Breaking News

OPINI Sisi Lain PILKADA 2020: Motif Penundaan Dan Ancaman Pandemi 23 Nov 2020 21:54

Article image
Praktisi dan Pengamat Hukum, Marselinus Ado Wawo. (Foto: Dokpri MAW)
Publik berharap agar pada tanggal 9 Desember 2020, pilkada dapat berlangsung aman dan tertib serta tidak terjadinya kluster baru Covid-19 dan hasilnya memuaskan kita semua.

Oleh : Marsellinus Ado Wawo*

 

Pilkada serentak tinggal menghitung hari. Akhir bulan November hanya tinggal beberapa hari saja. Ibarat menyeberangi air yang dalam, ukurannya sudah sampai di leher. Mudah-mudahan tak akan tenggelam, oleh karena persiapan para penyelenggara sudah sangat matang.

Penyelenggara dan peserta pilkada serta rakyat yang sudah tidak sabar lagi menyambut peristiwa demokrasi ini diharapkan komitmennya untuk menjadikan pilkada 9 Desember 2020 mendatang sebagai Pilkada yang bermartabat, langsung, umum, bebas dan rahasia.

Pilkada Langsung

Sejak era reformasi, pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru (Orba) yang banyak mencederai demokrasi, era reformasi mengusung banyak tema, salah satu di antaranya yakni Pilkada langsung. 

Jika sebelumnya dari jaman Orde Lama (Orla) dan orba, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Namun di era reformasi, Presiden Megawati memutus mata rantai tersebut dengan menerbitkan UU Pilkada langsung pada tahun 2004, walaupun pada masa Megawati kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Kita patut mengkritisi agar tidak lupa bahwa keputusannya sangat tergantung kepada anggota DPRD sebagai representasi kepentingan Partai Politik (parpol) dan rakyat, juga mewakili selera individual dan egonya anggota DPRD itu sendiri. Inilah tatanan yang hidup selama 32 tahun lebih, yang telah dikorupsi dan dieksploitasi oleh parpol dan wakil rakyat. Maka tidaklah heran jika terjadi kemandekan penyaluran demokrasi karena saluran demokrasi sendiri tersumbat oleh hukum positif yang berlaku saat itu. Namun tetap sah karena memenuhi azas legalitas.

Sebaliknya, dari aspek keadilan dan kemanfaatan, tidak membawa keuntungan apa-apa bagi rakyat bangsa ini. Dari sini kita mengenal  'Law is a tool of crime', hukum sebagai alat kejahatan yang sempurna.

Tahun 2004 merupakan tahun yang sangat krusial bagi kebangkitan demokrasi. Karena debat tentang Pilkada langsung sempat menjadi debat kusir di DPR dengan berbagai sudut pandang setiap fraksi dalam balutan kepentingannya masing-masing. Namun dengan kepemimpinan Megawati yang teguh, maka silang pendapat berakhir dan pemilihan kepala daerah akan dilakukan secara langsung. Selanjutnya, sejak tahun 2005 pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan, yang saat itu dikenal dengan istilah pemilukada.

Ciri Demokrasi

Salah satu ciri negara demokrasi yakni dengan menyelenggarakan pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilu sendiri merupakan perwujudan kehendak rakyat, termasuk dalam pilkada.

Pertama, sebagai perwujudan kedalautan rakyat dalam negara hukum. Rakyat sendiri yang akan menentukan pemimpin daerahnya. Walau kita menyadari adanya duet mesra antara parpol dengan calon yang diusungnya.

Kedua, sebagai perwujudan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Artinya, rakyat yang akan menentukan apa saja yang akan dibangun berdasarkan kebutuhannya. Namun patut disesali bahwa tujuan ini sering tidak terpenuhi, oleh karena kepala daerah sering memiliki kepentingannya sendiri bersama parpol pengusung.

Ketiga, dalam rangka pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan bukan saja pembatasan kekuasaan dalam arti sempit yaitu pembatasan kekuasaan kepala daerah semata, tetapi juga termasuk pembatasan kekuasaan secara luas yaitu kekuasan elit parpol, agar tidak sampai melahirkan kekuasaan yang despostik yaitu baik oligarkis maupun individualis. Apalagi sekarang ini sedang terjadi politik dinasti.

