Breaking News

HUKUM Desak Bupati Costan Oktemka Diperiksa KPK, KOMPAK Indonesia: Ini Ujian Presenden Hukum 14 Aug 2020 18:58

Article image
Ketua KOMPAK Indonesia, Gabriel Goa saat mendatangi KPK RI. (Foto: Dok. GS)
"Jika korupsi sudah merajalela, maka hukum harus sungguh ditegakan. Namun, jika hukum kehilangan kepercayaan (publik), maka negara sedang dalam ancaman serius," pungkas Gabriel.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (KOMPAK) Indonesia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)RI untuk segera memeriksa Bupati Pegunungan Bintang, Costan Oktemka terkait dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2018-2019.

"Kami mendesak KPK RI untuk segera memanggil dan memeriksa Bupati Pegunungan Bintang, Sekertaris Daerah dan BKDA guna melakukan klarifikasi terkait dugaan korupsi APBD Tahun Anggaran 2018-2019 yang telah dilaporkan oleh warganya di Kejaksaan Tinggi Papua," desak Ketua KOMPAK Indonesia, Gabriel Goa, dalam keterangan kepada media ini, Jumat (14/8/20).

Gabriel menerangkan bahwa kucuran APBD Pegunungan Bintang setiap tahun yakbi sebesar Rp 1,6 Triliun. Namun, fakta hari ini di Pegunungan Bintang tidak merasakan sentuhan pembangunan, rakyat ditelantarkan, perputaran ekonomi lumpuh total, serta permainan judi togel menjadi marak sebagai pendapatan masyarakat setiap hari. Hal itu karena Bupati, dalam pengelolaan anggaran diduga menggunakan satu pintu.

"Bahkan, sehubungan dengan kondisi rakyat Pegunungan Bintang yang tidak merasakan dampak pembangunan sekaligus menjawab visi dan misi pembangunan nasional oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar para koruptor dapat dibersihkan," ujar Gabriel.

Berangkat dari aspirasi masyarakat, keprihatinan dan komitmen dalam pemberantasan korupsi, KOMPAK Indonesia menyatakan tuntutan sebagai berikut;

Pertama, mendesak KPK RI untuk segera memanggil dan memeriksa Bupati Pegunungan Bintang, Costan Oktemka, melalui data indikasi dugaan korupsi APBD Kabupaten Pegunungan Bintang tahun anggaran 2018 dengan perincian belanja hibah sebesar Rp 22,3 Miliar dan belanja bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 54 Miliar berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).

Kedua, mendesak Kejati Papua agar segera memeriksa bupati Pegunungan Bintang terkait dugaan korupsi penyelewengan realisasi belanja hibah dan bantuan sosial tidak sesuai ketentuan dengan perincian; realisasi belanja hibah dan bantuan sosial tanpa menyampaikan proposal senilai Rp 6,7 Miliar, pemberian hibah tidak ditetapkan dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) senilai Rp 8,1 Miliar, dan terdapat realisasi belanja hibah dan bantuan sosial senilai Rp 43,9 Miliar tanpa melampirkan pakta integritas berdasarkan hasil audit BPK RI.

Ketiga, mendesak Kejati Papua agar segera memeriksa bupati Pegunungan Bintang terhadap Laporan Pertanggungjawaban (Lpj) penerima belanja hibah dan bantun sosial yang belum menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban senilai Rp 34,3 Miliar.

Keempat, mendesak Kejati Papua segera memeriksa bupati Kabupaten Pegunungan Bintang terkait penyaluran belanja bansos tidak sesuai dengan peruntukan senilai Rp 2,6 Miliar dengan rincian; pembayaran monitoring pelaksanaan dan pertanggungjawaban bansos ke Bali, Yogyakarta, Jakarta, serta biaya penggandaan dokumen hibah/bansos TA 2018, sesuai petunjuk bupati dengan realisasi bansos Rp 119 juta, pembayaran biaya beasiswa sekolah penerbangan kepada BW, Plt. Sekretaris Daerah TA 2018, sesuai petunjuk bupati dengan ralisasi bansos Rp 300 juta, pembayaran bantuan pendidikan kepada BW, Plt. Sekretaris Daerah TA 2018, sesuai petunjuk bupati dengan realisasi bansos Rp 342,5 juta, pembayaran iuran premi Jamkesda pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang bulan Mei hingga Desember 2018, sesuai petunjuk bupati dengan rincian anggaran Rp 1,8 miliar.

