Breaking News

HUKUM Pandangan Jimly Asshiddiqie Dinilai sebagai Langkah Mundur dalam Penegakan Hukum 20 Oct 2020 08:30

Article image
Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat saat diborgol dan dipakaikan rompi oranye saat jumpa pers penetapan tersangka. (Foto: RRI)
"Dukungan rakyat tentu menjadi modal utama dalam memberi legitimasi kepada Polri dalam menegakkan hukum," tandas Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- "Pandangan Jimly Asshiddiqie Dinilai soal penahanan tersangka Syahganda Nainggolan,dkk merupakan sebuah langkah mundur dalam konteks penegakan hukum di Indonesia dengan mengedepankan asas persamaan (kesetaraan) di depan hukum."

Demikian hal itu diutarakan Petrus Selestinus selaku Ketua Tim Force Task Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), dalam keterangan tertulis kepada ini, Senin (19/10/2020).

Penilaian tersebut sebagai tanggapan atas kinerja Bareskrim Polri yang telah menjelaskan secara terbuka bahwa pihaknya telah melakukan penangkapan, menjadikan tersangka dan menahan Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dkk, karena berdasarkan bukti permulaan yang cukup, diduga terlibat tindak pidana menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat.

Menurut FAPP, langkah Bareskrim Polri mendapat dukungan secara luas dari publik, karena Polri bertindak tepat, cepat dan tegas, tanpa pandang bulu terhadap para tersangka.

"Tentu langkah Bareskrim Polri ini sangat memuaskan publik seiring dengan tagline Polisi Promoter, yang secara pelan namun pasti, menampilkan kepolisian yang profesional, moderen dan terpercaya dalam menegakkan hukum dan ketertiban umum," dukung FAPP.

Selanjutnya ditegaskan FAPP bahwa oleh karena konteks penegakan hukum di Indonesia yakni mengutamakan asas persamaan di depan hukum, maka langkah Bareskrim Polri menampilkan tersangka Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dkk (pentolan KAMI) pada jumpa pers tanggal 15 Oktober 2020, karena Bareskrim Polri ingin akuntabel, equal dan transparan dalam mewujudkan prinsip konstitusi yakni semua warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum.

Namun demikian, jelas Advokat Peradi ini, sikap Bareskrim Polri yang menampilkan Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dkk, dalam keadaan mengenakan rompi oranye dan tangan diborgol, merupakan bagian dari pemenuhan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan kepolisian, dikritik oleh beberapa pihak secara subyektif, sebagai perilaku yang tidak pantas dan meminta agar diperlakukan kebijaksanaan khusus.

"Padahal, seharusnya dipahami bawa hukum positif kita tidak memberikan privilage kepada siapa pun, termasuk aktivis KAMI, ketika tersangkut tindak kriminal," sentil Petrus.

Advokat senior ini beralasan bahwa di dalam pasal 27 UUD 1945 dinyatakan bahwa: "semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, dan seterusnya", sehingga tidak boleh ada diskriminasi kelas dalam penegakan hukum.

Secara khusus FAPP menyonggung pandangan Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum, Mantan Hakim MK dan Anggota DPD RI, yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penahanan, pemborgolan dan pengenaan baju rompi oranye terhadap Syahganda Nainggolan, dkk, karena dianggap sebagai tindakan tidak pantas dan meminta agar Bareskrim lebih bijaksana.

"Pandangan Jimly Asshiddiqie, sangat tidak beralasan hukum bahkan merupakan langkah mundur, kembali ke anomali hukum. Ini jelas membahayakan ketertiban umum, jika ada kelas-kelas dalam penegakan hukum. Sikap Jimly Asshiddiqie tidak realistis, karena selama ini diskriminasi dalam penegakan hukum lahir dari sikap bijaksana yang subyektif sehingga melahirkan perilaku KKN dan perilaku tidak adil (yang kuat menindas yang lemah)," sorot Petrus.

Oleh karena itu, lanjut dia, ketika Polri bertindak benar, tepat dan tegas, maka sikap demikian meskipun tidak populer harus didukung, bukan sebaliknya menuntut langkah bijaksana hanya atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan cita-cita dan orientasi politik, lantas penegakan hukum yang sudah tepat, minta disubstitusi dengan tindakan yang bijaksana.

"Inilah yang tidak perlu dan harus diamputasi, karena tidak sesuai denga tuntutan rasa keadilan publik dan hakikat hukum," tegasnya.

Polisi Promoter dan Legitimasi

FAPP kembali mendukung sikap Polri yang secara perlahan tapi pasti dengan tagline Polisi Promoter, berusaha keras untuk bersikap independen, netral dan tidak mau terjebak dalam perilaku diskriminasi, memberikan keistimewaan kepada tersangka tertentu hanya karena ketokohan atau aktivis politik, lalu setiap tindak kriminal yang dilakukan digeneralisir sebagai tindak pidana politik.

Petris berkeyakinan bahwa publik mendukung kerja keras Bareskrim Polri, karena legitimasi dari tindakan Polri dalam menegakkan prinsip Polisi Promoter dan prinsip Penegakan Hukum dan Ketertiban untuk menyelematkan kepentingan umum yang lebih besar.

"Dukungan rakyat tentu menjadi modal utama dalam memberi legitimasi kepada Polri dalam menegakkan hukum," tandas Petrus.

--- Guche Montero

Komentar