Breaking News

OPINI Solidaritas Tanpa Kepalsuan 15 Apr 2021 14:26

Article image
Hendaknya rasa solider terus dipupuk dan tidak lekang oleh perubahan zaman.

Oleh: Marianus Yufrinalis, S.Fil., M.A

 

El Asamau, penyintas Covid-19 pertama di Nusa Tenggara Timur (NTT), menulis dalam beranda facebook-nya pada 11 April 2021, perihal ucapan terima kasihnya kepada sekelompok orang yang melalui salah satu akun facebook Arsyad Bang Acca, meminta nomor rekening kepadanya untuk ditransferkan sejumlah besar uang sebagai donasi kepada korban bencana alam pada sejumlah daerah di Propinsi NTT. 

Sekelompok orang ini merupakan Pemuda Muslim Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat, yang secara spontan mengumpulkan dana untuk korban bencana alam di NTT, dengan tagline "Duka NTT-Duka Kita Bersama."

Kelompok peduli NTT ini mewakili banyak kelompok lain, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi kemanusiaan, forum kekeluargaan, civitas academica, organisasi kemahasiswaan, instansi dan elemen-elemen pemerhati masalah sosial dan lingkungan, selain pemerintah itu sendiri, yang dengan kesukarelaan dan nasionalisme yang tinggi rela turun ke jalan-jalan, membuka posko donasi dan bantuan kebencanaan, serta mengumpulkan sejumlah uang untuk disalurkan sebagai bentuk donasi kepada masyarakat terdampak bencana di NTT.

Tentu saja, bencana banjir bandang dan tanah longsor pada tanggal 4-5 April lalu oleh siklon tropis Seroja, menyisakan banyak kenangan pahit akan kehancuran, kematian dan kesedihan bagi masyarakat NTT umumnya dan korban terdampak bencana pada khususnya. 

NTT, salah satu provinsi dengan jumlah kabupaten terbanyak menyandang status wilayah tertinggal (cnnindonesia.com, 12/06/2020), sontak menyita perhatian publik dan jagat maya serta media yang meneropong dari dekat dampak bencana yang mengerikan itu. Dalam pemberitaan media online dan televisi nasional, bencana NTT telah mendorong aksi solidaritas yang cukup masif di seantero Nusantara.

 

Hakikat solidaritas

Secara etimologis, solidaritas adalah kesetiakawanan atau kekompakkan. Dalam bahasa Arab berarti tadhammun (ketetapan dalam hubungan) atau tak?ful (saling menyempurnakan/melindungi). Dengan demikian, bila dikaitkan dengan kelompok sosial dapat disimpulkan bahwa solidaritas adalah rasa kebersamaan dalam suatu kelompok tertentu yang menyangkut tentang kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama (Munawwir dan Fairuz, 2007: 829). 

Menurut Paul Johnson, solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan antar individu atau kelompok yang didasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. 

Emile Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Robert M.Z. Lawang mengungkapkan bahwa solidaritas sosial adalah keadaan saling percaya antar anggota kelompok atau komunitas. Jika orang saling percaya mereka akan menjadi satu, saling menghormati, saling bertanggung jawab, dan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan antar sesama (Doyle, 1998 : 182).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa solidaritas adalah rasa senasib-sepenanggungan antar-sesama manusia, dilandasi rasa percaya dan kesetiakawanan sosial, serta mendorong terjadinya semangat gotong-royong, toleransi dan saling tolong-menolong.

 

Solidaritas pada konteks bencana NTT

Bencana alam, apapun bentuknya bukan kehendak manusia. Ketika bencana terjadi muncul banyak persepsi dan orang tentu banyak mencari-cari penyebab terjadinya bencana. Memang faktor ulah manusia juga turut memegang peranan penting pada terjadinya bencana. Akan tetapi, adanya anomali cuaca yang tidak pasti dapat juga menjadi penyebab utama terjadinya bencana.

Siklon Tropis Seroja yang menerpa wilayah NTT dan negara Timor Leste kemarin, adalah contoh anomali cuaca yang tidak biasa. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan siklon tropis yang muncul di Indonesia saat ini sangat tidak wajar. Pasalnya, badai yang seharusnya terjadi dua sampai empat tahun sekali, sekarang terdeteksi hampir setiap tahun.

Sejak tahun 2008, Indonesia mencatat sepuluh siklon tropis. Pertama terjadi pada 2008, lalu muncul kembali pada 2010, 2014 dan 2017 (mediaindonesia.com, 06/04/2021).

