Breaking News

FILM RESENSI: Propaganda SVD Melalui 'Film Bisu' Ria Rago dan Amorira 21 Feb 2020 19:15

Article image
Cuplikan film Amorira dengan latar belakang kehidupan masyarakat Ngada. (Foto: ist)
Sebagai propaganda, kedua film dibuat dari sudut pandang misionaris SVD serta keterlibatan mereka dalam kehidupan masyarakat setempat.

Oleh  Maria Inggrid Nabu Bhoga

PADA tahun 1930, dua pastor SVD (Serikat Sabda Allah), Simon Buis and P. Beltjens, yang telah dikirim oleh Uskup Ndona, Arnold Vestraelen, untuk belajar di sebuah akademi film di New York, memproduksi tiga film tentang Flores: Ria Rago, Amorira and Anak Woda. Film-film tersebut merupakan bagian dari propaganda misionaris SVD sebagai salah satu cara menggalang dana di Eropa untuk membiayai karya-karya misi mereka di Flores.

Film Ria Rago and Amorira mengangkat tema tentang seorang gadis lokal dan hal-hal yang terkait dengan pernikahannya. Sebagai propaganda, kedua film dibuat dari sudut pandang misionaris SVD serta keterlibatan mereka dalam kehidupan masyarakat setempat.

---

Ria Rago bercerita tentang sebuah pernikahan yang diatur untuk seorang gadis Katolik bernama Ria dengan seorang lelaki Muslim yang kaya bernama Dapo. Karena Ria menolak pernikahan tersebut, ia menerima pukulan fisik dari ayah dan ibunya. Karena hal tersebut ia melarikan diri mula-mula ke tempat pastor, lalu ke tempat para suster misi (dalam hal ini suster Abdi Roh Kudus/ SSpS) yang lalu memberikan perawatan dan perlindungan kepada Ria.

Ketika ayah Ria mengetahui keberadaan puterinya, ia mengambil kembali Ria untuk dibawa ke desa dan menyiksanya lebih banyak lagi. Para suster misi pun datang ke rumah Ria dan bermaksud menyelamatkannya namun kedua orang tua Ria mengusir mereka pergi. Ria tidak menyerah. Ia melarikan diri lagi hingga tiba kembali ke tempat para suster dalam keadaan sangat sakit.

Pada akhir cerita digambarkan bahwa Ria menerima sakramen minyak suci dan memberikan pengampunan kepada orang tuanya. Ayah Ria lalu membatalkan rencana pernikahan puterinya dan mengembalikan mas kawin yang sudah ia terima kepada Dapo.

Amorira mengisahkan seorang gadis bernama Keli yang dipaksa menikahi seorang pemuda bernama Wesa namun Keli telah memiliki seorang kekasih bernama Diroe yang berasal dari desa tetangga. Situasi ini memicu peperangan antara penduduk desa asal Wesa dan penduduk desa asal Diroe.

Di dalam peperangan tersebut, Wesa terbunuh. Ayah Wesa yang bernama Meo menuntut kepada orang tua Keli agar Keli menikahi anak lelakinya yang lain namun Keli menolak. Situasi ini bersamaan dengan kedatangan seorang Pastor bernama Jacobs yang baru saja tiba untuk membuka wilayah misi yang baru dan mencoba mendapatkan kepercayaan masyarakat setempat.

Setelah Keli mengadukan keadaannya, Pastor Jacobs menjadi terlibat di dalam konflik ini. Mengetahui keterlibatan Pastor Jacobs, Meo beserta orang-orang yang mendukungnya lalu menyerang dan membakar rumah Pastor Jacobs. Meo berkeras bahwa Keli harus menikahi anak lelakinya. Baik Keli dan ayahnya menolak keinginan Meo. Pastor Jacobs pun membela dan mendukung keputusan Keli. Meo menjadi sangat marah terhadap Pastor Jacobs dan memukulinya lalu lari. Pastor yang terluka itu lalu diurus dan dirawat oleh sebagian penduduk desa sementara penduduk yang lain mencoba menangkap Meo. Setelah Meo tertangkap, ia dihadapkan ke Pastor Jacobs untuk meminta maaf. Di akhir cerita, semuanya berdamai dan digambarkan bagaimana Pastor Jacobs membaptis orang-orang di desa tersebut.

---

Kedua film menggunakan masyarakat lokal sekaligus pastor dan suster (dalam Ria Rago) sebagai aktor dan aktris. Flores pada waktu itu (kemungkinan kedua film dibuat pada akhir tahun 1920an) terekam dalam gambar yang sangat hidup dan jelas. Meski demikian, dalam kedua film tersebut, masyarakat lokal digambarkan sebagai masyarakat yang, meminjam istilah Schroter, ‘berkekurangan dan barbar’ (deficient and barbaric) yang dapat dilihat dari kekerasan fisik yang dialami Ria berulang-ulang oleh kedua orang tuanya (dalam Ria Rago), dan, penggambaran perang dan kemarahan (dalam Amorira).

