Breaking News

OPINI Urgensi Kartu Pra Kerja: Antara Opsi Solusi dan Diskriminasi Koruptif 05 May 2020 11:58

Article image
Kita berharap Presiden dapat meninjau kembali kebijakan ini, dan menggantinya dengan kebijakan lain yang lebih tepat sasaran, dengan dasar pertimbangan yang lebih cermat dan komprehensif.

Oleh: Anton Doni Dihen*

 

Kartu Pra Kerja adalah kartu yang dijanjikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada musim kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019-2024 lalu.

Ketika dijanjikan, bentuk kartu tersebut masih belum jelas. Apalagi, sedianya kartu tersebut dipakai untuk menjawab persoalan pengangguran.

Orang melihat hubungan yang terlalu jauh antara suatu kartu yang belum jelas jati dirinya dan persoalan penciptaan lapangan kerja.

Segera muncul pertanyaan, misalnya: bagaimana kartu tersebut dapat mengatasi persoalan penciptaan lapangan kerja? Apakah kartu tersebut menyumbang sesuatu bagi peningkatan daya saing investasi? Tentu tidak segera dapat dilihat potensi sumbangsih tersebut.

Daya saing investasi kita ditentukan oleh variabel-variabel utama seperti infrastruktur, perizinan, kelembagaan, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dan kepemilikan terhadap suatu kartu mempunyai potensi sumbangsih yang terlalu kecil terhadap, katakanlah, daya saing variabel SDM.

Apakah kartu tersebut dapat menyumbang sesuatu bagi pengembangan kewirausahaan yang merupakan faktor lain dalam penciptaan lapangan kerja? Juga tidak segera dapat dilihat hubungannya.

Saya sendiri hanya berspekulasi bahwa ada kemungkinan, kartu tersebut dapat digunakan untuk membayar pelatihan kewirausahaan tertentu, atau dapat digunakan untuk membayar alat dan bahan usaha tertentu, atau untuk menjadi jaminan pinjaman tertentu di Bank.

Tetapi spekulasi tersebut langsung disusul dengan gugatan berbasis sejumlah pertanyaan lanjutan: apakah suatu pelatihan kewirausahaan dapat menjamin seseorang memulai suatu usaha, mengingat sudah begitu banyak pelatihan kewirausahaan dilakukan dengan hasil yang terlalu terbatas?

Apakah suatu kartu yang dapat dipakai untuk membeli alat dan bahan usaha, atau sebagai jaminan kredit perbankan, dalam kerangka inisiasi suatu usaha bisnis, tidak rawan terhadap penyalahgunaan?

Deretan pertanyaan di atas menciptakan rasa penasaran dalam menyongsong kehadiran kartu mujarab tersebut.

Alhasil, kita semua mendapat jawaban terhadap sejumlah pertanyaan terkait Kartu Pra Kerja melalui peluncurannya sebagai salah satu jawaban terhadap persoalan dampak ekonomi yang dihadapi terkait pandemi Covid-19.

Bentuknya kemudian kelihatan jelas, dengan elemen bantuan uang yang jelas besarannya dan elemen pelatihan yang juga jelas besarannya.

Kita tidak tahu, apakah bentuk kartu pra kerja yang diluncurkan pada masa darurat ini sama dengan bentuk aslinya yang dirancang untuk situasi normal.

Bias Irasionalitas Kepentingan

Keberadaan elemen pelatihan kemudian menjadi daya tarik sendiri, baik karena keberadaan elemen pelatihan itu sendiri maupun besaran bantuan untuk pelatihan dan arah mengalirnya uang melalui kartu tersebut. Walaupun masih banyak pihak yang tidak mempersoalkan komponen kebijakan ini karena bias-bias irasionalitas yang melekat pada kepentingan politik dan budaya fanatisme kita, mulai muncul banyak pihak dan partai politik yang mempersoalkan komponen kebijakan ini

Bagi saya, jelas sekali bahwa komponen kebijakan pelatihan yang terkandung dalam kartu pra kerja ini merupakan bentuk kebijakan koruptif yang sangat menyayat rasa keadilan dan kepantasan atas beberapa alasan.

Pertama, sebagaimana diargumentasikan banyak pihak, kebutuhan di depan mata untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 adalah bantuan uang dan sembako untuk masyarakat terdampak. Sulit membayangkan adanya kebutuhan signifikan akan bantuan peningkatan kompetensi di musim ini.

Kebutuhan bantuan kompetensi untuk beralih dari berjualan secara langsung ke berjualan secara daring, sangat terbatas. Dan jika harus belajar berjualan secara daring, pembelajaran tentang itu dapat dilakukan secara mandiri melalui banyak sumber online gratis di internet. Tidak perlu harus melalui vendor pelatihan online yang ditunjuk dengan bayaran satu juta Rupiah per orang.

Kedua, sudah jelas dan mestinya tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa kehilangan pekerjaan dan kehilangan penghasilan pada musim ini adalah akibat pandemi Covid-19 tersebut dengan segala dampak ekonominya. Tentu saja, dan sangat jelas, bukan karena persoalan kekurangan kompetensi sumber daya manusia pekerja yang diistirahatkan atau di-PHK. Memaksakan diri melihat persoalan ekonomi aktual sebagai persoalan kurangnya kompetensi (atau pelatihan) adalah bentuk kegilaan.

