Breaking News

OPINI HAM: Antara 'Imparsialitas Memihak' dan Hukum Publik 03 Jan 2021 18:22

Article image
Semuanya harus tunduk pada hukum publik.

Oleh: Ignas Iryanto*

 

OPINI, IndonesiaSatu.co-- Saya bukan ahli Hak Asasi Manusia (HAM), walaupun saya memahamai apa itu HAM. Banyak orang, juga sahabat yang menganggap dirinya adalah kelompok Human Right Defender (HRD), yang mengklaim dirinya sebagai ahli HAM dan berpijak dari keahliannya itu, menjadi Pembela HAM.

Sebagian kecil dari kelompok ini, tentu bergabung dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); suatu lembaga Negara, sejajar dengan lembaga tinggi Negara lainnya, dan (seharusnya) bekerja secara independen.

Sudah beberapa kali saya terganggu dengan opini kelompok ini, yang memberi kesan bahwa:

Pertama, pelanggar HAM itu hanya Negara.

Kesan ini saya peroleh, karena setiap kali saya dan teman-teman menyebut di mana mereka jika ada kekerasan dan pelanggaran HAM oleh kelompok atau ormas radikal, mereka malah menertawakan dan balik dengan sinis bertanya: pelanggaran HAM oleh Ormas? Anda mengerti HAM?

Kedua, mereka (para HRD) ini, termasuk Komnas HAM, kelihatannya hanya mengurus pelanggaran HAM oleh Negara. Dengan demikian, sesuai sikap pada point pertama, mereka tidak mengakui ada pelanggaran HAM oleh kelompok non-Negara.

Sikap imparsialitas yang mereka pegang didefinisikan sebagai independen terhadap Negara, namun boleh memihak pada kelompok atau orang yang mereka sebut sebagai korban pelanggaran HAM oleh Negara. 

Common sense saya mengatakan itu tidak benar. Mengapa? Dari pengalaman, kita mengalami begitu banyak kejadian di depan kita, HAM rakyat biasa dilanggar bahkan dengan berbagai model tindakan kekerasan oleh kelompok ormas tertentu.

Dan konteks kita saat ini, kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) jelas sekali berkali-kali bertindak semena-mena bahkan menantang regulasi termasuk keadaban publik, secara jelas menlmperkosa Hak asasi warga lain.

Ketika Negara mengambil tindakan atas mereka, Negara justru dituduh otoriter dan disebut sebagai pelanggar HAM. Itu common sense saya. Namun saya jadinya bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana hal-hal itu diatur dalam UU HAM atau prinsip prinsip HAM secara Universal? Bisa saja saya yang salah.

Universalitas HAM

Dalam definisi mengenai HAM sesuai UU Nomor 39 tahun 1999 mengenai HAM, disebutkan bahwa "Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."

Kelihatan sekali bahwa para HRD mengabaikan kalimat lengkapnya dan berhenti pada kata pemerintah. Selanjutnya, yang harus menghormati HAM adalah Negara, Hukum dan Pemerintah. Sementara kalimat lengkatnya masih disambung 'dan setiap orang...' seterusnya adalah kewajiban masyarakat juga untuk menghormati, menjunjung dan melindungi HAM.

Konsekuensi logisnya yakni pelanggaran HAM dapat juga dilakukan oleh personal dan organ-organ non-Negara.

Terlihat sekali, hal ini justru diabaikan oleh kelompok yang menamakan dirinya PEMBELA HAM.

Hal tersebut makin jelas jika kita membaca definisi mengenai Pelanggaran HAM dalam UU yang sama. Jelas sekali dikatakan bahwa "Pelanggar HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku."

Jelas sekali secara terang-benderang: pelanggaran HAM bisa dilakukan oleh organ-organ non-Negara, termasuk kelompok orang, termasuk Ormas. 

Saya sangat tidak paham mengapa para Pembela HAM sepertinya mengabaikan hal ini, dan jika kita yang bukan ahli HAM mengatakan bahwa ada ormas pelanggar HAM seperti FPI, kita cenderung ditertawakan sebagai tidak memahami HAM. Satu-satunya penjelasan adalah bahwa mereka tidak berdiri secara independen dan sudah memilih untuk menjadi lawan dari pemerintah dalam segala issue HAM.

'Imparsialitas Memihak'

Para pembela HAM sering membela diri bahwa mereka berpegang pada prinsip Imparsialitad. Saya memahami bahwa ada prinsip tersebut yang dipegang oleh berbagai lembaga yang bertugas memeriksa, menilai ataupun mengadili dalam bidang apapun, khususnya dalam bidang hukum dan HAM. Namun beberapa kali mengintip opini dan perdebatan mereka, saya menangkap bahwa imparsialitas yang dipahami lebih pada kenetralan terhadap Negara dan pemerintah, bahkan lebih dalam arti tidak boleh memihak Negara. Buat saya, sikap ini tidak seimbang. Imparsialitas itu berlaku ke semua pihak, terhadap Negara dan juga terhadap pihak-pihak non-Negara. 

