemilihan mandataris RUAC. Akan tetapi, kegiatan tersebut sejujurnya juga hendak menyoal kembali kualitas kader PMKRI di tengah kepungan badai pandemi Covid-19.

Sebagai kader PMKRI, yang  menjadikan Yesus sebagai teladan gerakan, tentu tidaklah gampang memberikan kontribusi dan distribusi positif dalam menyiapkan kualitas kader yang berpihak pada Gereja dan Tanah Air.

Di tengah badai pandemi Covid-19 sebagaimana dialami masyarakat secara global, pelbagai pertanyaan tentu muncul sehubungan dengan eksistensi PMKRI di tanah Sikka: Quo vadis PMKRI? Bagaimana peran kader PMKRI dalam mewujudkan asas keadilan dan persaudaraan sebagai bagian dari visi dan misi geraka

Catatan sederhana ini berikhtiar memberikan penyuluhan bagi kader PMKRI terkait eksistensi dan kontribusinya bagi Gereja dan Tanah Air di tengah gempuran modernitas yang mendistorsi seluruh elemen kehidupan masyarakat. Di samping itu, tulisan ini merupakan sebuah catatan reflektif dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun PMKRI Cabang Maumere Santo Thomas Morus yang ke-27.

Quo Vadis: Antara Eksiatensi dan Arah PMKRI

Terminologi "Quo Vadis" seringkali menjadi sebuah ungkapan klasik yang lumrah atau sering mewarnai ruang intelektual masyarakat Indonesia secara umum. 

"Quo Vadis" merupakan sebuah ungkapan Latin yang berarti; ke mana arah atau letak suatu hal. Kalimat ini diadopsi dari bagian apokrif kisah Petrus, yang telah diceritakan lari dari pengejaran tentara Romawi; "Quo vadis Domine" (Ke mana engkau pergi tuan?)

Pertanyaan Petrus kepada seorang anak kecil sebagai pewahyuan diri Yesus di atas, kemudian diadopsi, lalu dibenturkan dalam pelbagai fenomena yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini nampak dalam beragam tulisan atau opini berupa; Quo Vadis Demokrasi? Quo Vadis Kaum Muda? Quo Vadis Indonesia? dan lain sebagainya.

Terkait eksistensi PMKRI Maumere yang usianya telah menginjak tahun yang ke-27, tentu juga menyembul sebuah pertanyaaan mendasar; Quo Vadis PMKRI Maumere?

Hingga pada aras ini, tentu saja upaya pembentukan kualitas kader PMKRI Maumere telah menjadi sebuah imperatif moral perhimpunan dan para penjasa dalam mendidik serta membina para kader muda untuk terus berjalan sealur dengan peradaban dan perkembangan zaman. Pendidikan kader diarahkan pada visi dan misi perhimpunan; "berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas, melalui kaderisasi intelektual populis yang dijiwai nilai-nilai kekatolikan untuk mewujudkan keadilan sosial dan persaudaraan sejati." (Bdk. Buku Saku PMKRI).

Kendati demikian, tak tersangkalkan pula bahwa sampai pada aras ini, cara pandang serta pola pikir para kader maupun masyarakat masih terjebak dalam suatu garis pemikiran umum, bahwa PMKRI merupakan sebuah organisasi politis. Kenyataan tersebut diperparah lagi dengan orientasi para kader yang melibatkan diri dalam praksisme politik, sehingga yang lebih muncul dipermukaan ialah elitisme politik ketimbang gerakan perjuangan berbasis kemasyarakatan.

Namun perlu disadari bahwa PMKRI bukanlah sebuah organisasi politik, meskipun politik menjadi salah satu bidang perhatian para kader dan penjasa perhimpunan.

PMKRI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan, yang mendasarkan diri pada aspek perjuangan dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat; politik, sosial, budaya, ekonomi, lingkungan hidup serta agama sebagai visi dan misi gerakan.