Schroter menulis bahwa film Ria Rago adalah salah satu kesaksian bagaimana media mengambil stigmatisasi budaya lokal. Kisah si gadis Ria menjadi lebih ‘eksplosif’ karena lelaki yang akan menjadi suami Ria adalah seorang Muslim sementara Ria sendiri telah masuk agama Katolik. Film seperti ini, tulis Schroter, memiliki daya tarik tinggi di Jerman dan Belanda untuk mendapatkan dana bagi misi.

Schroter menambahkan bahwa film ini juga diputar di wilayah-wilayah misi sendiri (lihat Susanne Schroter, Christianity in Indonesia Perspectives of Power, 2010). Sayang sekali saya belum menemukan catatan mengenai reaksi masyarakat lokal atas pemutaran film ini pada masa-masa tersebut.

Kedua gadis (Ria dan Keli) digambarkan sebagai korban dari sistem sosial masyarakat, khususnya dalam pernikahan, dimana mereka harus mematuhi keputusan orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa di dalam masyarakat, dan, menjadi persoalan apabila mereka menentangnya.

Dalam kisah Ria, ia sama sekali tidak memiliki suara atas perencanaan pernikahannya karena semua sudah diatur oleh ayahnya dengan pihak laki-laki. Penggambaran ini juga memperkuat studi yang dilakukan oleh Prior mengenai struktur masyarakat, tradisi dan adat-istiadat dalam kaitannya dengan pernikahan suku Lio di Flores tengah (lihat John Mansford Prior, Church and Marriage in an Indonesian Village. A Study of Customary and Church Marriage among the Ata Lio of Central Flores Indonesia, as a Paradigm of the Ecclesial Interrelationship between village and Institutional Catholicism. 1988).

Sebaliknya, dalam kisah Keli, ia memiliki suara dan menyatakan penolakannya terhadap lamaran Wesa beserta ayahnya Meo. Penolakan Keli didukung oleh ayahnya meski kemudian Meo tidak terima dan mengambil jalan kekerasan untuk mencapai keinginannya. Cerita ini menggambarkan struktur masyarakat yang lain yakni suku Ngada, yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal yang memberi ruang bagi perempuan (lihat Susanne Schroter, Red cocks and black hens. Gendered symbolism, kinship and social practice in the Ngada highlands, 2005).

Dalam kedua film tersebut para misionaris adalah ‘penyelamat’ bagi kedua gadis. Kedua gadis tersebut datang kepada pastor maupun suster untuk meminta pertolongan dan mencari solusi atas persoalan mereka.

Dalam Ria Rago, digambarkan dengan jelas bahwa orang tua Ria masih mempraktekan ritual kepercayaan lokal, sedangkan Ria sendiri sudah menjadi seorang Katolik. Ria digambarkan mendapatkan kekuatan batin dari salib yang dikirimkan kepadanya oleh Pastor. Selain itu, keputusan Ria untuk melarikan diri kepada para suster juga memberi kesan bahwa Ria semestinya telah mendapatkan pendidikan dari para suster karena ia mengenal mereka dan mencari perlindungan dari mereka. Adegan para suster yang merawat luka-luka Ria juga menunjukkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para suster kepada masyarakat setempat.

Amorira menggambarkan kehidupan penduduk desa Borado dan Likowali dan juga usaha seorang pastor untuk mendekati penduduk lokal dan memperkenalkan agama Katolik. Film tersebut menggambarkan tantangan yang harus dihadapi misionaris ketika membuka wilayah misi yang baru sekaligus betapa pentingnya keberadaan pos misi tersebut bagi masyarakat setempat.

Dalam film tersebut digambarkan bahwa meskipun penguasa administratif setempat mencoba mengatasi persoalan masyarakat dengan menangkapi orang-orang yang membuat onar, kedamaian baru tercapai setelah sang pastor terlibat, mengalami luka-luka, dan memaafkan para pembuat onar. 

Sebagai propaganda, kedua film tidak hanya mempromosikan pentingnya Kristenisasi bagi masyarakat lokal, namun juga perlunya terdapat perubahan dalam masyarakat. Tema pernikahan barangkali dipilih karena sifatnya yang universal sehingga pesan propaganda dapat disampaikan dengan mudah oleh para pembuat film kepada audiens mereka di Eropa, yang diharapkan tergerak dan memberikan sumbangan dana bagi karya misi.

Kedua film juga menunjukkan keragaman dan kerumitan struktur sosial masyarakat di Flores serta peran serta posisi perempuan yang berbeda-beda, yang juga dipengaruhi dan mengalami perubahan karena adanya aktivitas misionaris SVD dan SSpS. ***

Penulis adalah mahasiswa doktoral Radboud University Netherlands.

Komentar