Dalam kaitan ini, Lord Acton sudah memperingatkan kita semua dengan adagiumnya; 'Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely', kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut sudah pasti korup. Ini yang kita takutkan saat kini, atau dalam kasta yang lebih rendah perlu kita khawatirkan bersama.

Era reformasi yang diharapkan dapat mendatangkan kebaikan bagi kesejahteraan rakyat, namun tidak mendatangkan kebaikan bagi rakyat yang sudah susah payah membangun demokrasi. Justru demokrasi itu dikorupsi kembali oleh para kepala daerah untuk kepentingan parpol dan elit di sekitarnya.

Banyak kepala daerah masuk bui karena tingkah laku tercela, korupsi kebijakan dan korupsi uang APBD, yang dikadali dan dibalut dengan berbagai kebijakan dan Perda agar terlihat memenuhi aspek legalitasnya. Hukum dibuat untuk melakukan kejahatan.

Motif Ancaman Pandemi

Di tengah ancaman pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang sedang melanda ekonomi negara kita, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahaan Ketiga atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Keputusan Presiden ini direspon dengan banyak penolakan oleh berbagai elemen bangsa termasuk di antaranya NU dan Muhamadiyah serta elit politik tertentu, dengan alasan pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 akan mengancam keselamatan rakyat yang mengikuti Pilkada dan demi keselamatan rakyat. Satu-satunya jalan yakni dengan menunda pelaksanaan pilkada 2020 ke tahun 2022.

Seharusnya, pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan tersebut dengan memperhatikan peribahasa "Salus  populi suprema lex esto"; keselamatan rakyat sebagai hukum yang tertinggi.

Menunda Pilkada hanya dengan alasan peribahasa atau pepatah atau adagium adalah kekonyolan. Karena peribahasa itu hanya kiasan belaka, bukan sebuah norma atau kaidah.

Meski argumentasinya kelihatan logis, jika Pilkada tetap dilaksanakan akan menciptakan kerumunan massa dan berpotensi terciptanya kluster baru pandemi Covid-19. Namun belum terbukti, ini baru semacam asumsi. Seharusnya dari perspektif pengalaman, semacam testimonium, sehinga pemerintah dapat dituduh tidak logis menyelenggarakan Pilkada sekarang ini. Justru di negara lain, Pemilu tetap dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara disipilin dan hasilnya tidak menciptakan kluster baru. Dan  memang sudah terbukti ketika pemilu di Jerman, Korea Selatan dan Pilpres di Amerika Serikat baru-baru ini.

Apa yang sebenarnya menjadi alasan pemerintah tetap melaksanakan pilkada pada tanggal 9 Desember 2020? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,  pemerintahan Jokowi memiliki alasan yang sangat logis, di antaranya:

Pertama, menjamin hak konstitusional rakyat untuk dipilih dan memilih. Alasan ini erat kaitannya dengan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Kedua, belum bisa diketahui kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Jika Pilkada ditunda hanya karena alasan Covid-19, justru akan menimbulkan ketidakpastian. Menurut pemerintah, sampai sekarang tidak seorang pun atau lembaga yang bisa memastikan kapan Covid-19 akan berakhir.

Ketiga, Presiden tidak ingin daerah yang menggelar Pilkada dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt), oleh karena pelaksana tugas tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan strategis. Sedangkan dalam situasi dan kondisi sekarang diperlukan pengambil kebijakan strategis yang memiliki legitimasi untuk menggerakan birokrasi dan sumber dana demi mengatasi Covid-19 dan ekonomi.

Pertanyaannya, apakah pelaksana tugasnya akan diperbolehkan mengambil kebijakan-kebijakan strategis tersebut? Bisa saja, asalkan dibuat payung hukumnya terlebih dahulu. Kalau tidak ada payung hukumnya, maka akan berujung bui, karena merupakan tindak pidana.

Keempat, pemerintah telah menuda Pilkada sejak tanggal 23 September 2020 ke tanggal 9 Desember 2020. Yang diperlukan di sini yakni antisipasi oleh KPU dengan peraturannya agar semua peserta Pilkada patuh pada Protokol Kesehatan.

