HUKUM Soal Tudingan ke Djoko Tjandra, Sugeng Santoso: Harus Pahami Posisi dan Profesi Advokat 25 Jul 2020 09:32
Sugeng beralasan, dalam memperjuangkan hak hukumnya, Djoktjan berhak diwakili oleh Advokat.
BOGOR, IndonesiaSatu.co-- Pendapat anggota Komisi III DPR RI, Arsul sani dalam postingan di laman Facebook yang mengatakan bahwa semua penegak hukum yg terlibat meloloskan Djoktjan (sapaan Djoko Tjandra, red) ditindak secara hukum termasuk advokat Joktjan, mendapat respon dari Advokat Peradi, Sugeng Teguh Santoso.
Sugeng juga merespon adanya pemberitaan Advokat Djoktjan dengan inisial ADK diperiksa oleh Bareskrim Polri.
"Tulisan saya ini sebagai respon atas pendapat dan pernyataan Anggota Komisi III DPR RI (Arsul Sani, red), juga respon atas pembrritaan Advokat Djoktjan diperiksa Bareskrim Polri," tulis Sugeng dalam keterangan kepada media ini, Kamis (23/7/20).
Sugeng yang juga Anggota Tim Pembentuk KEAI dan Peraturan Tata Cara memeriksa Pelanggaran Kode Etik Peradi, menilai bahwa lolosnya Djoktjan ke luar negeri setelah bisa masuk ke Indonesia bahkan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan hadir dalam sidang pemerikaaan novum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah sebelumnya membuat KTP di kelurahan Grogol Selatan.
"Persoalan ini telah menyedot perhatian publik dan penggiat media massa, termasuk Kalangan penegak hukum. Bahkan tiga orang jenderal polisi, irjen dan dua brigjen polisi, dicopot dari jabatanya. Akibatnya, muncul permintaan agar Advokat Joktjan diperiksa dan ditindak. Namun, untuk menindak advokat, harus dipahami terlebih dahulu posisi Advokat dalam menjalankan profesi," nilai Sugeng.
Pasif dan Kerahasiaan Klien
Manurut Sugeng, Advokat berdasarkan kode etik, sifatnya pasif.
"Artinya, Advokat tidak dapat menawarkan jasa hukum pada pencari keadilan, sebaliknya hanya pasif menunggu adanya permintaan layanan jasa hukum. Pada saat klien datang dan mempercayakan kasusnya, baik pada tahap konsultasi (saja) maupun penanganan perkara (litigasi), maka seketika itu advokat terikat pada kewajiban etik (1) menjaga kerahasiaan klien (2) kepercayaan," terang Sugeng.
Advokat Desa Bogor yang dikenal dengan 'Sang Pembela' ini menegaskan bahwa pada Pasal (4) huruf (h); Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
Selanjutnya, pada Pasal 19 ayat (1) UU Advokat dinyatakan bahwa Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
"Dalam perkara Djoktjan, publik sudah mahfum bahwa Djoktjan adalah seorang yang dicari penegak hukum untuk dieksekusi. Lalu, apakah Djoktjan tidak boleh mencari keadilan melalui proses hukum? Tentu boleh, apalagi tersedia mekanisme hukum, yaitu Djoktjan dapat mengajukan PK atas PK jaksa," dalilnya.
Sugeng beralasan, dalam memperjuangkan hak hukumnya, Djoktjan berhak diwakili oleh Advokat.
"Seorang Advokat yang menilai bahwa terdapat dasar hukum bagi Djoktjan dalam memperjuangkan hak hukumnya, memiliki keahlian untuk itu serta tidak terdapat konflik batin baginya (sah) bertindak mewakili Djoktjan (vide pasal 3 huruf a jo pasal 4 g KEAI)," terangnya.
Selanjutnya, kata dia, jika Advokat telah ditunjuk resmi oleh Djoktjan sebagai Advokatnya dalam penanganan perkara (bisa 1 atau lebih perkara), maka seketika itu Advokat terikat untuk menjaga kerahasiaan kliennya tentang apapun yang dipercayakan padanya, termasuk hal-hal rahasia dan tabu sekalipun.
"Apakah advokat bisa dituduh menyembunyikan Djoktjan sebagaimana diminta oleh Anggota komisi III DPR RI, Arsul Sani?" timpalnya.
Sugeng menegaskan bahwa tentu tidak bisa dikenakan tuduhan tersebut, karena seketika Advokat telah ditunjuk sebagai Advokat Djoktjan, ia terikat menjaga kerahasiaan klienya.
"Harus dipahami bahwa tugas menindak (menangkap) Djoktjan adalah tugas Polisi atau Jaksa, dan bukan tugas Advokat. Bahkan ketika Advokat yang diminta oleh Djoktjan tidak bersedia menangani. Kewajiban khusus melindungi kerahasiaan klien ini diperintahkan oleh UU dan Kode Etik Advokat," imbuhnya.
