HUKUM Terkait Terorisme, TPDI: Revisi UU Bentuk Penyanderaan Produk Hukum 17 May 2018 12:09
Lembaga Negara harus hadir dan menjamin keamanan bagi segenap rakyat Indonesia di tengah ancaman gerakan radikalis, intoleran dan teror. Alat Negara (penegak hukum) harus dijamin dengan kekuatan hukum dan bukan sebaliknya disandera oleh kepentingan,” tan
JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- “Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sebagai lembaga legislatif harus bertanggung jawab karena menyendera revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Peristiwa yang terjadi di Mako Brimob, Kelapa Dua dan perisitiwa pemboman di beberapa gereja di Surabaya, harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi model penanggulangan kejahatan terorisme oleh institusi kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN).”
Demikian diungkapkan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus sesuai rilis yang diterima media ini, Rabu 16/5/18).
Petrus menilai, ancaman terorisme yang sudah jelas terjadi secara terbuka bahkan bersentuhan langsung dengan lembaga penegak hukum, merupakan dampak dari lemahnya penegakan hukum dan perintah UU Nomor15.
“Peristiwa yang terjadi menunjukkan bahwa aksi para teroris di tempat kejadian menjadi pukulan dan ancaman serius bagi intitusi Polri dan BIN terutama dalam mengantisipasi setiap ancaman dan gerakan para teroris. Ini ancaman serius yang mengguncang keamanan Negara karena titik serangan sudah menyerang institusi penegak hukum sendiri. Ini berarti, ada yang salah dalam pengelolaan, penanggulangan (pengawasan) dan penindakan terhadap para napiter dan para pelaku teror terkait tugas dan wewenang Polri, TNI dan BIN sesuai amanat UU,” nilainya.
Advokat Peradi ini menerangkan bahwa sejak peristiwa serangan bom di Kawasan Sarinah, jalan. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat pada tanggal 14 Januari 2016 lalu, para pemangku penegakan hukum telah meminta agar revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 dipercepat bahkan menjadi kebutuhan yang sangat urgen karena sejumlah ketentuan di dalam UU tersebut dinilai tidak mampu menjawab tantangan dan kebutuhan aparat hukum di lapangan.
“Revisi UU merupakan bentuk penyanderaan karena dinilai menghambat tugas operasional aparat dalam menindak terorisme. Lembaga legislatif terkesan menyandera proses revisi ini pada perdebatan yang tidak substansial. Ini problem serius karena aksi para teroris telah menelan korban nyawa bahkan menyerang institusi penegak hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam tubuh lembaga legislatif pun, kekuatan radikalisme dan intoleransi sudah menancapkan pengaruhnya, bahkan sejumlah partai politik diduga kuat menempatkan kader-kadernya yang berorientasi pada gerakan radikalisme dan intoleransi dengan berlindung di balik alasan HAM. Alhasil, produk hukum terkait terorisme dan radikalisme cenderung memberi ruang gerak bagi kelompok radikal dan intoleran.
Petrus tidak menampik bahwa pengaruh radikalis juga merasuk para aparat keamanan sehingga diduga telah menumbuhkan benih-benih radikalisme sehingga memunculkan loyalitas ganda atau perilaku memihak kepada gerakan radikal dan intoleran dengan memanfaatkan kelemahan UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
“Apa pun bentuk dan alasannya, publik tentu mengecam dan mengutuk aksi terorisme yang berdampak pada situasi keamanan dalam negeri. Terorisme adalah suatu kejahatan terstruktur dan sistematis sehingga harus ditindak melalui produk hukum yang mengikat. Lembaga Negara harus hadir dan menjamin keamanan bagi segenap rakyat Indonesia di tengah ancaman gerakan radikalis, intoleran dan teror. Alat Negara (penegak hukum) harus dijamin dengan kekuatan hukum dan bukan sebaliknya disandera oleh kepentingan,” tandasnya.
--- Guche Montero
Komentar