Kejadian bencana alam di NTT ini telah memicu gelombang aksi solidaritas kemanusiaan di beberapa wilayah di tanah air. Aksi ini didorong oleh semangat gotong-royong, rasa persaudaraan yang kental, dan empati yang luar biasa karena banyak orang tergugah untuk turut merasakan pahit-getirnya penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang terdampak bencana.

Aksi solidaritas kemanusiaan ini ditunjukkan melalui kegiatan penggalangan dana terorganisir, roadshow seni dan kreativitas kaum muda, yang hasilnya didonasikan kepada korban bencana, serta misi kemanusiaan oleh TNI-Polri, SAR Nasional dan BNPB, kelompok akar rumput, dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di berbagai wilayah. Semuanya dilakukan atas dasar semangat ingin membantu, kesetiakawanan sosial, dan persaudaraan yang kental. Jika bukan sebagai saudara dan saudari sebangsa dan setanah air yang niatnya untuk membantu, tentu bukan dikatakan sebagai bentuk rasa solidaritas dari sebuah bangsa yang besar.

Solidaritas pada konteks bencana di NTT tidak hanya terealisir dalam aksi nyata kemanusiaan, namun terwujud juga dalam ungkapan-ungkapan simpati pada berbagai platform media cetak dan media online dengan tujuan untuk berbagi suka-duka dan  saling memberi dukungan. Solidaritas pada konteks bencana NTT membangunkan rasa persaudaraan dan kepedulian bangsa ini satu dengan yang lain ketimbang berkonflik dalam hegemoni agama dan budaya tertentu.

Solidaritas pada konteks bencana NTT melepas batas-batas (sekat) ruang dan waktu, meleburkan ruang-ruang perbedaan pandangan dan iman, serta mematahkan anggapan (pelesetan) segelintir orang bahwa NTT itu "Nanti Tuan/Tuhan Tolong, Nasib Tidak Tentu atau Nomor Terakhir-Terakhir".

Cukup sudah pelesetan ini berhenti pada hari-hari kemarin. Dunia sudah semestinya membuka mata untuk melihat.

 

Solidaritas tanpa kepalsuan

Mari kita lebih jeli melihat hakikat solidaritas pada konteks bencana kali ini di NTT. Kita semua sudah menyaksikan begitu banyak bentuk kepedulian sosial yang tersalur dan terakomodir dalam berbagai kegiatan donasi dan misi kemanusiaan. Harapannya, ini adalah solidaritas yang nyata dan tulus, tanpa diembel-embeli dengan kepentingan-kepentingan lain yang tidak penting. Kuncinya, bentuk rasa solider dari berbagai pihak saat ini untuk masyarakat NTT adalah murni peduli dan rasa cinta kepada sesama, tidak palsu, tidak pamrih atau memberi dengan harapan ada balas jasa, solidaritas tanpa gila hormat, solider tanpa harus pamer foto selfie atau video live streaming, solider tanpa diukur, solider dengan totalitas, serta kepedulian atas dasar saling membantu satu dengan yang lain. Itu saja. 

Masalahnya, dari berbagai bentuk rasa solidaritas itu, apakah hanya momentum sesaat, hanya muncul dan terjadi ketika ada bencana alam atau musibah? Pertanyaan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada ukuran atau batasan dalam menentukan seberapa besar rasa solider seseorang atau sekelompok orang.

Jika solidaritas ini hanya bertahan pada saat musibah terjadi, itu hanya momentum sesaat dan tidak bertahan ajek, hingga pada akhirnya menjadi artifisial (Bahtiar, 2006).

Namun jika momentum ini terus dipupuk dan dipelihara sepanjang saat tanpa memperhatikan ruang dan waktu, baik atau tidak baiknya waktunya, masih ada harapan untuk menata dan merancang solidaritas yang lebih mapan dengan konsekuensinya yang niscaya dan tak terbantahkan. 

Oleh karena itu, peristiwa bencana alam tidak hanya menjadi momen untuk kembali menyapa satu sama lain dalam nuansa persaudaraan dan saling berbagi, melainkan juga menjadi pemantik bagi terwujudnya rekonsiliasi dan pertobatan, sekaligus menjadi refleksi mendalam tentang seberapa kuatkah kebersatuan kita selama ini dalam bingkai NKRI.

Pemimpin negeri ini telah membuktikannya. Dengan perhatian dan kehadirannya, telah membuktikan bahwa negara ini ada untuk NTT. Kita hanya patut mencontohinya. Hendaknya rasa solider terus dipupuk dan tidak lekang oleh perubahan zaman.***

*Penulis adalah Dosen Ilmu Sosial Dasar di Universitas Nusa Nipa Maumere, tinggal di Maumere, Flores, NTT.

Komentar