Itikad Baik dan Imunitas Profesi
Sugeng yang selama 10 tahun menjabat Sekretaris Dewan Kehormatan Pusat Peradi menjelaskan bahwa dalam Pasal 16 UU Advokat, ditegaskan dua hal penting yakni Imunitas Advokat dan Itikad Baik.
Dijelaskan, imunitas Advokat dalam pasal 16 sebelumnya, hanya terbatas di ruang sidang pengadilan, akan tetapi dgn putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 melalui pengujian Pasal 16 UU Advokat, telah memperluas hak imunitas/perlindungan bagi Advokat ketika menjalankan tugas profesinya; tidak hanya di dalam persidangan, tetapi juga di luar persidangan.
Sebelumnya, Pasal 16 UU Advokat menyebutkan 'Advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.'
Namun, pasca terbitnya putusan MK tersebut dinyatakan bahwa Advokat tidak bisa dituntut secara pidana atau perdata dalam rangka kepentingan pembelaan klien, baik di dalam maupun di luar persidangan.
Selengkapnya, amar putusan MK itu berbunyi: 'Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai; Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.'
"Imunitas tersebut dipersyaratkan berlakunya dengan syarat itikad baik. Artinya, itikad baik di sini menegaskan bahwa Advokat dalam menjalankan prakteknya harus taat pada UU materil maupun formil, kode etik dan sumpah jabatannya (antara lain: tidak boleh menyuap memenangkan perkara). Hal ini ditegaskan dalam pasal (2) KEAI tentang Kepribadian Advokat Indonesia.
Dalam Pasal (2) ditegaskan bahwa 'Advokat Indonesia adalah Warga Negara Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.'
"Jika Advokat mentaati UU dalam pembelaan pada kliennya, baik UU materil maupun formil (prosedur administrasi, hukum acara); semisal: Advokat Djoktjan mengajukan permohonan PK dengan meminta kehadiran Djoktjan di sidang PN Jakarta Selatan untuk acara pengesahan novum dengan sebelumnya dimintakan Djoktjan melengkapi KTP diri, maka itu adalah prosedur yang benar di luar persoalan Djoktjan dicari-cari sebagai buronan. Dalam posisi ini, Advokat diberi imunitas karena mentaati hukum," tegasnya.
"Jangan karena heboh penegak hukum lain diberi sanksi, maka otomatis Advokat Djoktjan juga diberi sanksi. Itu namanya gebyah uyah," sentil Sugeng.
Pidana pada Advokat
Sugeng berpandangan, meski memiliki hak imunitas, Tentunya Advokat tidak kebal hukum, yaitu dengan beberapa kondisi yakni;
Pertama, Advokat diduga melakukan tindak pidana, di luar ia tidak menjalankan prakteknya; misalnya melanggar UU lalu lintas, memakai dan menyembunyikan narkoba, dan lain-lain.
Kedua, terlibat aktif dalam persiapan, perencanaan dan perbuatan pidana oleh kliennya. Tentang ini tentu tidak dapat dibantah lagi bila bisa dibuktikan bahwa unsur pidana material terpenuhi dan Advokat tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Namun demikian, jika Advokat diduga terlibat dalam pidana saat menjalankan profesi, tidak serta merta polisi dapat memeriksa advokat tersebut. Karena diperlukan pemberitahuan pada Organisasi Advokat (OA) bahwa Advokat yang bersangkutan akan dimintakan keterangan (vide perjanjian kerjasama penegakan hukum antara PERAdi dengan Kapolri).
Pada saat adanya pemberitahuan pada OA oleh kepolisian, maka OA harus segera menugaskan Komisi Pengawas Advokat untuk memeriksa advokat tersebut dan memberikan rekomendasi pada OA tindak lanjutnya, yakni;
Pertama, memberikan pendampingan pada Advokat terperiksa saat diperiksa di polisi. Tugas ini akan dilakukan oleh departemen pembelaan profesi.
Kedua, merekomendaai Advokat diperiksa terlebih dahulu di Dewan Kehormatan Etik Profesi. Rekomendasi ini bermakna bahwa hasil pemeriksaan Komisi menemukan indikasi advokat tersebut, dalam menjalankan profesinya telah mengikuti prosedur-prosedur hukum yang diwajibkan dalam pembelaan kliennya.
Misalnya dugaan penggunaan dokumen palsu dalam perkara yang diajukan Advokat dalam proses hukum. Bila Advokat tersebut menerima dokumen tersebut dari kliennya atas dasar kepercayaan, maka advokat tersebut tidak dapat dikenakan pidana menggunakan surat palsu.
"Akhirnya saya hendak menyampaikan bahwa komunitas Advokat, bertindaklah profesional. Profesional bermakna Ahli dalam bidangnya dan taat kode etik, sehingga Anda akan terlindungi dalam menjalankan praktek," kata Sugeng.
"Jangan terpengaruh dengan pembayaran jasa hukum yg fantastis oleh klien saudara, sehingga saudara dikendalikan oleh klien. Klien saudara bukan majikan saudara. Justru saudara adalah pengendali perkara klien. Salam Nobile Officium," tutup Sugeng.
--- Guche Montero
Komentar