Ketiga, tidak ada sama sekali urgensi pelatihan untuk mengisi masa berkurung diri di rumah dalam struktur urgensi nasional, dibandingkan dengan urgensi untuk memenuhi kebutuhan sembako dan kebutuhan finansial warga. Memaksa diri melihat pelatihan sebagai hal yang mempunyai posisi urgensi tinggi di tengah kebutuhan lain yang mendesak adalah juga bentuk kegilaan.

Anggaran Rp 5,6 triliun lebih tepat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dengan urgensi tinggi seperti sembako dan uang tunai bagi tambahan 3 juta orang selama 3 bulan, daripada digunakan untuk pelatihan tidak relevan dan tidak urgen yang berujung pada dampak memperkaya 10 vendor pelatihan.

Keempat, pelatihan kerja mempunyai rujukan regulasi, prinsip-prinsip dan sistem pengelolaannya (sistem pelatihan kerja nasional) yang ditujukan untuk mengendalikan agar pelatihan tidak bersifat instan, dilakukan dengan basis struktur kompetensi yang jelas (mencakup dimensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap), dan melalui keterhubungan yang jelas dengan kebutuhan dunia kerja. Insentif dan subsidi yang diberikan oleh Pemerintah dengan menggunakan Anggaran Negara sebaiknya tunduk pada sistem yang dibangun oleh Pemerintah sendiri, yakni ketika seseorang diakui kompetensinya melalui sertifikasi oleh lembaga yang berwenang.

Pelatihan dan mekanisme kelulusan yang abal-abal, dan dilakukan oleh lembaga pelatihan sendiri, sebagaimana yang ada dalam skema pelatihan kartu prakerja, tidak sejalan dengan prinsip sistem pelatihan kerja nasional, dan tidak pantas mendapat insentif dan subsidi Pemerintah. Sekalipun praktek-praktek dalam sistem pelatihan kerja nasional aktual juga berkemungkinan banyak abal-abalnya, skema pelatihan dalam kartu prakerja tidak perlu menambah fakta keabal-abalan yang sudah ada.

Kelima, di dalam sistem pelatihan kerja nasional aktual, banyak lembaga pelatihan kerja aktual yang terakreditasi dan selama ini berperan aktif dalam kerja pelatihan, baik yang terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja maupun yang terdaftar di Kementerian Pendidikan melalui pendidikan luar sekolahnya.

Lembaga-lembaga pelatihan kerja tersebut, dengan program-programnya, menjawab kebutuhan ketrampilan dan kompetensi di lapangan, baik kebutuhan dunia kerja formal maupun kebutuhan dunia kerja informal. Oleh karena itu, penghargaan yang hanya diberikan kepada lembaga pelatihan kerja tertentu dalam skema pelatihan kartu pra kerja, merupakan kebijakan yang diskriminatif, apalagi program-program pelatihan tersebut mempunyai dasar urgensi dan prioritas yang lemah dalam kaitan dengan kebutuhan nasional.

Keenam, selain diskriminasi koruptif dalam kaitan dengan penentuan semena-mena lembaga pelatihan dan program-program pelatihan, penentuan harga pokok pelatihan juga memperlihatkan praktik koruptif yang terang-benderang.

Praktik pengadaan barang dan jasa pemerintah mempunyai prinsip-prinsip dan pedoman yang jelas dalam penentuan harga pokok pengadaan, yang mengacu pada harga pasar yang ada. Maka, di tengah banyak penawaran program pelatihan dengan harga murah bahkan gratis, lalu Pemerintah memberikan kemewahan bagi sekelompok vendor dengan harga pokok seenaknya. Ini jelas merupakan bentuk korupsi kebijakan yang terang-benderang.

Dan, ketujuh, pemaksaan syarat keikutsertaan dalam pelatihan dengan segala macam cacatnya sebagai prasyarat bagi bantuan pengaman sosial dalam skema kartu pra kerja menggenapi segala rekayasa kebijakan yang koruptif ini. Padahal, pelatihan instan ini tidak memenuhi unsur-unsur sebagai pelatihan yang terjamin kualitasnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai Sistem Pelatihan Kerja Nasional, dan pelatihan yang memberikan kepastian bagi kemandirian usaha dan keterserapan dalam dunia kerja, baik dalam situasi pandemi Covid-19 maupun dalam situasi normal pasca darurat pandemic Covid-19.

Dalam kaitan dengan ketujuh aspek kecacatan yang dapat diurai dari komponen pelatihan yang melekat dalam skema kartu pra kerja, kita berharap Presiden dapat meninjau kembali kebijakan ini, dan menggantinya dengan kebijakan lain yang lebih tepat sasaran, dengan dasar pertimbangan yang lebih cermat dan komprehensif.

 

*) Penulis adalah Ketua Kelompok Studi Aquinas, mantan Ketua Presidium PP PMKRI 1994-1996.

Komentar