Kelima, mendesak Kejati Papua segera memeriksa Bupati Pegunungan Bintang atas penyaluran belanja bansos secara tunai kepada penerima bantuan senilai Rp 950 juta, karena berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI Kabupaten Pegunungan Bintang Tahun 2018-2038 yang telah dilaksanakan, tidak dapat dilanjutkan dengan petunjuk pemeriksaan surat perjanjian kerjasama, laporan pendahuluan, dan realisasi pembayaran menunjukkan informasi bahwa pekerjaan tidak selesai dan pekerjaan telah dibayar sebesar 50 persen yang dianggarkan pada tahun 2018.

Keenam, mendesak Kejati Papua segera memerikasa Bupati Pegunungan Bintang atas kegiatan pembangunan jaringan listrik saluran kabel tanah menengah untuk zona satu jaringan listrik Oksibil tanpa analisa biaya angkut yang tepat yang dianggarkan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM (Disperindagkop) TA 2018 senilai Rp 47,1 miliar.

Ketujuh, mendesak Kejati Papua segera memeriksa Bupati Pegunungan Bintang terkait keterlambatan penyelesaian lima pekerjaan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) sebesar Rp 686,2 miliar dengan perincian; peningkatan jalan Oksibil-Kawor sebesar Rp 4,2 miliar dan pembangunan jalan Jetfa-Teiraplu-Okbab sebesar Rp 385,1 miliar.

Ujian Presenden Penegakan Hukum

Selain tuntutan terhadap proses hukum, Gabriel juga meminta Mahkamah Agung (MA) untuk mengeksekusi putusannya dengan nomor: 1/P/KHS/2018 tentang perkara khusus uji pendapat kasus Bupati Pegunungan Bintang, Costan Oktemka yang hingga kini masih dipertanyakan rakyat Pegunungan Bintang.

"Ini ujian konsitensi dan presenden penegakan hukum. Sehingga, MA segera mengeksekusi putusannya itu karena berdampak buruk terhadap kepentingan rakyat Pegunungan Bintang dan menghambat kemajuan daerah akibat kejahatan korupsi secara masif.

Sebelumnya dijelaskan bahwa kasus di MA antara Ketua DPRD melawan Bupati, di mana pihak DPRD berdalil bahwa sejak dilantik, Bupati membuat banyak kebijakan yang menuai pro-kontra di masyarakat dan berakibat pada vakumnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi rakyat.

Gabriel menilai, apa yang dilakukan rakyat sebagai bentuk ketidakpercayaan publik yang mestinya dihargai oleh negara melalui lembaga penegak hukum (MA) sehingga tidak menimbulkan presenden buruk.

"Penegak hukum semestinya tidak menutup mata dan lalai dalam menyikapi setiap aspirasi yang disuarakan rakyat atas apa yang mereka alami. Jika kepercayaan rakyat sudah runtuh, artinya negara harus segera intervensi guna memenuhi rasa keadilan publik dan hak-hak rakyat. Jika negara alpa, maka akan berpotensi pada penghakiman massa sebagai bentuk protes," sorot Gabriel.

Ia juga menyinggung soal pemberian Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK Provinsi Papua yang mendapat sorotan dari Lembaga DPRD, karena lembaga DPRD sebagai representasi rakyat justru tidak dihargai dan dilibatkan dalam mengevaluasi seluruh program pembangunan.

Bahkan, puncak kemarahan rakyat pernah terjadi ketika rumah pribadi Bupati Constan didemo dan dibakar warga. Pembakaran itu tepat pada moment ulang tahun Kabupaten Pegunungan Bintang pada 12 April 2018 lalu.

"Jika korupsi sudah merajalela, maka hukum harus sungguh ditegakan. Namun, jika hukum kehilangan kepercayaan (publik), maka negara sedang dalam ancaman serius," pungkas Gabriel.

--- Guche Montero

Komentar