PMKRI merupakan sebuah organisasi perjuangan yang terus melakukan upaya regenerasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tentu saja, momen regenerasi kader tidak didasarkan pada aspek kuantitas dalam menjalankan rutinitas organisasi. Tetapi lebih dari pada itu, hal yang perlu mendapat perhatian lebih ialah aspek kualitas kader.

Dengan semboyan misioner "Pro Ecclesia et Patria" PMKRI berupaya mengandung dan melahirkan kader yang siap dibina dan membina diri serta berjuang bersama umat dan masyarakat. Keterlibatan dan keberpihakan pada kaum tertindas menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kader dalam menegakkan nilai keadilan dan persaudaraan di tengah kehidupan masyarakat.

Pelbagai persoalan yang dialami masyarakat seperti; krisis ekonomi, kasus korupsi, krisis lingkungan hidup serta radikalisme yang berbasis agama, tentu saja menjadi pemantik yang terus menantang fungsi dan peran para kader dalam menegakkan kembali nilai luhur kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal lain yang menjadi tantangan yakni melubernya pandemi Covid-19 yang masih dirasakan dampaknya.

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, setiap kader PMKRI dipanggil dan ditantang agar lebih adaptif dalam menjawabi seluruh persoalan yang dialami masyarakat.

Karena itu, hemat saya, ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian para kader PMKRI sebagai "agent of change."

Mengurai Peran Kader PMKRI Sebagai Agen Perubahan

Predikat "agent of change" yang dilekatkan di dalam pribadi kader, sejatinya selalu bermuara pada transformasi sosial. Transformasi yang dimaksud ialah bagaimana kemampuan para kader dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dengan semangat perjuangan yang berpihak pada masyarakat dan kaum tertindas.

Hal tersebut semacam menjadi imperatif moral yang perlu ditanamkan dalam jiwa dan sanubari kader. Setiap kader diajak untuk menginternalisasi dan mengaktualisasikan predikat tersebut sebagai misi urgen dalam setiap perjuangan. Setiap kader harus menjadi pelaku perubahan di dalam masyarakat, dengan terus bersikap kritis terhadap rezim pemerintah dan kondisi sosial-budaya yang menyimpang.

Rektor Universitas Nusa Nipa (Unipa), Dr. Ir. Angelinus Vincentius, M.Si, dalam kegiatan Lokakarya Cabang PMKRI Maumere, pada 6 Desember 2020 lalu, menandaskan bahwa di tengah tuntutan situasi perubahan zaman dengan kemajuan informasi dan teknologi, PMKRI dituntut untuk menemukan format pembinaan baru, yang menjawabi tuntutan zaman agar lebih adaptif, kritis, serta berpegang teguh pada nilai dan prinsip yuridis konstitusional organisasi (IndonesiaSatu.co, 6 Desember 2020).

Dalam konteks mengaktualisasikan hal dimaksud, penulis menelaah beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari para kader agar identitas "agent of change" dapat terealisasi dan menyasar pada visi dan misi gerakan.

Penulis mencoba menelaah tiga benang merah perhimpunan sebagai bagian fundamental dari visi-misi gerakan.

Adapun ketiga benang merah yang menjadi basis perjuangan perhimpunan yaitu nilai kristianitas, fraternitas dan intelektualitas.

Pertama, Kristianitas. 

Nilai Kristianitas merupakan basis moral para kader dalam mengemban tanggung jawab untuk berpihak pada kaum tertindas yang didasari pada nilai-nilai kekatolikan dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan gerakan. Karena itu, setiap gerakan yang dibangun semestinya berpedoman pada nilai-nilai injili tentang kebenaran dan cinta kasih. Kader yang tidak dijiwai nilai injili dan ajaran gereja, bukanlah  "agent of change" sebab ia telah menyimpang dari misi Kristus yang sesungguhnya yakni menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.

Kedua, Fraternitas.

Nilai tersebut mengandung asas solidaritas dan persaudaraan sejati, yang dapat tercipta apabila setiap kader menyadari dirinya sebagai "homo socialicus" atau makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia selalu dipengaruhi oleh orang lain, yang mana dapat mempengaruhi pola pikir serta tindakan setiap individu.

