Breaking News

HUKUM Usulan Revisi UU KPK, Yusril: Tidak Ada UU yang Sempurna 11 Sep 2019 17:19

Article image
Ahli hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. (Foto: merdeka.com)
Menurut yusril, tidak ada undang-undang yang sempurna sehingga perbaikan terhadap suatu produk hukum merupakan hal mutlak dilakukan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Ahli hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, setelah berlaku 16 tahun lamanya sampai sekarang, sudah selayaknya kalau Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dievaluasi.

Menurut mantan Menteri Sekretaris Negara itu, tidak ada undang-undang yang sempurna sehingga perbaikan terhadap suatu produk hukum merupakan hal mutlak dilakukan.

Yusril mengatakan ini menanggapi usulan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu poin usulan revisi oleh DPR adalah soal kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Setelah berlaku 16 tahun lamanya sampai sekarang, saya kira sudah layak kalau dilakukan evaluasi, mana yang perlu diperbaiki, mana yang perlu disempurnakan karena tidak ada undang-undang yang sempurna," katanya.

Revisi kewenangan penerbitan SP3 oleh KPK bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada tersangka kasus korupsi.

"Ini diperlukan adanya kepastian hukum bagi yang bersangkutan, supaya jangan sampai orang itu sampai mati, dimakamkan, dikuburkan bahkan dalam status sebagai tersangka," kata Yusril di Kantor Wapres Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Sebagai salah satu tim penyusun pembentukan KPK dari pihak Pemerintah pada 2002, Yusril mengatakan perbaikan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 itu perlu dilakukan.

Kewenangan untuk menerbitkan SP3 menjadi salah satu usulan DPR terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Usulan kewenangan tersebut muncul supaya tersangka kasus korupsi tidak terlunta-lunta menunggu proses hukum dan agar KPK memiliki tenggat waktu dalam menyelesaikan suatu kasus dugaan korupsi.

Revisi UU KPK muncul dari usulan DPR untuk segera dibahas dan disahkan di akhir periode 2014-2019 yang berakhir pada Oktober.

Beberapa poin revisi tersebut menyangkut antara lain pengakuan kedudukan KPK disepakati berada pada tingkat lembaga eksekutif atau pemerintahan, status pegawai, pembentukan dewan pengawas, kewenangan penyadapan seizin dewan pengawas, serta prosedur penghentian penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun atau dengan menerbitkan SP3.

--- Simon Leya

Komentar