Dalam konteks persoalan Negara dengan FPI, terlihat sekali kelompok ini lebih memilih melawan Negara namun bersikap diam terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh FPI. Mereka lebih melihat Negara sebagai kelompok yang potensial melanggar HAM dari warganya dan melupakan bahwa tugas Negara juga adalah melindungi HAM dari warga negaranya atas kesewenang-wenangan kelompok masyakarakat lain, ormas lain, yang memperkosa HAM sesama warganya. Bahkan dalam tugas ini, Negara berhak mengaplikasikan wewenangnya dalam melakukan tindakan pemaksaan.

Dalam alur logika yang demikian, Para Pembela HAM sering juga menggunakan argumen bahwa jika tindakan kekerasan dilakukan oleh kelompok non-Negara, maka UU yang digunakan adalah hukum pidana dan karena itu mereka cenderung memahami bahwa satu-satunya pelanggar HAM adalah Negara. Ini juga secara common sense, menurut saya, salah kaprah. 

Pertama, Negara juga berpotensi melakukan tindakan pidana namun sesuai penjelasan di atas, pihak non-Negara juga berpotensi melakukan pelanggaran HAM. Jika tidak mungkin, bagaimana kita mendefinisikan tindakan terror dari berbagai kelompok teroris? Ini adalah ranah diskusi oleh para ahli hukum, kapan UU Pidana diterapkan dan kapan UU HAM diterapkan. Namun mengeneralisasi bahwa UU HAM hanya diaplikasikan atas Negara, sementara semua kejahatan yang dilakukan oleh orang dan kelompok non-Negara, sebaik tindakan pidana semata, apalagi jika selalu dianggap sebagai delik aduan, adalah secara common sense saya: SALAH KAPRAH.

Kedua, saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya. Para ahli hukum dapat memberikan masukan konstruktif. Setahu saya, ada asas dalam hukum, yang dalam bahasa Latin berbunyi: "lex spesialis derogat legi generalis" yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.

Ketiga, ketentuan-ketentuan "lex spesialis" harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan "lex generalis." 

Apakah UU HAM dapat dianggap sebagai suatu "Lex Spesialis" dan UU Pidana dapat dianggap sebagai "Lex Generalis", sehingga dalam hal ini, UU HAM akan mengensampingkan UU Pidana, jika Pidana tersebut jelas merupakan sebuah pelanggaran HAM?

Keempat, saya tidak menutup mata bahwa dari sejarah HAM, munculnya "universal declaration of human rights", dipicu oleh berbagai pelanggaran HAM oleh Negara di mana terjadi "abusement of power" dalam Negara-negara otoriter di masa lalu, bahkan masih ada sisanya hingga kini. Bahkan prinsip Retroaktif dalam pemberlakuannya menyasar pada rezim-rezim pemerintahan yang melakukan pelanggaran HAM masa lalu, yang tetap bisa diproses walaupun rezim itu sudah jatuh. Ini jelas sekali.

Kelima, saya juga tidak menutup mata bahwa jebakan terbesar dalam melanggar HAM memang ada di negera, karena Negara memiliki kekuasan, hak penggunaan senjata serta otoritas sipil dan militer, yang memungkinkan dia terjebak dalam 'abusement of power.'

Dua hal itu jelas sekali. Namun fokus 100% pada dua bahaya itu, akan menutup kejernihan menilai fakta-fakta yang ada, bahwa pelanggaran HAM sering juga bahkan banyak juga dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal seperti FPI.

Bohonglah jika para HRD ini tidak terinformasi oleh hal-hal tersebut.

Buat saya jelas, FPI sah dibubarkan. Para oknumnya, sepanjang cukup bukti telah melakukan berbagai kejahatan, sah untuk diadili. Juga sah-sah saja para aktivisnya membentuk organisasi baru, namun sebagaimana yang pernah saya tulis: pointnya bukan soal nama. Namun ada visi, misi dan dasar filosofi organisasimu ada dalam ART yang disusun, juga apa aktivitasmu di ranah publik.

Semuanya harus tunduk pada hukum publik. Jika tidak, ya sama saja, nasibmu akan sama seperti FPI yang sekarang.

Still, Happy New Year to all friends and relatives all over the world.

 

* Penulis adalah intelektual dan pemerhati sosial dari paguyuban 'Aspirasi Indonesia' (AI).

Komentar