Breaking News

TAJUK Terorisme dan Manusia (yang) Tak Berdaya 06 Jun 2017 11:57

Article image
Terorisme harus dilawan dengan solidaritas bersama. (Foto: Ist)
Terorisme muncul, karena manusia tidak berdaya atas “prestasi peradaban” yang ironisnya telah diciptakan oleh dirinya sendiri.

TERORISME kini tiada henti menyambangi semesta. Manusia tanpa ampun menghabisi manusia yang lainnya atas nama keunggulan ideologi. Darah, air mata dan kebencian diteriakkan bersamaan dengan pekikan kebanggaan. Sungguh ironis, menghabisi nyawa orang lain justru menjadi prestasi diri.

Nah, apa akar dari terorisme tersebut? Hannah Arendt, pemikir Jerman memiliki pendapatnya sendiri. Akar dari terorisme adalah “perasaan ditinggalkan.” Mengapa? Karena menurut Arendt, manusia kalah dari kehidupan modern. Terorisme muncul, karena manusia tidak berdaya atas “prestasi peradaban” yang ironisnya telah diciptakan oleh dirinya sendiri.  

Manusia ditinggalkan karena modernisasi telah menghapus cara-cara hidup tradisional adat-istiadat, kebiasaan dan institusi yang diwariskan turun-temurun. Imbasnya agama-agama dan budaya hidup tradisional mulai digerus peranan dan pengaruhnya. Belum lagi modernisasi telah mengasingkan manusia, karena kalah bersaing dengan kecanggihan teknologi.

Ketika kalah bersaing dengan kemajuan modern, banyak manusia terdepak dari pekerjaan, Kerja yang merupakan salah satu pengukur martabat manusia membuatnya tergeser secara sosial dari masyarakat. Manusia diasingkan dari pergaulannya sendiri.

Dan, akhirnya mereka yang terasing pun keluar mencari perlindungan dari komunitas primordial semisal agama. Mengapa? Karena mengutip Marx, mereka hendak mencari penghiburan dan ketetapan hati. Namun, tanpa kontrol dan ketundukan buta, manusia yang kalah dari peradaban kini kehilangan sikap kritis. Ia akhirnya mau diajak berontak kepada peradaban modern yang diklaim  asal muasal segala kejahatan modern.

Tanpa sikap kritis-korektif, manusia tunduk pada hasutan untuk menghancurkan yang lain, yang tidak bersedia masuk dalam barisannya. Massa menjadi pelindung sekaligus pegangan hidup terakhir bagi anggota-anggotanya. Bila perlu, untuk mendudukkan keunggulan kelompoknya, orang bisa mengorbankan hidupnya sendiri.

Bagaimana perasaan ini dapat dilawan? Arendt menolak prinsip hukum: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Hanya solidaritas yang dapat membuka pintu ketertutupan, membuka ruang kelompok yang hampa rasa kasih kepada yang lain.

Solidaritas menimbulkan pengakuan terhadap yang lain, tidak dengan cara membunuh tetapi mengakui martabat orang lain. Solidaritas ini menjadi gerakan (solidaritas) global yang mengundang sebanyak-banyaknya untuk menggemakan persaudaraan universal. Kita tidak perlu takut terhadap terorisme.

Setitik embun solidaritas yang terus dihadirkan setiap hari dapat melubangi kekerasan teroris yang membatu.

Salam Redaksi IndonesiaSatu.co

Komentar