Breaking News

POLITIK Viktus Murin: Kepemimpinan Airlangga Usang, Seret Mundur Golkar ke Masa Otoriter 07 Sep 2019 13:11

Article image
Viktus Murin (kemeja batik) dan politisi Partai Golkar yang juga Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.(Foto: ist)
Menurut Viktus, Airlangga Hartarto telah mempraktikkan kepemimpinan politik yang usang dengan menyeret mundur Partai Golkar masuk ke zaman otoriter pada masa rezim Orde Baru.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Wakil Sekjen yang juga Sekretaris BAKASTRATEL (Badan Kajian Strategis dan Intelijen) DPP Partai Golkar, Viktus Murin mengamini pernyataan Yorrys Raweyai, kader senior Golkar, yang menyebut kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bergaya otoriter. 

Seperti diberitakan Merdeka.com 5 September 2019, Yorrya Raweyai mengatakan, Mosi Tidak Percaya yang dilayangkan para Pengurus Pleno DPP Partai Golkar merupakan respons atas gaya kepemimpinan Airlangga yang otoriter, diskriminatif, serta menjadikan Partai Golkar nyaris sebagai milik pribadi.

Menurut Viktus, Airlangga Hartarto telah mempraktikkan kepemimpinan politik yang usang dengan menyeret mundur Partai Golkar masuk ke zaman otoriter pada masa rezim Orde Baru. Airlangga seperti terjebak dalam halusinasi politik masa lalu seolah-olah penguasa Golkar identik dengan penguasa tunggal di era Orba.

Viktus Murin, aktivis 1998 yang merupakan pelaku sejarah aksi unjuk rasa menuntut pembubaran Golkar (saat itu belum menjadi partai politik) di halaman Kantor DPP Golkar Jalan Anggrek Nelly Murni Slipi, menjelaskan, pada tahun 1998 itu setelah Pak Harto lengser akibat tekanan aksi gerakan mahasiswa secara bergelombang, diirinya dan puluhan aktivis gerakan mahasiswa dari lintas elemen intra dan ekstra kampus, datang berdemonstrasi ke kantor DPP Golkar untuk menuntut pembubaran Golkar yang saat itu begitu kental dengan tipikal kekuasaan Orba. 

Saya ingat persis, lanjut Viktus, kami para pelaku demo yang menuntut pembubaran Golkar saat itu datang dengan menumpang belasan bus metromini, membawa identitas elemen gerakan bernama KAMI BAKAR yang merupakan singkatan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Bubarkan Golkar.

“Kami berdemo di halaman kantor DPP Golkar, dan meneriakkan yel-yel pembubaran Golkar, jika memang Golkar tidak mampu memutus matarantai politiknya dengan sisa-sisa rezim Orba,” kenang Viktus. 

Uniknya, lanjut Viktus, pada saat genting di era 1998 itu, kami bebas masuk ke halaman Kantor DPP Golkar, sebab gerbang pagar kantor Golkar saat itu tidak ditutupi dan digembok rapat seperti yang dipraktekkan oleh rezim kekuasaan Airlangga saat ini.

“Saya ingat persis, waktu itu memang ada beberapa polisi dan satpam di lingkungan Kantor Golkar. Tetapi, mereka hadir di situ hanya untuk bertugas memantau dan mengamankan aksi demo kami elemen mahasiswa. Mereka tidak mengusir kami keluar dari halaman Golkar, sebaliknya mereka menerima kami dengan ramah dan hanya mengingatkan kami untuk tidak bertindak anarkis,” ujar Viktus mengisahkan kembali.

Viktus melanjutkan, saat itu otoritas DPP Golkar di bawah kepemimpinan Ketua Umum Akbar Tandjung yang merupakan tokoh senior pergerakan mahasiswa, figur politisi yang amat disegani oleh kalangan mahasiswa dari berbagai lintas elemen, mendengarkan atau menyimak dengan baik tuntutan demo yang diajukan oleh elemen mahasiswa yang tergabung dalam KAMI BAKAR.

“Sangat mungkin perubahan paradigma Golkar yang digagas oleh Abang AT (Akbar Tanjung) dengan tagline Paradigma Baru Partai Golkar itu merupakan sintesa pemikiran yang dihadirkan untuk merespon dialektika aspirasi gerakan mahasiswa pada masa itu, termasuk di dalamnya tuntutan yang diajukan oleh elemen KAMI BAKAR,” tegas Viktus.

Oleh karenanya, sambung Viktus, ketika saya dan beberapa kawan sesama angkatan 1998 memutuskan masuk dan terjun berkiprah di Golkar, pasca Golkar dideklarasikan oleh Akbar Tanjung sebagai partai politik di tahun 1999, keputusan itu dipandang sangat logis dan selaras dengan idealisme sebagai aktivis pergerakan mahasiswa.

“Saat saya memutuskan masuk ke Partai Golkar tahun 2002 pasca purna sebagai Sekjen Presidium GMNI, keputusan itu saya pandang amat logis. Tidak ada yang aneh. Sebab, Partai Golkar dengan paradigma barunya di bawah kepemimpinan Abang AT, telah menjawab tuntutan perubahan yang disuarakan oleh elemen-elemen gerakan mahasiswa,” ujar Viktus, wartawan harian Pos Kupang angkatan perdana di tahun 1992, dan kini kembali terjun ke habitat jurnalistik yakni sebagai wartawan majalah “Narwastu”, sebuah majalah bulanan umat Kristiani di Indonesia.

Terhadap model kepemimpinan Airlangga saat ini, Viktus menilai, tipologi kepemimpinan Airlangga yang otoriter itu memang cocoknya eksis di zaman Orba.

“Model kepemimpinan otoriter hanya cocok untuk era Orba. Pasca era Orba, Partai Golkar memerlukan tipologi kepemimpinan demokratis yang adaptif terhadap perbedaan pendapat sebagai keniscayaan demokrasi. Kalau masih ada pemimpin Golkar bersikap otoriter di era demokrasi, maka dapat dismpulkan bahwa yang bersangkutan sedang terjebak dalam halusinasi kekuasaan rezim Orba,” papar Viktus, lelaki NTT kelahiran Lembata, sebuah pulau yang hingga kini masyarakatnya masih memelihara tradisi penangkapan ikan paus dengan cara tradisional, yakni meloncat sembari menombak ikan paus dari atas perahu tradisonal. 

Viktus memastikan, apabila slag-orde Partai Golkar tidak mampu menyelamatkan eksistensi Partai Golkar dari model kepemimpinan otoriter seperti yang dipraktekkan oleh Airlangga hari-hari ini, maka sebagai aktivis 1998 yang telah hampir 20 tahun berkiprah di Partai Golkar, maka dialah orang pertama dari kalangan aktivis mahasiswa 1998 yang angkat kaki dari Partai Golkar. Baginya daripada terjerumus kembali ke masa otoriter yang lebih banyak mudaratnya, maka lebih bermaslahat apabila dia memilih mengambil langkah permanen untuk keluar dari pusaran gelap otoritarianisme. 

“Hingga hari ini, saya merasa tidak terlalu nyaman jika disebut sebagai politisi. Saya lebih suka mengindentifikasi diri sebagai aktivis yang sedang berkiprah di partai politik. Bagi saya pribadi, loyalitas seorang aktivis terletak pada naturnya dialektika idealisme, bukan diletakkan kepada orang,” tegas Viktus, yang pernah menjadi Tenaga Ahli Menpora/Kemenpora (2004-2013), yang juga penulis buku “Mencari Indonesia, Balada Kaum Terusir” edisi cetak tahun 2005.

--- Simon Leya

Komentar