Dalam mewujudkan hal itu, semangat "man for others", sebagaimana termaktub dalam identitas kader, seharusnya juga menjadi bagian integral yang membingkai seluruh kepribadian kader. Asas fraternitas mengandaikan adanya kesamaan nasib terhadap kaum tertindas di dalam masyarakat. Dengan adanya kesamaan nasib (empati), nilai persaudaraan dan perdamaian dapat tercipta.

Ketiga, Intelektualitas.

Untuk menjadi kader yang berkualitas dan total, tentu juga dibutuhkan kader yang berintelektual dan memiliki daya kritis tinggi. Sikap kritis kader, selain didapatkan di lingkungan Perguruan Tinggi, juga dapat ditempuh lewat pendidikan dan iklim intelektual yang dibangun dalam  kehidupan organisasi, seperti PMKRI. 

Sebagai organisasi pembinaaan dan perjuangan, PMKRI melatih para kader secara kritis melalui pendidikan formal berjenjang.

Selain pendidikan formal berjenjang, menurut penulis, ada poin yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan para kader yang kritis dan berkarakter populis. Poin lain itu yakni peningkatan kesadaran tentang urgensi pendidikan literasi. Tanpa literasi, sikap kritis mahasiswa atau kader PMKRI tidak dapat terwujud. Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela; "Education is the more powerful weapon we can use to change the world". Artinya, hanya dan melalui pendidikan dan penguatan literasi, setiap kader dapat membina dirinya menjadi pribadi yang otonom, kritis serta menjunjung tinggi hak, kearifan dan keutamaan rakyat kecil.

Catatan Akhir

Sejak 27 tahun yang lalu, PMKRI Cabang Maumere Santo Thomas Morus telah menjadi sebuah wadah perjuangan intelektual yang telah melahirkan banyak kader, hampir di seluruh nian tana Sikka dalam beragam profesi dan gerakan. Tentu saja, upaya mengandung dan melahirkan kader yang berkualitas menjadi sebuah impratif moral perhimpunan dalam menjawabi situasi dan perkembangan zaman yang terus berubah.

Di tengah pelbagai gempuran modernitas serta kondisi sosio masyarakat yang stagnan akibat korupsi, persoalan HAM, krisis lingkungan hidup, serta radikalisme agama yang datang tanpa henti, menantang kembali para penjasa dan kader dalam memikirkan arah PMKRI Maumere; Quo Vadis PMKRI Maumere?

Hemat saya, poin-poin yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari setiap kader dalam menginternalisasikan dan mewujudkan perjuangan PMKRI ke depannya yakni sebagaimana yang dipaparkan di atas. Asas kristianitas, fraternitas dan intelektualitas semestinya menjadi spirit yang menjiwai pribadi kader dalam mewujudkan nilai keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati.

Terinspirasi dari momentum Ulang Tahun yang ke-27 PMKRI Cabang Maumere, setiap kader diajak untuk 'mundur sejenak', agar dapat maju seribu langkah. 

Ibarat seorang atlet lompat jauh, ia harus mundur lebih dahulu, dan berlari sekuat tenaga untuk mendapatkan lompatan yang jauh dari garis awal. 

Pilihan untuk 'mundur sejenak' membuat kita mampu berpikir dan memikirkan cara-cara baru yang lebih efektif, daripada terus maju dengan membawa cara lama yang tidak relevan, atau malah latah mengikuti arus zaman tanpa memikirkan dampaknya.

Dirgahayu 27 Tahun PMKRI Cabang Maumere.

Selamat menjalankan roda Perhimpunan Flavianus Nong Raga sebagai Ketua Presidium dan segenap jajaran DPC PMKRI Cabang Maumere Santo Thomas Morus periode 2021/2022.

Semoga tetap menjadi kader PMKRI yang militan.

Pro Eccelsia et Patria!!

***

(Penulis adalah Anggota PMKRI Cabang Maumere Angkatan XXI, Mahasiswa STFK Ledalero)

Komentar