Motif Lain Penundaan Pilkada

Apakah ada motif lain dalam hal permintaan penundaan pilkada?

Motif lain tetap saja ada, namanya juga politik, pasti banyak spekulasi mengenai motif permintaan penundaan pilkada tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan Pilpres tahun 2024.

Bahwa ada kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022, termasuk Gubernur DKI Jakarta. Dan juga ada kepala daerah yang akan berakhir masa jabatanya tahun 2023 seperti Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Jawa Tengah.

Publik mengetahui bahwa ketiga Gubernur ini digadang-gadang bakal menjadi calon Presiden di tahun 2024 pasca berakhirnya masa jabatan presiden Jokowi yang kedua. Mereka akan bersaing dengan calon-calon kuat lainnya seperti Prabowo, Erlangga Hartanto.

Namun, dengan berakhirnya masa jabatan ini, mereka akan menjadi warga negara biasa, dan dengan sendirinya juga akan kehilangan panggung politik yang istimewa. Itulah konsekwensi sebagai warga negara, yang harus mereka terima dengan lapang dada dan berjiwa besar. Tidak ada lagi tunjangan, tidak ada lagi mobil pengawal, tidak ada lagi ajudan yang mengatur acara, tidak ada lagi fasilitas ini dan itu. Dan tentu juga tidak ada lagi teman yang datang sowan. 

Segala privilege dan kewenangan lenyap seketika, seiring dengan berakhirnya masa jabatan sebagai Gubernur, kecuali mereka menjadi 'anak emas' dari parpol tertentu, sehingga ruang gerak mereka akan difasilitasi.

Yang menjadi pokok persoalan yakni setelah tidak lagi menjabat Gubernur, apakah mereka masih digadang-gadang menjadi calon Presiden tahun 2024? Ini adalah hal yang sulit, karena sangat tergantung pada tingkatan elektabilitas.

Biasanya, jika sudah tidak menjabat, orang sudah mudah lupa, apalagi 2 tahun seakan-akan menjadi ruang hampa tanpa moment-moment penting untuk bersosialisasi, kecuali mereka mau membuka ruang sendiri dengan mengeluarkan banyak ongkos untuk melakukan sosialisasi. 

Oleh karena itu, wajar saja ada pihak-pihak yang berkepentingan di sekitar Gubernur yang meminta agar Pilkada 2020 ditunda sampai tahun 2022. Tujuannya agar Gubernur yang akan berakhir masa jabatan tahun 2022 bisa berkontestasi lagi ikut dalam Pilkada. Dengan demikian, elektabilitasnya tetap terpelihara menuju kompetisi Pilpres tahun 2024.

Ancaman Pandemi dan Reaksi Politik

Ancaman pandemi Covid-19 tetap ada. Namun hal ini dapat diantisipasi dengan pelaksanaan protokol Kesehatan yang ketat dan disiplin. Untuk itu, para peserta pilkada dan masyarakat pemilih agar sungguh-sungguh menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah dan KPU.

Penyelenggara KPUD dapat membuat skenario untuk mengurai pemilih yang datang ke TPS agar tidak terciptanya kerumunan saat acara coblos berlangsung. Bagaimana pengaturan tentang antrian menuju pendaftaran dan antrian ke TPS. Bagaimana caranya KPUD mengatur agar tidak terjadi kerumunan pada saat penghitungan suara. Ini juga sangat penting dan bisa menimbulkan eskalasi situasi keamanan menjadi buruk. Sebab, bagaimana pun juga para pemilih dan pendukung calon-calon ingin mendengarkan secara langsung saat penghitungan suara.

Kiranya KPUD dapat mengantisipasi dengan membuat rencana kegiatan yang detail untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Maka sangatlah penting kehadiran TNI dan Polri di setiap TPS, untuk mengantisipasi reaksi politik yang berlebihan dari para pihak atau pihak-pihak lain yang ingin memanfaatkan pilkada ini demi agendanya tersendiri.

Publik berharap agar pada tanggal 9 Desember 2020, pilkada dapat berlangsung aman dan tertib serta tidak terjadinya kluster baru acovid-19 dan hasilnya memuaskan kita semua.

 

Penulis adalah Praktisi dan pengamat Hukum, tinggal di Jakarta.

Komentar