Breaking News

HUKUM Terkait Penganiayaan di Kupang, Kuasa Hukum Korban Nilai Ada Kejanggalan Proses Hukum 12 Aug 2018 22:30

Article image
Tim Kuasa Hukum saat bertemu korban penganiayaan dan keluarganya di Nagekeo (Foto: Dok. Tim)
“Tuntutan agar kembali digelar BAP demi kejelasan proses penyidikan sesuai dengan fakta persoalan yang sesungguhnya tanpa indikasi rekayasa dan manipulasi keterangan dari korban. Hukum harus ditegakan di atas kebenaran agar tercipta rasa keadilan dan hak

NAGEKEO, IndonesiaSatu.co-- Peristiwa penganiayaan terhadap calon Tenaga Kerja Wanita (TKW), Marince Ngoe (23 tahun) asal Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) selama korban berada di rumah penampungan milik Beni Banoet yang beralamat di Kupang, semakin mencuat ke publik.

Kuasa hukum korban, Greg R. Daeng, sesuai rilis yang diterima media ini, Minggu (12/8/18) menilai ada kejanggalan dalam proses hukum terhadap korban sejak dipulangkan oleh pelaku ke kampung halamannya pada 16 Juni 2018 lalu.

“Sesuai hasil investigasi dan keterangan langsung dari korban, ditemukan bahwa peristiwa yang menimpa korban merupakan kasus yang tidak berdiri sendiri dan tidak hanya sebatas tindakan penganiayaan sebagaiamana yang diberitakan oleh pihak kepolsian sektor Boawae,” kata Greg.

Advokat Muda yang konsen mengadvokasi persoalan perdagangan manusia (human trafficking) di NTT ini menilai, dalam kasus tersbut terdapat tiga dimensi kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yakni  tindakan penganiayaan berat, kekerasan seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

“Dimensi kejahatan harus dilihat secara komprehensif termasuk prosedur perekrutan kekerasan saat berada di rumah penampungan, serta tujuan perdagangan orang. Jangan sampai untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimensi kejahatan justru dialihkan atau bahkan dihilangkan secara sepihak,” ujarnya.

Greg menyanggah bahwa sesuai informasi dari pihak penyidik polres Boawae yang mengatakan kasus tersebut akan diproses di Polresta Kupang.

“Pelimpahan proses hukum ke Polresta Kupang, secara subsatnsi masalah hal tidak wajib. Pasalnya, modus operandi kejahatan tersebut berawal dari wilayah hukum Polres Ngada. Sehingga, demi kepentingan hukum korban, kasus ini dapat disidik di Polres Ngada dan diadili di Pengadilan Negeri Bajawa,” imbuhnya.

Terkait proses penyidikan oleh pihak Polsek Boawae, alumni aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini menduga cacat prosedural.

“Dugaan ini beralasan sebab tidak ada Surat Tanda Terima Laporan (STTL) yang diberikan kepada korban, tidak adanya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), penggunaan pasal pidana yang tergolong ringan kepada pelaku (pasal 351 ayat (1) KUHP) yang ancaman pidananya hanya 2 tahun 8 bulan penjara, adanya pengaturan keterangan korban dan ayah korban dalam Berita Acara Pemeriksaa (BAP) tanggal 14 Juli 2018 oleh oknum penyidik pembantu di Polsek Boawae,” bebernya.

Selaku kuasa hukum korban, Greg mendesak agar demi kejelasan proses penegakan hukum, maka wajib untuk menggelar ulang BAP sehingga proses penyidikan dapat berdasarkan fakta masalah yang sesungguhnya.

“Tuntutan agar kembali digelar BAP demi kejelasan proses penyidikan sesuai dengan fakta persoalan yang sesungguhnya tanpa indikasi rekayasa dan manipulasi keterangan dari korban. Hukum harus ditegakan di atas kebenaran agar tercipta rasa keadilan dan hak hukum bagi setiap warga Negara,” tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar