Breaking News

HUKUM TPDI Sebut Standard Ganda Penegakan Hukum dalam Kasus Tanah sebagai Model Kriminalisasi 27 Dec 2020 17:58

Article image
Gedung Kejaksaan Tinggi NTT. (Foto: Ist)
"Karena itu publik NTT berharap Kajati NTT realiatis dalan menegakan hukum secara 'on the track' dalam kasus ini," sorot Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai pemerintah bersikap 'Double Standard' atau Standar Ganda dalam Penegakan Hukum, karena bersikap berbeda terhadap suatu kelompok tertentu pada dua atau lebih kasus yang sama seperti kasus klaim pemilikan Pemerintah atas lahan 30 hektar di Megamendung dan klaim pemilikan Pemda Manggarai Barat (Mabar) atas lahan 30 hektar di Toro Lema, Labuan Bajo, NTT.

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, dalam keterangan tertulis kepada media ini, Minggu (27/12/2020) membandingkan, di Jawa Barat, sikap Pemda terhadap Rizieq Shihab, terkait penguasaan 30 hektar lahan milik PTPN VIII, lebih beradab dan sesuai prosedur.

Pasalnya, mekanisme penyelesaian yang ditempuh adalah mekanisme Perdata dan Administratif diawali dengan Somasi, agar Rizieq Shihab segera mengosongkan lahan 30 Ha di Megamendung, Bogor, dengan bukti SHGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008 atas nama PTPN VIII.

"Sedangkan di NTT, dengan kasus posisi yang sama, sikap Pemerintah berbeda secara paradoks, yaitu Kejaksaan Tinggi NTT menerapkan upaya hukum menuntut pertanggungjawaban Pidana Korupsi dengan dalil lahan seluas 30 ha di Toro Lema, Batu Kalo, adalah milik Pemda Mabar, padahal Pemda Mabar tidak memiliki alas Hak dan bukti Peralihan Hak," nilai Petrus.

Penyalahgunaan Wewenang

Menurut Petrus, jika di Megamendung, klaim Pemerintah atas lahan 30,91 Ha yang dikuasai Rizieq Shihab adalah milik PTPN VIII melalui upaya perdata dan administratif, maka di Manggarai Barat klaim Kejati NTT atas lahan 30 Ha, sebagai milik Pemda Mabar, yang dikuasai beberapa pihak, justru dengan menggunakan upaya hukum Pidana Korupsi.

Padahal sengketa dan penyelesaiannya, masuk ruang lingkup hukum perdata. "Kejaksaan sangat diperlukan fungsinya sebagai Pengacara Negara, itupun jika diminta Pemda Mabar, sehingga di sinilah penyalahgunaan wewenang terjadi, tidak ada korelasi antara dalil kerugian negara yang fiktif dan pemilikan Pemda juga fiktif," katanya.

Bahkan, kata dia, tidak sesuai dengan wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yng bertanggung jawab (KUHAP).

Petrus beralasan, dari sejumlah dokumen yang diverifikasi dan divalidasi, terungkap fakta bahwa Pemda Mabar bukanlah pemilik lahan 30 Ha.

Hal itu berdasarkan testimoni dua mantan Bupati Manggarai (Gaspar Ehok dan Anton Bagul) dan satu mantan Bupati Mabar (Fidelis Pranda), serta berdasarkan pernyataan Bupati Gusti Ch. Dula, bahwa Pemda Mabar bukanlah pemilik lahan.

"Dalil Kejati NTT mengkualifikasi pemilikan 30 Ha lahan sebagai Tindak Pidana Korupsi karena ingin melindungi masyarakat kecil, merupakan pernyataan yang selama ini hanya enak didengar di telinga publik NTT, karena kasus-kasus besar selalu tidak tuntas dieksekusi," sorot Petrus.

Potensi Kriminalisasi

Menurut Advokat Peradi, Kejati NTT harus transparan dan Bupati Dula juga harus terbuka dan tegas, agar tidak ada yang terjebak dalam apa yang disebut kriminalisasi, yaitu menyulap yang perdata menjadi pidana.

"Apa urgensi dan itikad menuntut pertanggungjawaban pidana, jika Pemda Mabar bukan atau belum jadi pemilik?" timpal Petrus.

Apa yang tengah diperjuangkan Kejati NTT dalam kasus ini, katanya, sebetulnya merupakan "pepesan kosong" karena dalil menyelamatkan Keuangan Negara dan demi melindungi masyarakat kecil adalah sebuah ilusi.

"Karena kata kuncinya pada bukti pemilikan lahan atas nama Pemda Mabar fiktif, sementara masyarakat kecil di atas lahan kelak diusir dan terancam dibui," sorotnya.

Karena itu, tegas Petrus, timbul dugaan ada cukong besar yang sedang berspekulasi ingin menguasai 30 hektar lahan di Toro Lema, pasca proses pidana korupsi selesai. 

"Ini beralasan, karena Kejaksaan nampak hiperaktif dengan aksi publisitas yang tinggi saat turun ke lapangan, namun abai memperkuat posisi pemilikan Pemda Mabar yang masih terbuka lebar untuk diperjuangkan melalui upaya perdata," katanya.

Selama penyidikan, katanya, publik NTT berhak tahu tentang apa outputnya, namun hal itu tidak diperoleh, kecuali publik hanya dicekoki dengan berita yang bersifat memfitnah, berita yang tidak mendidik dilihat dari aspek pendidikan politik bagi masyarakat NTT.

"Karena itu publik NTT berharap Kajati NTT realiatis dalan menegakan hukum secara 'on the track' dalam kasus ini," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar