Breaking News

WAWANCARA Uskup Agung Medan: Konsensus Kebangsaan Indonesia Itu Harga Mati 04 Jul 2017 18:10

Article image
Uskup Agung Medan Mgr Dr. Anicetus L Sinaga OFM. Cap. (Foto: Lusius Sinurat)
Setiap warga negara Indonesia harus bersikukuh membela dan mewujudkan pada empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

MEDAN, IndonesiaSatu.co Setiap warga negara Indonesia harus bersikukuh membela dan mewujudkan empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keempat pilar tersebut merupakan konsensus kebangsaan yang final.

Penegasan ini disampaikan Uskup Agung Medan Mgr Dr.  Anicetus L Sinaga OFM Cap dalam wawancara ekslusif dengan IndonesiaSatu.co, Sabtu (1/7/2017) siang di sela-sela kehadirannya di acara pelantikan VOX Point Indonesia Cabang Sumatra Utara di Medan.   

Mgr Anicetus mengatakan empat pilar kebangsaan itu harus dijaga dan dilestarikan  oleh setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali.

“Setiap warga negara Indonesia harus menjaga tegaknya empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI. Lima pilar ini merupakan konsensus kebangsaan yang tidak ditawar, harga mati, ” tegas Mgr Anicetus, yang akrab dipanggil Opung Uskup.

Lima prinsip

Menurutnya, pemeluk agama Katolik di Indonesia harus tetap mendukung penegakkan empat pilar kebangsaan tersebut. Sebagai syaratnya, Mgr Anicetus menganjurkan lima prinsip pokok yang harus diperjuangkan umat Katolik di Indonesia.

Pertama, pemeluk agama Katolik harus menjadi bagian dari solusi bangsa, bukan sebaliknya menjadi masalah bangsa.

“Warga Indonesia beragama Katolik tidak boleh membawa sengsara bagi bangsa dan masyarakat,” imbuhnya.

Uskup Anicetus yang menyelesaikan studi S3 di Universitas Leuven Belgia itu selanjutnya menyebut prinsip kedua.

“Prinsip kedua adalah penganut agama Katolik di Indonesia tidak boleh berbuat jahat kepada sesama saudara sebangsa dan setanah airnya,” kata penulis disertasi The Toba-Batak High God: Transcendence and Immanence itu.

Tindakan yang tidak berbuat jahat, demikian kata Uskup, harus bercermin pada teladan Yesus Kristus, pendiri Gereja (Katolik). Teladan yang dimaksud adalah semangat untuk tidak saling membenci dan mendendam.

“Katakan saya mengampunimu. Mari berdamai dalam lingkungan bangsa dan masyarakat. Ketika kita mengampuni, itu jadi kekuatan kita menembus perbedaan yang ada,” ujarnya.

Prinsip ketiga dalam menjaga konsensus kebangsaan adalah membawa persaudaraan kepada semua orang. Persaudaraan, kata Uskup, hanya ada jika ada cinta kasih.

“Bawalah persaudaraan kepada semua saudara kita di tanah air tercinta ini. Di mana ada silang sengketa, kita (pemeluk agama Katolik-red) harus membawa cinta kasih kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan,” ungkapnya.

Uskup yang dikenal dekat dengan masyarakat provinsi Medan tersebut menambahkan, prinsip keempat adalah mendukung unity in diversity (persatuan dalam keberagaman). Prinsip ini, demikian Uskup, bukan cetusannya sendiri.

“Kardinal Joseph Ratzinger yang pada saat itu menjadi Prefek Kongregasi bagi Doktrin Iman telah menekankan prinsip unity in diversity pada 1992,” terangnya.

Uskup menduga apa yang disampaikan Ratzinger yang setelah itu menjadi Paus Benediktus XVI ada kaitannya dengan kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, termasuk ke Medan pada 8-12 Oktober 1989.

“Saat itu, Paus Yohanes secara terang-terangan mengagumi persatuan Indonesia dalam fakta kebhinekaan yang ada. Mungkin inspirasi inilah yang tertuang dalam dokumen yang disampaikan oleh Kardinal Joseph Ratzinger,” kenangnya.

Karena itu, Uskup kelahiran Naga Dolok, 25 September 1941 tersebut secara lugas menyimpulkan Bhineka Tunggal Ika adalah hakekat Gereja Katolik yang harus diwujudkan dan diamalkan.

“Konsekuensinya, membela, memperjuangkan dan mempertahankan Bhineka Tunggal Ika adalah bagian dari perwujudan iman Katolik,” ujarnya lugas.

Dalam prinsip terakhir, Uskup menyebut umat Katolik Indonesia harus mendukung perwujudan perdamaian lestari. Ini sudah tercantum dalam preambul UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…,”

“Kita dapat mencontoh teladan perwujudan damai yang diajarkan toloh perjuangan kemerdekaan India. Mahatma Ghandhi. Ia mengajarkan ahimsa, gerakan damai tanpa kekerasan. Prinsip ini menurut pengakuannya juga terinspirasi dari ajaran Katolik tentang cinta kasih,” ungkapnya.

Pada bagian akhir wawancara, Uskup yang memiliki motto:  “Ad pasquam et aquas conducit me”, yang artinya “Ia (Tuhan-red) membimbing aku ke padang yang hijau dan ke air yang tenang” tersebut mengajak umat Katolik di Indonesia untuk selalu siap sedia memperjuangkan hadir dan lestarinya konsensus kebangsaan.

“Mari kita perjuangkan empat konsensus kebangsaan seturut nilai-nilai ke-Katolik-an kita,” pungkasnya.

--- Redem Kono

Komentar