Breaking News

HUKUM TPDI: Penahanan MRS Bukti Hukum Sebagai Panglima 14 Dec 2020 11:43

Article image
Pemimpin FPI, Mohammad Rizieq Shihab saat dibawa ke Polda Metro Jaya. (Foto: Antaranews.com)
"Tegakan hukum seadil-adilnya, karena peristiwa ini juga sebagai 'kado akhir tahun' bagi rakyat Indonesia," tegas Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- "Menangkap dan menahan Mohammad Rizieq Shihab (MRS) bukanlah suatu perisitiwa yang luar biasa. Namun yang luar biasa adalah sikap tegas, berani dan konsisten dari Polri memenuhi janji untuk menangkap dan menahan MRS dan para laskar FPI."

Demikian anggapan itu dilontarkan Koordinator TPDI, Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis kepada media ini, Senin (14/12/2020).

Menurutnya, publik menaruh optimis, mendukung dan berharap agar sikap tegas, berani dan konsisten dari Polri, tidak hanya berhenti pada kasus MRS dan hanya dilakukan oleh Polda Metro Jaya, akan tetapi harus menjadi sikap dan ciri khas Polri untuk semua kasus di masa yang akan datang.

"Penegakan hukum terhadap MRS harus menjadi langkah awal Negara (pemerintah, red) menempatkan hukum sebagai panglima, karena selama ini posisi hukum sebagai panglima hanya sebatas slogan kosong," sentilnya.

Advokat Peradi ini menegaskan bahwa rasa keadilan, ketenteraman dan kenyamanan publik dalam tertib sosial masyarakat sebagai hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex) harus sungguh diwujudnyatakan dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara.

"Dengan demikian, siapapun pimpinan Penegak Hukum (Kapolri, Kapolda, Kapolres dan Jaksa Agung, Kajati dan Kajari), sistem hukum yang sudah baku harus ditegakan secara konsisten terutama terkait pelayanan keadilan bagi rakyat banyak," katanya.

Petrus beralasan, hari hari ini institusi TNI dan Polri berada dalam legitimasi yang tinggi karena kepuasan publik atas kemauan politik pemerintah menegakkan hukum, sehingga TNI dan Polri mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari masyarakat dalam tindakan nyata yaitu menjaga NKRI dan Menegakkan Hukum.

Penahanan sebagai Langkah Hukum yang Sah

Petrus pun menyinggung peristiwa Penangkapan dan Penahanan terhadap MRS, setelah sebelumnya sudah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penyidik Polda Metro Jaya, sebagai langkah hukum yang sah dan memenuhi syarat.

Pasal pelanggaran yang disangkakan yakni melanggar Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 160 jo pasal 216 KUHP.

"Ratio legis dari penahanan terhadap seseorang yakni karena alasan objektif berdasarkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, juga pada alasan subjektif sesuai pasal 21 ayat (2) KUHAP yakni terdapat 'keadaan yang menimbulkan kekhawatiran' bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau bahkan mengulangi Tindak Pidana," imbuhnya.

Penyidik, lanjut dia, memiliki alasan objektif yaitu ancaman pidana Pasal 160 KUHP yaitu 6 tahun penjara dan alasan subjektif untuk menahan MRS karena timbul kekhawatiran MRS melarikan diri yang didasarkan pada beberapa fakta yang beralasan hukum untuk melakukan penahanan, antara lain sebagai berikut;

Pertama, pada April 2017 saat dipanggil Penyidik Polda Metro Jaya sebagai Saksi dan/atau Tersangka dalam kasus Chat WhatsApp Mesum, MRS tidak datang memenuhi panggilan, bahkan ketika hendak dijemput paksa Penyidik pada Mei 2017, MRS sudah meninggalkan Indonesia dengan alasan Umroh dan tidak segera kembali ke Indonesia.

Kedua, MRS masih akan menghadapi proses penyidikan terhadap belasan Laporan Masyarakat terhadap MRS terkait dugaan tindak Pidana Penodaan Agama, Ujaran Kebencian, Penghinaan, dan pencemaran simbol negara, yang prosesnya tidak berjalan selama 4 tahun karena MRS mangkir dari proses pidana.

Ketiga, ketika tiba di Indonesia (setelah menghindar dari penyidikan beberapa kasus pada tahun 2017), MRS langsung melakukan perbuatan lain yang disangkakan sebagai melanggar UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 160 jo pasal 216 KUHP yang menyebabkan MRS ditahan.

Keempat, karena pada tahun 2003 MRS pernah divonis dengan pidana penjara 7 bulan dan pada Juni 2008 dalam peristiwa pidana yang lain, MRS pernah dihukum dengan pidana penjara 1 tahun dan 6 bulan penjara sehingga status MRS adalah residivis.

"Oleh karena itu, peristiwa hukum terhadap MRS membuktikan bahwa Hukum adalah Panglima, siapapun wajib diperlakukan sama di mata hukum. Institusi Polri dan TNI sebagai alat negara, merupakan benteng terakhir dalam memenuhi keadilan publik. Tegakan hukum seadil-adilnya, karena peristiwa ini juga sebagai 'kado akhir tahun' bagi rakyat Indonesia," tutupnya.

--- Guche Montero

Komentar