Breaking News

OPINI Wajah Perempuan di Titik ‘Nol” 08 Mar 2017 16:34

Article image
Gagasan soal feminisme sudah mulai terjadi di akhir abad 19. (Foto: cliohistory.org)
Banyak fakta membuktikan, begitu miris melihat wajah-wajah perempuan di desa yang kusut tak kenal lelah berjuang mulai dari titik nol. Miris, melihat wajah-wajah gadis lugu ke negeri ringgit, ke negeri minyak untuk mencari sesuap nasi meski pulang kadang

Oleh Santi Sima Gama

 

MENYIBAK sejarah lahirnya Hari Perempuan Internasional (HPI) dari sebuah tragedi kekerasan. Gagasan soal feminisme sudah mulai terjadi di akhir abad 19. HPI ini lahir sebagai puncak gerakan para perempuan di Kota New York, Amerika Serikat pada 8 Maret 1857. Saat itu para buruh wanita dari pabrik garmen, melakukan unjuk rasa untuk memprotes kondisi buruk yang mereka alami, mulai dari diskriminasi hingga tingkat gaji yang tak setara dengan buruh laki-laki. Sayangnya aksi demonstrasi itu tak berjalan damai. Pasalnya aparat kepolisian bertindak represif dengan menyerang para demonstran perempuan itu untuk membubarkan aksi.

Hari perempuan sempat “hilang” pada masa 1910-20an. Tapi peringatan ini baru kembali dihidupkan, berbarengan dengan bangkitnya feminisme pada era 60an. Baru di tahun 1974, PBB menyokong HPI yang ditetapkan pada 8 Maret. Salah satu faktor yang mendorong lahirnya HPI ini juga berasal dari satu kejadian mengenaskan yang pernah menimpa buruh perempuan, pada sebuah kebakaran besar. Kejadian itu menewaskan – setidaknya 123 nyawa buruh perempuan. Kebakaran di Pabrik Triangle Shirtwaist pada 25 Maret 1911, menimbulkan 146 korban tewas dan 123 di antara para pekerja wanita.

Momentum Hari Perempuan Internasional setiap tahun yang dirayakan tentu berbeda bentuknya setiap negara. Begitu pun perempuan –perempuan Indonesia ikut menyerukan dan merayakan hari ini diharapkan tidak sekadar ucapan semu tanpa memaknai nilai sejati dari eksistensi seorang perempuan. Mereka yang tergabung dalam Komisi Perempuan, Lembaga Perempuan, Yayasan Perempuan, Forum Perempuan dan sebagainya mempunyai visi dan misi yang pasti untuk memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan. Sejarah berkisah sudah terlalu lama perempuan Indonesia hidup di bawah tekanan budaya patriarkat, budaya yang dikuasai oleh kaum laki-laki. Melihat perempuan yang cerdas, berani dan kritis ada sebagian kaum lelaki merasa terhambat, tertantang, tidak sportif menjadikan perempuan sebagai partner sejatinya. Ada apa dengan mereka?

Banyak fakta membuktikan, begitu miris melihat wajah-wajah perempuan di desa yang kusut tak kenal lelah berjuang mulai dari titik nol. Miris, melihat wajah-wajah gadis lugu ke negeri ringgit, ke negeri minyak untuk mencari sesuap nasi meski pulang hanya membawa jasad terkubur duka nestapa. Tragedi-tragedi pilu yang menimpa perempuan kembali ke titik nol tidak berdaya sama sekali. Mimpi-mimpi mereka dibelenggu, mulut-mulut mereka dikancing, desau suara hilang bersama luka diskriminasi, pelecehan, penyiksaan, pembunuhan.

Setiap hari berita-berita darah mengalir menyisakan perih. Lalu kita para perempuan, sudah cukupkah hanya mengucapkan dan merayakan momen hari ini? Bisukan suaramu jika tak mau peduli pada kaummu yang teraniaya, yang menderita karena ulah elite berdasi, ketidakadilan payung hukum. Ini bukan negeri cinderela, kita harus berjuang bersama untuk kehidupan yang lebih bermartabat bagi perempuan Indonesia. Mari renungkan hari ini, hilang nyawa satu perempuan, hilang satu mutiara bangsa. Mimpi bersama untuk kehidupan perempuan Indonesia yang lebih baik.

Penulis adalah pemerhati masalah gender dan perempuan, sedang menyelesaikan studi pasca sarjana di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

 

Komentar